Sabtu, 25/10/2025, 22:56:24
Dua Dokter Mantan Direktur Kardinah Tampil Memukau Lewat Puisi dan Monolog Tegalan
INTONASI DAN PENGHAYATANNYA PAS
LAPORAN IWANG NIRWANA

Dua tokoh yang pernah memimpin RSUD Kardinah, dr. H. Abdal Hakim Tohari (kanan), dan drg. Agus Dwi Sulistyantono (kiri) tampil memukau dalam Lomba Membaca Kolom Tegalan. (Foto: Iwang)

PanturaNews (Tegal) - Suasana Wisma Pranowo RSUD Kardinah pada Sabtu 25 Oktober 2025, mendadak berubah menjadi panggung seni yang sarat makna.

Dua tokoh yang pernah memimpin rumah sakit legendaris itu, dr. H. Abdal Hakim Tohari, Sp.KFR., MMR dan drg. Agus Dwi Sulistyantono, M.M., tampil memukau dalam Lomba Membaca Kolom Tegalan yang menjadi rangkaian peringatan Hari Ulang Tahun ke-98 RSUD Kardinah Kota Tegal.

Penampilan keduanya seolah menegaskan bahwa bahasa daerah bukan sekadar warisan, tetapi juga sumber inspirasi dan kekuatan budaya. Acara ini diikuti oleh 65 peserta, dengan dewan juri yang terdiri atas Atmo Tan Sidik, Iwang Nirwana, Maufur, dan Yono Daryono.

Penampilan dibuka oleh dr. Abdal Hakim yang membacakan puisi berjudul “Pamoré Radén Ajeng Kardinah” karya Atmo Tan Sidik.

Dengan gaya elegan dan penuh penghayatan, ia tampil mengenakan topi pet khas seniman dunia. Suaranya tenang, artikulasinya jelas, dan jeda di setiap bait terasa sarat makna.

//Asalé alang-alang sing/dibakar dadi padang/Barang Kardinah tandang/mbranang ketemu dalan//

//Nang kéné kyéh!/Pamoré Ibu Kardinah/Apa enyong kowen kabéh/mung njagong/mung tongkrong/kapan nggéndong?//

Usai melafalkan bait terakhir, ruangan mendadak hening. Lalu, tepuk tangan panjang membahana, disertai beberapa penonton yang berdiri memberi penghormatan.

“Cara dr. Abdal Hakim membacakan puisi saya luar biasa. Ia tidak sekadar membaca, tapi benar-benar merasakan maknanya. Intonasi dan penghayatannya pas. Saya seperti mendengar semangat Kardinah hidup lagi di ruangan ini,” ujarnya.

Sekda Kota Tegal Tampil Layaknya Aktor Teater. Usai puisi, giliran drg. Agus Dwi Sulistyantono, M.M., yang kini menjabat sebagai Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Tegal, naik ke panggung.

Mantan direktur RSUD Kardinah itu membawakan naskah berjudul “Ibu Kardinah Pantas Dadi Pahlawan Nasional” karya Yono Daryono.

Dengan gaya teatrikal dan ekspresi wajah yang hidup, ia berhasil menjadikan ruangan seperti panggung pertunjukan monolog profesional.

“Ibu Kardinah kuwé wong sing kerja ora mung nggo wong Tegal bae, nanging uga kanggo wong wadon pribumi. Ora mung nyipta olahan lan cara gawé rumah sakit, nanging uga nyipta perpustakaan sing marahi wong wadon melek bacaan...”

Kalimat demi kalimat diucapkannya dengan penuh penjiwaan, sesekali disertai tatapan mata tajam namun lembut kepada penonton.

Yono Daryono, sang penulis naskah sekaligus juri, mengaku kagum.

“Pak Sekda membawakan naskah saya seperti aktor teater. Ada ruhnya. Pesan moralnya tersampaikan dengan kuat - bahwa Kardinah bukan sekadar nama rumah sakit, tapi simbol keberanian wong wadon sing wani nyipta perubahan.”

Bahasa Tegalan yang Tetap Hidup dan Berwibawa. Apresiasi juga datang dari Maufur, salah satu juri sekaligus rektor universitas di Tegal.

“Saya melihat panggung ini bukan sekadar lomba, tetapi juga ruang pendidikan budaya. Kedua tokoh ini memberi contoh bahwa pejabat pun bisa menjadi penggerak literasi daerah. Ini luar biasa,” ujarnya.

“Yang tampil bukan hanya seniman, tapi juga birokrat yang mau turun ke akar budaya. Tegalan ora kalah elegan karo basa liya,” kata salah satu tamu yang hadir tanpa disebutkan namanya sambil tersenyum, disambut tawa dan tepuk tangan peserta.

Kardinah, Inspirasi yang Tak Pernah Padam. Plt. Direktur RSUD Kardinah, dr. Lenny Harlina Herdian Santisi, M.M., menyampaikan rasa bangga dan terima kasihnya.

“Kami merasa tersanjung atas kesediaan para mantan direktur untuk tampil. Ini menjadi babak istimewa dalam sejarah RSUD Kardinah. Acara ini bukan hanya perayaan ulang tahun, tapi juga bentuk penghormatan terhadap sosok R.A. Kardinah dan budaya Tegal.”

Acara berlangsung hangat dan penuh tawa. Para peserta serta penonton larut dalam semangat nguri-uri budaya lokal.

Dari 65 peserta yang tampil, semuanya menunjukkan warna khas Tegalan yang kocak, jujur, dan berkarakter.

Salah satu peserta bahkan sempat berceletuk ringan sebelum meninggalkan panggung: “Sing penting ora mung menang, tapi nguri-uri budaya dewek.”

Celetukan itu langsung disambut tawa dan tepuk tangan riuh seluruh ruangan.


 
Belum ada komentar untuk ditampilkan pada artikel ini.

Komentar Berita