DI tengah derasnya arus digitalisasi dan perkembangan kecerdasan buatan atau Artificial Intellgence (AI), kita…" /> DI tengah derasnya arus digitalisasi dan perkembangan kecerdasan buatan atau Artificial Intellgence (AI), kita…" />
Senin, 13/10/2025, 19:07:32
Apakah Kita Masih Punya Privasi di Era Artificial Intellgence?
OLEH: WIDYASENA ARYATAMA
.

DI tengah derasnya arus digitalisasi dan perkembangan kecerdasan buatan atau Artificial Intellgence (AI), kita dihadapkan pada pertanyaan fundamental: apakah kita masih punya privasi?

Ketika setiap aktivitas daring meninggalkan jejak data, dan algoritma mampu menebak preferensi, emosi, hingga orientasi politik seseorang, hak atas privasi kini menjadi semakin kabur. Namun, bagi bangsa yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, privasi bukan sekadar isu teknis -melainkan hak asasi dan pilar kedaulatan digital yang harus dijaga.

-Jejak Data di Setiap Aktivitas

AI telah meresap ke hampir setiap sisi kehidupan manusia. Teknologi pengenalan wajah (facial recognition) kini dipasang di ruang publik dan dapat mengidentifikasi individu secara real time.

Analisis big data memetakan perilaku belanja, minat politik, bahkan kondisi kesehatan mental seseorang. Sementara itu, asisten virtual dan large language models (LLM) menyimpan percakapan pengguna sebagai bahan pelatihan model. Semua ini membentuk ekosistem digital yang efisien—namun sekaligus invasif.

Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat lebih dari 330 juta anomali lalu lintas siber sepanjang 2024, termasuk 26 juta upaya phishing dan lebih dari 500 ribu insiden ransomware yang berpotensi mencuri data sensitif warga.

Fakta ini menunjukkan bahwa setiap klik, tap, dan swipe adalah potongan identitas digital yang bisa diperjualbelikan. Dalam konteks ini, kesadaran privasi bukan lagi pilihan, melainkan keharusan moral dan kewarganegaraan digital.

-Hak Konstitusional atas Privasi

Indonesia sebenarnya telah memiliki landasan hukum yang kuat untuk melindungi data pribadi. Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945 dengan tegas menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda. Dalam konteks digital, hak ini mencakup segala bentuk data yang merekam jejak kehidupan seseorang.

Penguatan regulasi juga hadir melalui Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Regulasi ini menetapkan hak-hak subjek data -mulai dari akses, koreksi, portabilitas, hingga hak untuk menghapus data pribadi.

Di sisi lain, pengendali data diwajibkan untuk meminta persetujuan eksplisit, menjamin keamanan teknis, serta melaporkan insiden kebocoran dalam waktu tiga kali dua puluh empat jam. Pelanggaran serius bahkan dapat dikenakan denda hingga 2% dari pendapatan tahunan perusahaan.

Namun, sekuat apa pun regulasi, pelaksanaannya di lapangan sering kali menghadapi tantangan besar. Di sinilah peran warga negara dan lembaga negara diuji.

-Tantangan Implementasi dan Realitas Lapangan

Pertama, literasi digital masyarakat Indonesia masih rendah. Banyak warga yang belum memahami risiko berbagi data pribadi di dunia maya. Contoh nyata terlihat ketika sejumlah warga secara tidak sadar membagikan foto KTP atau data pasien di media sosial. Kasus kebocoran data pasien COVID-19 yang sempat beredar di darknet menunjukkan bahwa kesadaran privasi publik masih lemah.

Kedua, kapasitas institusi publik dan swasta dalam menerapkan perlindungan data masih terbatas. Banyak pelaku usaha kecil dan menengah belum memiliki Data Protection Officer (DPO) yang diwajibkan oleh UU PDP. Akibatnya, ketika terjadi kebocoran data, respon penanganannya lambat dan tidak transparan.

Ketiga, kelompok rentan -seperti anak-anak, penyandang disabilitas, dan lansia- masih belum mendapat perlindungan memadai. Banyak platform daring tidak memberikan mekanisme persetujuan orang tua atau wali yang jelas, dan kebijakan privasi sering kali sulit dipahami. Di saat yang sama, lembaga pengawas data pribadi yang dijanjikan oleh UU PDP belum memiliki struktur dan kewenangan yang jelas, sehingga penegakan hukum masih lemah.

