KITA hidup di zaman yang serba digital. Rasanya mustahil ada keputusan publik, mulai dari pemilihan kepala daerah sampai kebijakan harga kebutuhan pokok, yang luput dari perbincangan di linimasa media sosial. Di satu sisi, ini adalah kemajuan: warga negara kini punya ruang bicara yang (nyaris) tak terbatas. Namun, di sisi lain, ruang publik digital kita sedang sakit parah.
Fenomena yang kita saksikan sehari-hari sungguh memilukan. Hoaks dan misinformasi menyebar lebih cepat dari api di padang rumput. Polarisasi politik tak lagi terbatas di bilik suara, tapi merembes ke komentar-komentar yang saling sikut. Akibatnya, alih-alih menjadi ruang diskusi yang mencerahkan, media sosial seringkali berubah menjadi ring tinju digital.
Inilah tantangan terbesar bagi demokrasi digital kita: bagaimana memastikan teknologi yang seharusnya memfasilitasi partisipasi, tidak justru merusaknya dengan kebohongan dan kebencian.
Di tengah kekacauan ini, mahasiswa IT seperti kita punya tanggung jawab besar yang sering terlupakan. Kita sibuk belajar algoritma, menguasai bahasa pemrograman, dan mengerjakan project coding. Tapi kita lupa: teknologi yang kita ciptakan punya dampak nyata pada kehidupan masyarakat.
Platform yang kita bangun bisa menjadi alat penyebar kebenaran, atau sebaliknya, mesin penyebar kebohongan. Sudah saatnya mahasiswa IT tidak hanya jago coding, tapi juga peduli pada kesehatan demokrasi digital bangsa ini.
-Demokrasi Digital: Antara Harapan dan Kenyataan Pahit
Demokrasi digital seharusnya menjadi hal yang indah. Internet memberi kita akses informasi tanpa batas. Media sosial memungkinkan kita berdiskusi dengan orang dari berbagai latar belakang. Platform digital membuka ruang bagi suara-suara yang dulu terpinggirkan. Dalam teori, ini sempurna.
Namun kenyataannya? Jauh dari ideal. Survei Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (Mafindo) tahun 2024 mencatat ada lebih dari 1.200 hoaks yang beredar selama periode pemilu. Angka yang fantastis dan menakutkan.
Belum lagi fenomena "echo chamber" di media sosial, di mana kita hanya terpapar konten yang sejalan dengan pandangan kita sendiri. Algoritma platform seperti Facebook, Instagram, atau TikTok sengaja dirancang untuk membuat kita terus scrolling, tanpa peduli apakah konten itu benar atau sekadar clickbait sensasional.
Lebih parah lagi, literasi digital masyarakat kita masih rendah. Banyak orang tidak bisa membedakan berita asli dengan hoaks. Tidak tahu cara cek fakta. Tidak paham bahwa foto bisa diedit, video bisa dipotong konteksnya, dan quotes bisa dipalsukan. Akibatnya, informasi menyesatkan dengan mudah diterima sebagai kebenaran, disebarkan secara masif, dan menciptakan perpecahan di masyarakat.
Parahnya, semua ini terjadi di platform yang dibangun oleh orang-orang IT. Algoritma yang kita pelajari di kampus, sistem yang kita kembangkan, aplikasi yang kita buat, semua berpotensi menjadi bagian dari masalah ini. Pertanyaannya: apakah kita mau diam saja?
-Mahasiswa IT: Aktor Penting yang Belum Sadar Perannya
Sebagai mahasiswa IT, kita punya privilese yang tidak dimiliki kebanyakan orang: kita memahami bagaimana teknologi bekerja. Kita tahu bagaimana algoritma membentuk feed media sosial. Kita paham cara kerja search engine. Kita bisa membedakan website kredibel dengan situs abal-abal. Kita bahkan bisa membuat bot, menganalisis data, dan membangun sistem informasi.
Tapi sayangnya, privilese ini jarang kita gunakan untuk hal yang lebih besar dari sekadar mengerjakan tugas kuliah atau mencari kerja di startup. Padahal, dengan skill yang kita punya, kita bisa berkontribusi banyak untuk mewujudkan demokrasi digital yang lebih sehat.
Saya tidak bicara soal hal yang muluk-muluk. Ini tentang langkah-langkah konkret yang bisa kita lakukan sebagai mahasiswa:
-1. Jadilah Edukator Literasi Digital. Kita bisa mengadakan workshop sederhana di kampus atau komunitas tentang cara mengidentifikasi hoaks, mengecek fakta menggunakan Google Reverse Image Search, atau membedakan situs berita kredibel dengan clickbait. Ajari warga di lingkungan kita cara menggunakan internet dengan bijak. Buat konten edukatif di media sosial tentang keamanan digital. Hal-hal kecil ini punya dampak besar.
-2. Gunakan Skill Coding untuk Kebaikan Publik. Kita bisa membuat website sederhana untuk cek fakta lokal. Mengembangkan bot yang membantu mengidentifikasi hoaks di grup WhatsApp. Membangun aplikasi yang mempermudah masyarakat mengakses informasi publik secara transparan. Atau sekadar membuat infografis data yang mudah dipahami tentang isu-isu penting. Project-project seperti ini jauh lebih bermakna daripada sekadar memenuhi syarat lulus.
-3. Jadilah Role Model Etika Digital. Kita yang paham teknologi seharusnya menjadi contoh dalam berperilaku di ruang digital. Jangan ikut-ikutan menyebarkan informasi yang belum terverifikasi. Hindari debat kusir di kolom komentar. Kritik yang kita sampaikan di media sosial harus berbasis data, bukan emosi sesaat.
Demokrasi digital yang sehat bukan sesuatu yang terjadi dengan sendirinya. Ia butuh usaha sadar dari semua pihak, termasuk kita, mahasiswa IT. Kita tidak bisa terus bersembunyi di balik dalih "saya cuma programmer" atau "itu bukan urusan saya." Teknologi yang kita ciptakan membentuk masyarakat. Dan masyarakat yang terbentuk akan menentukan masa depan demokrasi kita.
Mulailah dari hal kecil: berhenti menyebarkan informasi yang belum terverifikasi. Ajari satu orang cara cek fakta. Gunakan satu weekend untuk bikin project yang bermanfaat. Diskusikan dengan teman-teman tentang etika teknologi. Suarakan pentingnya transparansi algoritma dan perlindungan data pribadi.
Kita adalah generasi yang tumbuh bersama internet. Kita paham teknologi lebih baik dari generasi sebelumnya. Tapi dengan pemahaman itu datang tanggung jawab. Jangan sia-siakan privilese yang kita miliki. Gunakan skill coding kita untuk membangun, bukan menghancurkan. Jadilah bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah.