MENURUT Adiba (2022), pendidikan merupakan pionir utama dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia. Secara umum, jenis Pendidikan dibagi menjadi tiga yaitu Pendidikan formal, Pendidikan informal, dan Pendidikan nonformal. Pendidikan formal adalah Pendidikan yang terstruktur bertingkat dan berjenjang.
Pada setiap jenjang pendidikan, matematika merupakan pelajaran wajib yang harus ditempuh siswa. Tetapi siswa menganggap bahwa matematika adalah mata pelajaran yang sulit sehingga mereka enggan mempelajari matematika.
Matematika termasuk mata pelajaran yang dihindari siswa sehingga kemampuan berpikir matematis siswa rendah dan perlu ditingkatkan kualitasnya. Salah satu kemampuan berpikir matematis yaitu kemampuan berpikir geometri.
Geometri merupakan salah satu cabang pelajaran matematika yang dapat mengemb bangkan kemampuan berpikir matematis siswa. Tetapi hasil belajar siswa dalam geometri masih rendah, sehingga memerlukan suatu model untuk meningkatkan hasil belajar siswa.
Kemampuan berpikir geometri adalah kemampuan siswa dalam mengamati, mengenali, membangun definisi mengenai suatu objek kemudian dapat memecahkan masalah tentang objek-objek tersebut.
Berdasarkan hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA), menunjukkan bahwa siswa lemah dalam geometri, khususnya dalam pemahaman ruang dan bentuk, geometri sebenarnya merupakan salah satu topik matematika yang sangat dekat dengan kehidupan siswa, namun siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikan masalah terkait topik geometri.
Siswa memiliki keterampilan prosedural yang cukup untuk menyelesaikan masalah yang rutin, namun kesulitan untuk mengaplikasikan pengetahuan yang dimiliki untuk menyelesaikan masalah yang tidak rutin (Novita, R., Zulkardi, Hartono, 2012; Sholihah, S. Z. & Afriansyah, 2017).
Pada hasil Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) 2011, persentase siswa Indonesia yang dapat menjawab dengan benar untuk soal geometri sebesar 24% lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata Internasional sebesar 39% (Mullis dkk, 2012).
Padahal, secara tidak langsung, geometri sangatlah berkaitan erat dengan kehidupan sehari-hari siswa, misalnya gedung, rumah, layanglayang dan sebagainya. Namun demikian, kesiapan guru matematika dalam membelajarkan geometri masih terbilang cukup yaitu hanya sebesar 59 % (Mullis dkk, 2012).
Berdasarkan uraian hasil PISA dan TIMSS diatas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir geometri Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain. Hal ini menjadi sebuah permasalahan dalam dunia pendidikan indonesia.
Idris 2017, menyatakan bahwa sejumlah faktor yang menyebabkan pembelajaran geometri itu sulit yaitu bahasa geometri, kemampuan visualisasi dan pembelajaran yang kurang efektif yang menyebabkan rendahnya penguasaan terhadap fakta, konsep dan prinsip geometri.
Menurut Nonong (2017) salah satu di antara faktor penyebab tersebut adalah kemampuan intelektual siswa. Kemampuan intelektual siswa sangat berperan dalam penguasaan fakta dan konsep geometri. Salah satu kemampuan intelektual siswa adalah kemampuan berpikir, khususnya kemampuan berpikir geometris.
Salah satu teori mengenai proses pengembangan yang dilalui siswa dalam mempelajari geometri adalah teori Van Hiele. Van Hiele menyatakan bahwa dalam mempelajari geometri siswa mengalami perkembangan kemampuan berpikir melalui tahap-tahap tertentu. Terdapat 5 tahap berpikir yang dikemukakan Van Hiele dalam pembelajaran geometri, yaitu tahap 0 (visualisasi), tahap 1 (analisis), tahap 2 (pengurutan), tahap 3 (deduksi) dan tahap 4 (akurasi).
Menurut Musa (2016), setiap tahap teori van hiele memiliki beberapa indikator. Pada tahap 0, mengidentifikasi bangun berdasarkan bentuk yang dilihatnya secara utuh, dan menentukan contoh dan yang bukan contoh dari gambar bangun geometri.
Pada tahap 1, mendeskripsikan suatu bangun berdasarkan sifat-sifatnya, membandingkan bangun-bangun berdasarkan sifat-sifatnya, dan melakukan pemecahan masalah yang melibatkan sifat-sifat bangun yang sudah dikenali.
