DISINFORMASI: Belakangan ini, istilah deepfake semakin sering muncul di dunia digital. Dengan kemajuan teknologi…" /> DISINFORMASI: Belakangan ini, istilah deepfake semakin sering muncul di dunia digital. Dengan kemajuan teknologi…" />
Senin, 13/10/2025, 18:56:37
Deepfake dan Disinformasi: Ancaman Nyata Teknologi Generatif
OLEH: NGAFIFAH RAHMA SYADZA
.

DISINFORMASI: Belakangan ini, istilah deepfake semakin sering muncul di dunia digital. Dengan kemajuan teknologi kecerdasan buatan (AI), siapa pun kini bisa membuat video atau suara yang menyerupai orang lain dengan sangat meyakinkan.

Meski awalnya dikembangkan untuk hiburan dan riset teknologi, kini deepfake justru menjadi ancaman serius, terutama menjelang pemilu. Pertanyaannya, seberapa berbahaya deepfake dan disinformasi bagi demokrasi kita? Mari kita bahas lebih dalam.

-1. Deepfake bukan sekadar editan video biasa

AI Video Editor: Banyak orang masih menganggap deepfake hanya sekadar hasil editan video menggunakan filter atau aplikasi lucu. Padahal, deepfake jauh lebih canggih. Teknologi ini menggunakan model AI untuk meniru wajah, suara, hingga ekspresi seseorang secara realistis.

Masalahnya, teknologi ini dapat disalahgunakan untuk menyebarkan konten palsu yang tampak seperti fakta. Misalnya, video calon pemimpin yang tampak mengatakan sesuatu padahal tidak pernah terjadi. Di era politik yang sensitif, deepfake bisa dengan mudah memicu salah paham dan mengubah persepsi publik dalam hitungan jam

-2. Disinformasi jadi senjata politik baru

Disinformasi jadi senjata politik baru: Pemilu adalah momen penting di mana opini publik sangat mudah dipengaruhi. Dalam konteks ini, deepfake bisa menjadi alat disinformasi yang berbahaya. Video palsu, rekaman suara yang dimanipulasi, atau bahkan foto hasil AI dapat digunakan untuk menjatuhkan citra kandidat tertentu.

Masalahnya bukan hanya pada teknologi, tetapi juga pada kecepatan persebarannya. Di media sosial, sebuah video palsu bisa viral dalam hitungan menit sebelum ada waktu untuk memverifikasi kebenarannya. Ini membuat masyarakat sulit membedakan mana yang nyata dan mana yang hasil rekayasa digital.

-3. Dampak psikologis dan sosial yang tidak bisa diremehkan

Dampak psikologis dan sosial yang tidak bisa diremehkan: Ketika masyarakat terus-menerus terpapar informasi palsu, kepercayaan terhadap media dan institusi publik perlahan menurun. Orang menjadi skeptis, bahkan pada berita yang benar sekalipun.

Fenomena ini disebut information fatigue, yaitu kondisi ketika seseorang lelah menyaring kebenaran karena terlalu banyak informasi bertentangan. Dalam konteks pemilu, kelelahan informasi bisa membuat warga enggan memilih atau apatis terhadap proses demokrasi. Ini jelas berbahaya bagi keberlangsungan politik yang sehat.

-4. Literasi digital jadi benteng utama

Literasi digital jadi benteng utama: Salah satu cara menghadapi ancaman deepfake dan disinformasi adalah dengan meningkatkan literasi digital masyarakat. Artinya, setiap orang perlu belajar mengenali tanda-tanda manipulasi digital -mulai dari memeriksa sumber berita, mencermati ekspresi wajah atau suara dalam video, hingga menggunakan alat verifikasi online.

Pemerintah, media, dan lembaga pendidikan juga perlu berperan aktif dalam memberikan edukasi. Kampanye publik tentang bahaya deepfake bisa membantu masyarakat tidak mudah tertipu oleh konten palsu yang tersebar menjelang pemilu.

-5. Regulasi dan teknologi penangkal harus berjalan seimbang

Regulasi dan teknologi penangkal harus berjalan seimbang: Selain literasi, perlu adanya kebijakan yang jelas untuk menindak penyebaran deepfake berbahaya. Beberapa negara sudah mulai membuat undang-undang khusus terkait penyalahgunaan AI generatif. Indonesia pun perlu bergerak cepat agar tidak tertinggal.

Di sisi lain, teknologi juga bisa digunakan untuk melawan deepfake. Banyak peneliti kini mengembangkan sistem deteksi otomatis yang mampu mengenali hasil manipulasi AI dalam video atau audio. Kombinasi antara regulasi, teknologi, dan edukasi publik akan menjadi kunci menghadapi ancaman ini.

-6. Menjaga kebenaran demi demokrasi yang sehat

Pemilu yang benar: Pemilu seharusnya menjadi ajang adu gagasan, bukan perang manipulasi digital. Jika deepfake dan disinformasi dibiarkan tanpa pengawasan, bukan tidak mungkin masa depan demokrasi kita dipertaruhkan.Kebenaran adalah fondasi kepercayaan publik.

Oleh karena itu, kita semua baik masyarakat, media, maupun pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menjaga ruang digital tetap bersih dan transparan.Teknologi boleh maju, tetapi nilai kejujuran harus tetap menjadi pedoman.

Tulisan dalam Kolom Opini ini adalah kiriman dari masyarakat. Segala tulisan bukan tanggung jawab Redaksi PanturaNews, tapi tanggung jawab penulisnya.

 
Belum ada komentar untuk ditampilkan pada artikel ini.

Komentar Berita