.
KEMENTERIAN Komunikasi dan Digital (Komdigi) akan memberlakukan kebijakan baru Indonesia Game Rating System (IGRS) mulai Januari 2026. Aturan ini mewajibkan semua game di Indonesia, termasuk dari pengembang asing maupun lokal, untuk memiliki klasifikasi rating yang sesuai.
Game yang melanggar, terutama yang mengandung unsur kekerasan, pornografi, atau judi, akan langsung di-take down. Komdigi menegaskan pentingnya kepatuhan untuk melindungi pengguna.
Direktur Jenderal Ekosistem Digital, Kementerian Komdigi, Edwin Hidayat Abdullah, mengatakan bahwa sistem ini bertujuan melindungi anak-anak dari konten game yang tidak sesuai dengan umur mereka.
"Karena terdapat ada unsur-unsur misalnya yang dilarang gitu ya, seperti mengajak untuk melakukan kekerasan ataupun pornografi yang tidak sesuai. Ada unsur judinya. Nah itu kita langsung tutup, langsung take down," kata Edwin saat ditemui di The Stones Hotel, Kuta, Bali, Jumat (10/10/2025).
Kebijakan ini dimaksudkan untuk menciptakan ekosistem digital yang aman, melindungi anak-anak dari konten berbahaya, serta menegakkan standar klasifikasi yang sehat. Namun, langkah tersebut juga memunculkan perdebatan: apakah kebijakan ini benar-benar melindungi masyarakat, atau justru menjadi bentuk pembatasan baru terhadap kreativitas dan inovasi digital anak muda Indonesia?
Kebijakan takedown ini sejatinya lahir dari semangat baik. Pemerintah ingin memastikan setiap konten gim yang beredar di pasar lokal telah melewati proses penilaian umur dan kesesuaian konten. Dalam konteks global, sistem rating seperti IGRS sebenarnya bukan hal baru.
Negara-negara seperti Korea Selatan dan Amerika Serikat telah lama menerapkan sistem serupa melalui lembaga seperti ESRB. Melalui klasifikasi, orang tua dapat lebih mudah mengawasi jenis gim yang diakses anak-anaknya, sementara pengembang pun didorong untuk lebih bertanggung jawab terhadap isi karyanya.
Namun, yang menjadi persoalan bukanlah pada niatnya, melainkan pada cara kebijakan ini diterapkan. Ancaman takedown terhadap gim yang belum memenuhi aturan IGRS dapat berdampak serius pada ribuan pengembang lokal, terutama studio kecil dan pengembang indie.
Banyak di antara mereka yang belum memiliki sumber daya memadai untuk memahami proses administratif atau teknis yang dibutuhkan. Alih-alih melindungi industri, kebijakan ini bisa menjadi penghalang baru bagi mereka yang baru mulai tumbuh.
Bayangkan jika gim-gim karya anak muda seperti Coffee Talk atau DreadOut tidak sempat lolos verifikasi hanya karena masalah administratif. Padahal, karya-karya seperti itu tidak hanya membawa nama baik Indonesia di kancah global, tetapi juga membuka peluang ekonomi digital yang besar.
Di sisi lain, ancaman takedown yang menyeluruh bisa menimbulkan ketakutan baru di kalangan pengembang lokal bahwa setiap inovasi bisa sewaktu-waktu dihapus hanya karena belum memenuhi aturan yang masih belum sepenuhnya tersosialisasikan.
ISI: Pendekatan yang terlalu represif berisiko menumbuhkan ketidakpastian di dunia kreatif. Dalam ekosistem digital, kepercayaan dan kolaborasi lebih efektif dibanding sekadar penegakan sanksi. Pemerintah tentu memiliki tanggung jawab untuk menjaga ruang digital yang aman, tetapi langkah itu harus ditempuh dengan cara yang edukatif dan partisipatif, bukan koersif.
Pendekatan takedown yang kaku bisa diibaratkan seperti menebang pohon muda sebelum sempat berbuah niatnya untuk menata taman, tapi justru kehilangan potensi yang sedang tumbuh. Regulasi digital yang baik semestinya mampu membedakan antara pelanggaran yang disengaja dengan keterlambatan administratif. Dalam banyak kasus, yang dibutuhkan pengembang lokal bukan ancaman, melainkan pendampingan, dukungan dan panduan.
Selain itu, penerapan IGRS juga membutuhkan infrastruktur pendukung yang kuat. Proses verifikasi sebaiknya dapat dilakukan secara digital, cepat, dan transparan. Pemerintah dapat mengembangkan platform otomatis yang memudahkan pengembang melakukan klasifikasi mandiri berdasarkan algoritma yang disetujui regulator. Dengan demikian, proses penilaian tidak menjadi beban, tetapi bagian dari budaya kepatuhan yang mudah diikuti.
Penting juga untuk membangun ruang dialog antara regulator, pengembang, dan komunitas gamer. Komunitas gim di Indonesia sangat aktif dan adaptif, mereka dapat menjadi mitra penting dalam membangun kesadaran rating konten. Melibatkan mereka dalam proses kebijakan akan menumbuhkan rasa memiliki terhadap sistem yang dibuat, bukan sekadar rasa takut terhadap ancaman sanksi.
Dalam era digital yang dinamis, kebijakan publik tidak bisa lagi hanya berbentuk instruksi satu arah. Ia perlu menjadi ekosistem kolaboratif yang menggabungkan kepentingan negara, industri, dan masyarakat. Pemerintah berperan sebagai fasilitator, bukan sekadar pengawas.
Prinsip “perlindungan” seharusnya berjalan beriringan dengan “pemberdayaan”. Melindungi masyarakat dari konten berbahaya tidak harus berarti membatasi ruang berekspresi, apalagi mengekang inovasi digital lokal.
Kita tentu memahami bahwa dunia gim tidak sepenuhnya bebas dari risiko. Ada konten kekerasan, perjudian, bahkan pornografi yang perlu dikontrol. Namun, menggeneralisasi semua gim sebagai potensi ancaman justru menurunkan apresiasi terhadap karya anak bangsa yang positif dan mendidik.
Di banyak negara, pemerintah justru menggandeng komunitas gim untuk menciptakan program literasi digital, mengajarkan etika bermain, dan memperkuat nilai-nilai positif di dunia maya.
Indonesia sebenarnya memiliki peluang besar untuk menempuh jalan serupa. Dengan potensi anak muda dan industri kreatif yang sedang berkembang, kita dapat menjadi contoh negara yang menerapkan regulasi digital dari kepercayaan dan edukasi.
Komdigi dapat memulai dari langkah kecil misalnya membuat panduan visual interaktif tentang IGRS, melibatkan kampus dan komunitas dalam sosialisasi, serta menyediakan dukungan teknis bagi pengembang kecil.
Selain itu, pemerintah juga dapat melibatkan sektor swasta dan platform distribusi digital seperti Google Play, Steam, atau Epic Games Store dalam implementasi rating konten.
Kolaborasi lintas pihak ini tidak hanya memperkuat sistem, tetapi juga memastikan penerapan yang konsisten tanpa memberatkan pelaku industri. Dengan sinergi antara regulasi, edukasi, dan inovasi, ekosistem digital Indonesia dapat tumbuh sehat tanpa kehilangan semangat kreatifnya.
PENUTUP: Kebijakan digital yang baik tidak hanya menegakkan aturan, tetapi juga membangun kesadaran dan kemampuan masyarakat untuk mematuhi aturan tersebut. Perlindungan sejati lahir bukan dari rasa takut, melainkan dari pemahaman dan tanggung jawab bersama.
Pada akhirnya, perlindungan dan kebebasan bukanlah dua kutub yang harus dipertentangkan. Keduanya dapat berjalan berdampingan bila negara mampu menciptakan kebijakan yang inklusif, adaptif, dan berorientasi pada masa depan. Dunia digital adalah ruang tumbuh generasi muda, jangan sampai niat melindungi justru berubah menjadi pagar yang membatasi langkah mereka.
Sudah saatnya pemerintah melihat industri gim bukan sekadar objek pengawasan, melainkan mitra strategis dalam membangun budaya digital yang sehat. Karena pada akhirnya, kebijakan yang baik bukan yang paling keras menekan, melainkan yang paling cerdas memerdekakan.
Tulisan dalam Kolom Opini ini adalah kiriman dari masyarakat. Segala tulisan bukan tanggung jawab Redaksi PanturaNews, tapi tanggung jawab penulisnya.