Pada tahap 2, menyusun definisi suatu bangun berdasarkan sifat-sifat antar bangun geometri, memberikan penjelasan mengenai hubungan yang terkaut antarbangun geometri meskipun belum pada tataran formal berdasarkan informasi yang diberikan, dan menyelesaikan masalah yang terkait dengan sifat-sifat antarbangun geometri.
Pada tahap 3, memahami beberapa pernyataan matematika seperti aksioma, definisi, teorema, dan bukti, dan menyusun pembuktian secara deduktif. Pada tahap 4, memahami keberadaan aksioma sebagai pernyataan pangkal yang dapat digunakan dalam membuktikan keberadaan suatu teorema, dan menyusun pembuktian teorema dalam geometri secara formal.
Pada kurikulum merdeka, capaian pembelajaran mata pelajaran matematika pada materi geometri meliputi:
Pada fase A (Umumnya untuk kelas I dan II SD/MI/Program Paket A), seharusnya siswa sudah mencapai tahap 0 berfikir geometri van hiele. Pada fase B (Umumnya untuk kelas III dan IV SD/MI/Program Paket A), seharusnya siswa sudah mencapai tahap 1 berfikir geometri van hiele. Pada fase C (Umumnya untuk kelas V dan VI SD/MI/Program Paket A), seharusnya siswa sudah mencapai tahap 2 berfikir geometri van hiele.
Pada fase D (Umumnya untuk kelas VII, VIII dan IX SMP/MTs/Paket B), seharusnya siswa sudah mencapai tahap 3 berfikir geometri van hiele. Pada fase E (Umumnya untuk kelas X SMA/MA/Program Paket C), seharusnya siswa sudah mampu mencapai pada tahap 3 berfikir geometri van hiele. Pada fase F (Umumnya untuk kelas XI dan XII SMA/MA/Program Paket C), seharusnya siswa sudah mencapai tahap 3 berfikir geometri van hiele. Sedangkan pada fase F+ (Sebagai pilihan untuk kelas XI dan XII), seharusnya siswa sudah mencapai pada tahap 4 berfikir geometri van hiele.
Kemampuan berpikir geometri berdasarkan teori Van Hiele ini sudah banyak diteliti. Misalnya penelitian Abdul Jabar dan Fahriza Noor (2015) bahwa sebanyak 8% siswa SMP masih berada pada tingkat 0, 32% berada pada tingkat 1, 40% berada pada tingkat kedua, 1% berada pada tingkat ketiga, 0% berada pada tingkat keempat dan kelima, serta 19% tidak dapat ditempatkan.
Pada penelitian Sonny dan Karni (2019) di SMP Negeri 4 Rantetayo yang hanya mampu mencapai pada tahap 3 (deduksi). Sedangkan penelitian Silfi dan Ekasatya (2017) di SMP Negeri 6 Garut hanya mampu mencapai pada tahap 1 (analisis). Artinya, kemampuan berpikir geometri siswa masih sangatlah rendah.
Selanjutnya, penelitian yang telah dilakukan oleh Muawanah (2013) pada siswa SMA yaitu sebanyak 37% level pengenalan, 30% level analisis, 17% level pengurutan, 16% level deduksi dan keakuratan. Sedangkan level kemampuan berpikir geometri jika ditinjau berdasarkan gender menurut Nurani, dkk (2016) diperoleh siswa laki-laki berada pada level 0 (visualisasi) dan siswa perempuan level 1 (analisis).
Menurut penelitian Nur’aini dan Fauzi (2020) dijenjang yang lebih tinggi pun, mahasiswa semester dua yang mengalami kesalahan masih berada pada level kedua berpikir geometri Van Hiele.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir geometri siswa Indonesia masih rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa penelitian yang sudah dijelaskan diatas, bahwa dari beberapa penelitian tersebut menunjukkan bahwa siswa SMP masih dalam tahap 2 berfikir geometri yang seharusnya dalam capaian pembelajaran kurikulum merdeka siswa SMP sudah sampai pada tahap 3 berfikir geomteri van hiele.
Sedangkan pada penelitian siswa SMA masih pada tahap 3 berfikir geomteri, yang seharusnya pada capaian pembelajaran kurikulum merdeka siswa SMA sudah sampai pada tahap 4 berfikir geometri van hiele.
Oleh dari itu, perlu adanya kerjasama dari berbagai pihak agar permasalahan geometri Indonesia dapat teratasi. Sehingga Indonesia dapat bersaing dengan negara-negara lain dan dapat menaikkan peringkat Indonesia pada hasil TIMSS dan PISA.