DI tengah maraknya gaya hidup individualis dan kesibukan dunia digital yang semakin menguasai kehidupan sehari-hari, warga Dusun Kopen, Desa Barukan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, masih menjaga tradisi gotong royong.
Sementara di kota-kota besar, budaya individualis lebih terasa contonya tetangga dalam satu gedung apartemen bisa jadi tidak mengenal satu sama lain. Kesibukan dan gaya hidup yang lebih mementingkan diri sendiri seolah telah menjadi kebiasaan baru.
Namun, jauh dari hiruk pikuk kota besar, budaya gotong royong masih hidup dengan begitu hangat di desa Barukan ini. Dusun Kopen bukan hanya sebuah lokasi geografis, melainkan sebuah contoh nyata yang memperlihatkan bahwa kebersamaan dan saling tolong-menolong bukanlah sekadar omong kosong, melainkan kebiasaan sehari-hari yang mampu mempererat hubungan antarwarga.
Setiap Minggu sore pukul 15.00, ibu-ibu di Dusun Kopen rutin berkumpul untuk melaksanakan kerja bakti, ibu-ibu bergotong royong membersihkan halaman rumah masing-masing, dan area sekitar dusun untuk menjaga kenyamanan dan kebersihan lingkungan. Obrolan ringan di sela-sela menyapu jalan menghadirkan keakraban dan menjadi wadah bagi warga untuk saling berinteraksi.
Sementara itu, bapak-bapak turun tangan membersihkan selokan, memotong rumput liar, atau memperbaiki jalan desa. Menariknya, partisipasi ini lahir dari kesadaran bersama, tanpa adanya paksaan atau sanksi bagi mereka yang tidak ikut serta. Seperti yang pernah dikatakan proklamator kita, Bung Karno, “Gotong royong adalah kepribadian bangsa kita.”
Kalimat ini terasa nyata di Barukan: setiap orang hadir bukan karena takut aturan, melainkan karena rasa memiliki terhadap kampung mereka sendiri. Inilah yang menjadikan gotong royong di Barukan bukan sekadar rutinitas, melainkan wujud nyata dari rasa kepedulian terhadap lingkungan.
Solidaritas warga Dusun Kopen tidak hanya terlihat dalam kerja bakti rutin. Ketika ada warga yang meninggal dunia, kepedulian sosial langsung terwujud dalam tindakan nyata.
Bapak-bapak dan remaja segera mendatangi keluarga yang berduka, mendirikan tenda, menyiapkan tempat takziah, hingga membantu keperluan pemakaman secara gotong royong.
Ibu-ibu pun turut berperan, menyiapkan konsumsi bagi para pelayat, menemani keluarga yang ditinggalkan, serta memberikan dukungan moral. Begitu pula ketika ada warga yang menikah. Persiapan hajatan dilakukan secara bahu-membahu oleh seluruh warga, mulai dari memasak, menata tempat, hingga melayani tamu.
Tidak ada yang merasa bahwa urusan tersebut bukan tanggung jawabnya. Kebahagiaan dan kesedihan tetangga dirasakan sebagai tanggung jawab bersama.
Tradisi baik seperti di Barukan kini menghadapi tantangan yang besar. Modernisasi dan arus digital membuat banyak generasi muda lebih betah dengan gadget daripada sapu lidi. Sikap mementingkan diri sendiri perlahan masuk, bahkan hingga ke pedesaan. Kita sering mendengar cerita anak muda yang enggan ikut kerja bakti karena sibuk dengan urusan pribadi.
Jika tidak hati-hati, nilai gotong royong bisa terkikis. Menurut data Badan Pusat Statistik (2022), lebih dari 60% masyarakat Indonesia menganggap hubungan sosial antarwarga semakin renggang dibanding sepuluh tahun lalu. Fakta ini seharusnya menjadi peringatan keras bagi kita semua bahwa kita sedang kehilangan salah satu fondasi terpenting dari kehidupan berbangsa.
Agar gotong royong tidak hanya menjadi kenangan, langkah nyata perlu dilakukan. Warisan ini harus dijaga secara aktif, bukan dibiarkan begitu saja. Tradisi ini perlu terus diturunkan dengan cara yang menarik bagi generasi muda, misalnya dengan menjadikan mereka penggerak kegiatan sosial yang dipromosikan melalui media sosial.
Dokumentasi kerja bakti yang diunggah ke Instagram atau TikTok tidak hanya membuat kegiatan lebih menarik, tetapi juga menyebarkan semangat kebersamaan ke khalayak yang lebih luas.
Dusun Kopen di Desa Barukan memberi pelajaran penting bahwa gotong royong bukan sekadar warisan budaya yang ketinggalan zaman, melainkan kebutuhan sosial yang membuat hidup lebih ringan dan bermakna.
Menurut Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2015, desa bersih didefinisikan sebagai desa yang mampu menjaga kebersihan lingkungan melalui partisipasi aktif masyarakat dalam pengelolaan sampah dan sanitasi lingkungan.
Praktik gotong royong di Dusun Kopen membuktikan bahwa definisi tersebut bukan sekadar regulasi, melainkan dapat diwujudkan melalui kesadaran kolektif warga.
Seperti kata Emile Durkheim, ahli sosiologi dari Prancis, “Masyarakat ada karena ada kebersamaan.” Gotong royong adalah bentuk kebersamaan paling nyata di Indonesia. Jika kita kehilangan itu, apa yang tersisa dari identitas kita sebagai bangsa?
Sudah saatnya kita, terutama generasi muda, kembali meneguhkan gotong royong sebagai bagian dari gaya hidup. Bukan hanya di desa, tetapi juga di kota, di kampus, bahkan di dunia digital.
Karena pada akhirnya, gotong royong bukan hanya tentang kerja bersama, tetapi tentang kepedulian dan rasa tanggung jawab terhadap sesama. Itulah wajah kebersamaan yang seharusnya kita jaga dan banggakan sebagai bangsa Indonesia.