PanturaNews (Tegal) - Komunitas Sastrawan Tegalan (KST) sejak lahirnya pada 26 November 1994, menjadi tonggak penting dalam perkembangan kesusastraan daerah di Indonesia.
Bahasa Tegal yang awalnya dianggap remeh, hanya dipandang sebagai bahasa percakapan sehari-hari dan bahkan sempat dicemooh sebagai bahasa yang tidak layak dipakai dalam karya sastra, justru berkembang menjadi Sastra Tegalan yang produktif.
Dari waktu ke waktu, para sastrawan Tegal membuktikan bahwa karya berbahasa daerah tidak hanya pantas ditulis, tetapi juga mampu berbicara lantang mengenai persoalan kemanusiaan, politik, dan sosial. Kini, sudah lahir ratusan buku puisi, novel, naskah drama, dan cerita bersambung dalam bahasa Tegal. Karya-karya itu bahkan dipublikasikan secara luas, baik di media lokal maupun nasional.
Pengakuan akademis pun semakin nyata ketika Universitas Pancasakti (UPS) Tegal di bawah kepemimpinan Prof. Dr. Taufiqulloh, M.Hum menjadikan Sastra Tegalan sebagai mata kuliah resmi. Dr. Tri Mulyono dipercaya mengampu mata kuliah tersebut, menandai legitimasi Sastra Tegalan dalam dunia pendidikan tinggi.
Kehadiran buku-buku berbasa Tegalan di perpustakaan UPS mempertegas bahwa karya sastra lokal tidak lagi dipandang sebelah mata, tetapi diterima sebagai warisan budaya yang hidup dan berkembang.
Salah satu upaya monumental untuk memperluas jangkauan Sastra Tegalan adalah penerbitan buku Republik Tegalan: Antologi Puisi oleh Balai Bahasa Jawa Tengah (2018). Buku ini menjadi ruang representasi bahwa puisi Tegalan dapat dikaji dan dinikmati tidak hanya di kalangan masyarakat Tegal, tetapi juga masyarakat Jawa Tengah, bahkan dunia.
Di dalam antologi ini, terdapat tiga puisi karya Apas Khafasi yang layak mendapat perhatian khusus, yaitu “Nging”, “Tuma”, dan “J vs P”. Ketiga puisi ini menampilkan kritik sosial, refleksi politik, serta permainan bahasa yang khas, menjadikan Sastra Tegalan semakin kaya makna.
NGING
Gawéané: Apas Khafasi
Ngingngingngingngingnging
bisané moniné ora ngang
atawa ngung
apa maning ngong
sing sèjèn karo ngéng
yaaa mbuuuh ya!
Nging, gara-gara gemiyèn
kedebag-kedebug démo reformasi
wuda sempakán mlayu-mlayu
muteri alun-alun ngromed puisi
dipabag polisi karo abri
Bek bek beg deg
digebug-gebugi bedhil
tangané enyong nangkis dadi sempol
untuné enyong rompol
kupingé enyong mili getih
nyong mlayu gloyoran
manjing gang ngarep pasar ésuk
warga wis pada runtung watu
nyamplong abri karo polisi sing
ngejar enyong céngap-céngap
Pet
klenger
barang éling
kupingé enyong moniné dadi
Ngingngingngingngingnging
Bandasari, 21-8-2018
TUMA
Gawéané: Apas Khafasi
Tuma tumaku ngumpet
èsih dhemen dolanan
pètak umpet, gobak sodor, jangka
lan nembang gundul-gundul pacul
cublek-cublek suweng, lir ilir karo
mlaku-mlaku sadawané rambutku
sing dadi suket
Tuma tumamu nglayab
nongkrong ongkang-ongkang neng
rambut klimisé cukong
njogèd dansa neng rambut uwané
ndoro
nggaya pamèr gengsi
ambisi rebutan krosi
sadawané rambutmu sing dadi
karpèt
Tumatumaku
tumatumamu
pada-pada tumané
pada-pada neng endas
ndasé ora pada neng isinè
Bandasari, 21-8-2018
J vs P
Gawéané: Apas Khafasi
“Cébong uteké kwalik”, ngromed Kamprèt karo
ngobral ayat-ayat dokrin
“Kamprèt sumbu tugel” tangkis Cébong karo
ngulas filsafat budayané
Cébong karo Kamprèt
pada-pada sedulur
pada uripé neng tlatah negri kiyé
pada baé benderané abang putih
Gara-gara sjèn pilihan
apa kudu pedot jakwirané
dadi ora ngopi bareng
Embuh sapa baé sing dadi
wong sing dipilih kaé
durung karuwan ngejak ngopi
njagong neng klasa bareng
kaya Kamprèt karo Cébong
gayeng yahèèèr
sadurungé J vs P
digawé géger ruwed
morat-marit sakarepé wudel
Bandasari, 21-8-2018
Ketiga puisi karya Apas Khafasi memperlihatkan kemampuan bahasa Tegal sebagai medium kritik sosial-politik yang tajam, dengan tetap menghadirkan nuansa humor dan kesederhanaan rakyat.
Puisi bertajuk Nging merekam jejak sejarah Reformasi 1998, ketika rakyat berhadapan langsung dengan represi aparat. Repetisi bunyi ngingngingnging merepresentasikan denging telinga akibat pukulan, peluru, atau trauma. Imaji tubuh yang luka dan berdarah menegaskan penderitaan rakyat. “Nging” adalah simbol suara penderitaan yang tidak bisa dihapus.
Puisi Tuma ini dijadikan metafora sosial. Pada bait pertama, tuma masih polos, suka bermain, dan sederhana. Namun, bait kedua menampilkan tuma yang menjelma simbol elit politik dan kapitalis: bergaya, pamer gengsi, dan berebut kursi kekuasaan. Kontras ini menjadi sindiran tajam bahwa dari sesuatu yang kecil bisa lahir kerakusan besar.
Sedang puisi berjudul J vs P lahir dari dinamika politik Pilpres, ketika istilah Cebong dan Kampret menjadi identitas dua kubu. Apas Khafasi menyoroti perpecahan akibat politik, padahal sejatinya mereka sama-sama rakyat Indonesia dengan bendera merah putih yang sama. Pesan kuatnya adalah ajakan menjaga persaudaraan dan tidak terjebak dalam fanatisme buta.
Dengan gaya bahasa lugas, ritmis, dan penuh permainan kata, Apas Khafasi membuktikan bahwa puisi Tegalan bukan sekadar ekspresi lokal, tetapi juga mampu membaca fenomena nasional.
Kesimpulan: Puisi-puisi karya Apas Khafasi dalam antologi Republik Tegalan memperlihatkan kekuatan Sastra Tegalan sebagai media kritik sosial dan refleksi politik.
“Nging” berbicara tentang trauma rakyat dalam arus reformasi. Puisi
“Tuma” menyindir kerakusan elit politik dan kapitalis. Senentara untuk puisi berjudul “J vs P” mengingatkan kita pada bahaya polarisasi politik yang merusak persaudaraan.
Melalui karya-karya ini, Sastra Tegalan menunjukkan kedewasaan estetik sekaligus relevansi sosial, sehingga layak ditempatkan sejajar dengan karya sastra daerah maupun nasional lainnya.
Wartawan PanturaNews dilengkapi indentitas yang tertera pada box redaksi, jika terjadi pemungutan uang dalam peliputan berita. Hubungi Kantor Redaksi:Jl. Ayam No 29 Randugunting Kota Tegal atau E-mail:redaksi@panturanews.com atau HP:081575522283