-AI dan Kapitalisme Pengawasan

Salah satu ancaman terbesar terhadap privasi hari ini datang dari model bisnis yang disebut “surveillance capitalism” atau kapitalisme pengawasan. Raksasa teknologi global mengandalkan pengumpulan dan analisis data pengguna untuk iklan tertarget dan prediksi perilaku. Dalam skema ini, data pribadi menjadi komoditas paling berharga -dan AI menjadi mesin utama yang memprosesnya.

Kombinasi antara AI dan praktik kapitalisme pengawasan dapat berakibat fatal bagi kebebasan individu. Profil psikografis pengguna bisa digunakan untuk manipulasi politik; data lokasi dan interaksi daring bisa dipakai untuk pemantauan perilaku; dan layanan premium bisa menciptakan ketimpangan digital, di mana hanya mereka yang mampu membayar yang mendapat privasi, sementara yang lain menjadi sasaran komersial. Dalam konteks kewarganegaraan digital, hal ini mengancam prinsip keadilan sosial sebagaimana diamanatkan Pancasila.

-Etika AI dan Kedaulatan Digital

Laporan dari Oxford Internet Institute dan Universitas Bologna menekankan pentingnya penerapan audit etika AI, dengan indikator transparansi, non-diskriminasi, dan kepatuhan terhadap privasi. Pendekatan seperti ini bahkan telah melahirkan konsep capAI scorecard -semacam sertifikasi etis bagi sistem AI sebelum digunakan secara publik.

Indonesia dapat mengambil pelajaran dari sini. Penerapan prinsip Privacy by Design dan Privacy by Default harus menjadi fondasi setiap inovasi digital. Teknologi seharusnya memanusiakan, bukan mendewakan algoritma. Dalam kerangka PKN, ini berarti mewujudkan tanggung jawab moral dan sosial dalam memanfaatkan teknologi, serta menjaga keseimbangan antara inovasi dan nilai-nilai kemanusiaan.

- Nyata dan Rekomendasi Kebijakan

Untuk menjawab tantangan ini, langkah pertama adalah meningkatkan literasi digital nasional. Kurikulum pendidikan dari sekolah hingga perguruan tinggi perlu memasukkan modul hak privasi, keamanan siber, dan etika AI. Selain itu, kampanye publik melalui media dan komunitas digital perlu digalakkan agar masyarakat paham cara melindungi datanya sendiri.

Kedua, pemerintah perlu memperkuat penegakan dan pengawasan UU PDP. Pembentukan otoritas pengawas independen dengan wewenang audit dan sanksi tegas adalah langkah mendesak. Mekanisme pelaporan insiden juga harus transparan dan mudah diakses publik.

Ketiga, perusahaan teknologi perlu diwajibkan melakukan audit etika AI sebelum meluncurkan sistemnya. Hasil audit sebaiknya dipublikasikan untuk meningkatkan akuntabilitas dan kepercayaan publik. Terakhir, kolaborasi multistakeholder -antara pemerintah, industri, akademisi, dan masyarakat sipil- harus difasilitasi untuk menyusun standar teknis dan etika yang inklusif.

-Penutup: Menjaga Martabat di Dunia Digital

Privasi adalah cerminan martabat manusia. Di era AI, mempertahankan privasi bukanlah usaha melawan kemajuan, tetapi memastikan bahwa kemajuan berjalan selaras dengan nilai kemanusiaan dan konstitusi. Dalam semangat Pancasila, menjaga privasi berarti menjaga keseimbangan antara kebebasan individu dan kepentingan bersama.

Dengan literasi, regulasi, dan etika yang kuat, kita masih memiliki kesempatan untuk memastikan bahwa teknologi tetap menjadi pelayan umat manusia—bukan penguasanya.

Tulisan dalam Kolom Opini ini adalah kiriman dari masyarakat. Segala tulisan bukan tanggung jawab Redaksi PanturaNews, tapi tanggung jawab penulisnya.

 
Belum ada komentar untuk ditampilkan pada artikel ini.

Komentar Berita