Senin, 12/05/2025, 18:39:07
Tantangan Antara Motivasi dan Kemandirian Belajar dalam Kurikulum Merdeka
OLEH: AYESYA PUTRI HANINDA
.

UNTUK menilai keberhasilan dalam dunia pendidikan, evaluasi terhadap kemampuan belajar siswa di sekolah menjadi hal yang esensial. Namun, penerapan Kurikulum Merdeka yang menghapus sistem tinggal kelas justru dapat memunculkan risiko menurunnya motivasi belajar di kalangan siswa.

Hal ini menimbulkan pertanyaan: Sejauh mana efektivitas Kurikulum Merdeka dalam mengukur pencapaian pendidikan di Indonesia?

Kenaikan kelas kerap dipandang sebagai suatu bentuk capaian akademik yang mencerminkan keberhasilan proses pembelajaran siswa, serta menjadi indikator kelayakan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya.

Antusiasme terhadap momen tersebut seringkali menjadi pendorong semangat belajar, di mana siswa terdorong untuk meraih hasil terbaik. Hal ini turut membentuk kesadaran akan pentingnya belajar sebagai fondasi dalam keberlanjutan pendidikan.

Di sisi lain, ancaman tidak naik kelas sering menjadi tekanan psikologis yang justru berdampak positif bagi sebagian siswa. Kekhawatiran akan tertinggal dari teman sebaya mendorong mereka untuk menunjukkan kedisiplinan dan kesungguhan dalam belajar.

Dengan demikian, sistem ini dapat berfungsi sebagai instrumen motivasional yang menumbuhkan komitmen akademik guna memastikan kelanjutan studi tanpa hambatan berarti.

Namun demikian, sistem kelulusan dan tinggal kelas tidak lagi diterapkan sejak implementasi Kurikulum Merdeka oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) pada tahun 2021. Kebijakan ini mengusung paradigma baru yang tidak lagi menitikberatkan pada pencapaian nilai akademik semata, melainkan pada penguasaan kompetensi secara menyeluruh.

Dalam kerangka tersebut, peserta didik yang belum sepenuhnya memenuhi standar kompetensi tetap diberi kesempatan untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya, dengan catatan mengikuti program remedial sebagai bagian dari proses pemenuhan capaian pembelajaran.

Kebijakan yang dirancang oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) pada periode 2019–2024 ini turut menimbulkan sejumlah permasalahan di lapangan. Berdasarkan laporan dari laman kumparan.com, sejumlah pendidik menyampaikan keluhan terkait penurunan motivasi belajar siswa, yang dinilai sebagai dampak dari dihapusnya sistem kenaikan kelas sebagai bentuk evaluasi.

Hal ini sejalan dengan temuan yang diungkapkan oleh Smith (2020) dalam jurnalnya, yang menyatakan bahwa sistem kenaikan kelas dapat berfungsi sebagai pendorong intrinsik bagi siswa untuk meningkatkan kinerja akademik mereka. Kondisi tersebut diperparah dengan penghapusan Ujian Nasional (UN) dalam Kurikulum Merdeka, yang dinilai turut berkontribusi terhadap menurunnya semangat belajar peserta didik.

Sebagaimana dijelaskan oleh Johnson (2019), ujian standar seperti UN sering kali bertindak sebagai tolok ukur yang menumbuhkan rasa tanggung jawab dan disiplin di kalangan siswa.

Permasalahan-permasalahan yang muncul tersebut berpotensi menyebabkan penurunan kualitas pendidikan di tingkat nasional. Evaluasi yang kurang ketat dapat bertindak sebagai katalisator bagi terbentuknya kesenjangan dalam pencapaian kompetensi serta pemahaman materi di kalangan siswa.

Ketidakmampuan untuk menilai secara tepat kemampuan akademik siswa dapat menghambat perkembangan mereka dalam menguasai kompetensi dasar yang diperlukan untuk jenjang pendidikan berikutnya.

Lebih jauh lagi, kondisi ini berisiko berdampak negatif pada kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia di masa depan, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi daya saing bangsa dalam berbagai sektor global.

Tanpa adanya sistem evaluasi yang objektif dan ketat, kualitas tenaga kerja Indonesia bisa tergerus, karena kurangnya penguasaan kompetensi yang dibutuhkan oleh pasar kerja yang semakin kompetitif. Hal ini juga berpotensi menurunkan produktivitas nasional serta kemampuan inovasi dalam menghadapi tantangan global yang terus berkembang.

Oleh karena itu, meskipun Kurikulum Merdeka dirancang untuk mewujudkan pendidikan Indonesia yang lebih baik, tetap diperlukan evaluasi mendalam terhadap sistem wajib naik kelas yang diterapkan dalam kebijakan tersebut.

Pemerintah perlu melakukan tinjauan ulang terhadap kebijakan ini dengan mempertimbangkan keseimbangan antara kebebasan belajar yang diberikan kepada siswa dan pentingnya mempertahankan daya juang mereka dalam mencapai standar akademik yang tinggi.

Sebagai saran, kebijakan yang lebih fleksibel bisa diterapkan, di mana siswa diberikan kebebasan untuk menentukan jalur pembelajaran mereka, namun tetap didorong untuk memenuhi kompetensi dasar yang disyaratkan, misalnya melalui evaluasi berbasis portofolio atau asesmen berbentuk proyek yang lebih menekankan pada penguasaan kompetensi daripada nilai ujian semata.

Dalam hal ini, para pendidik juga bisa diberikan pelatihan terkait teknik asesmen yang lebih holistik, yang tidak hanya fokus pada aspek kognitif, namun juga pada keterampilan non-kognitif yang mendukung kesuksesan jangka panjang siswa.

Seperti yang diungkapkan oleh Hargreaves (2019), perubahan dalam sistem evaluasi yang lebih berfokus pada kompetensi dapat menciptakan sistem pendidikan yang lebih inklusif dan berbasis pada kemampuan siswa dalam mengaplikasikan pengetahuan mereka dalam kehidupan nyata.

Dengan demikian, pendidikan di Indonesia dapat berkembang secara lebih optimal, tanpa mengorbankan kualitas pembelajaran dan motivasi siswa, serta memastikan terciptanya sumber daya manusia yang kompeten dan siap menghadapi tantangan global di masa depan.

Tulisan dalam Kolom Opini ini adalah kiriman dari masyarakat. Segala tulisan bukan tanggung jawab Redaksi PanturaNews, tapi tanggung jawab penulisnya.

 
Belum ada komentar untuk ditampilkan pada artikel ini.

Komentar Berita