PENDIDIKAN sangatlah penting bagi kehidupan masyarakat sosial, maka sudah tidak asing lagi bagi kita ketika ada yang menyatakan bahwa ketertinggalan suatu bangsa sebab tertinggal pendidikan didalamnya, pendidikan juga yang dapat membuat seseorang berkembang. Pendidikan sendiri secsra umum mempunyai arti suatu proses kehidupan dalam mengembangkan diri tiap individu untuk dapat hidup dan melangsungkan hidup, Seperti yang tertuang didalam tujuan berdirinya indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Jadi bisa disimpulkan bahwa pendidikan adalah bidang kehidupan manusia yang paling vital dan fundamental bagi proses menuju bangsa yang cerdas sehingga berujung pada kesejahteraan dan kemakmuran suatu bangsa. Namun hari ini pendidikan menjadi suatu barang mewah yang tidak semua orang bisa menjamahnya sebab ketiadaan biaya.
Pendidikan sangat mahal sehingga banyak sekali yang tidak bisa menjangkaunya karena tidak cukup dengan uang yang dimiliki. Ini adalah salah satu sebab kapitalis masuk ke sektor pendidikan, dunia pendidikan tidak lepas dari cengkraman kaptalis yang hanya berbicara tentang keuntungan, hal ini lah yang menyebabkan perbedaan didalam kualitas pendidikan yang dapat oleh masyarakat.
Rupert C. Lodge (1947) mengingatkan bahwa pendidikan dengan kehidupan merupakan dua hal yang tidak terpisahkan dengan pernyataannya yang sangat populer; hidup atau kehidupan adalah pendidikan, dan pendidikan adalah hidup atau kehidupan itu sendiri. Proses kehidupan pada hakikatnya adalah proses pendidikan, dan proses pendidikan merupakan proses kehidupan manusia.
Pendidikan juga tidak luput dari ideologi ditengah masyarakatnya, dengan ini maka pendidikan mengikuti alur ideologi yang dianut, O’neil (2002) mengemukakan, secara umum ada dua ideologi. Kapitalisme dan Pendidikan Liberal-Kapitalistik Samrin berkembang dalam dunia pendidikan, yaitu konservatif dan liberal. Kedua ideologi ini memiliki varian yang beragam.
Jika kita lihat sistem pendidikan sejak masa kemerdekaan, liberal-kapitalistik telah mendominasi konsep pendidikan hingga saat ini. Pendidikan liberal menjadi bagian dari globalisasi ekonomi liberal kapitalisme. Dan jika kita lihat kebijakan-kebijakan pendidikan pada saat ini hanyalah manipulasi, alih-alih mewujudkan pendidikan yang populis dan merata bagi seluruh rakyat indonesia.
Darmaningtyas (2021) berpendapat, berbagai kebijakan yang sifatnya pura-pura populis tersebut seperti bantuan operasional sekolah (BOS) dan beasiswa bidik misi. Kebijakan bantuan pembiayaan pendidikan tersebut menurutnya hanya menjadi alat untuk mendinginkan tensi tinggi dari masyarakat yang menolak kebijakan privatisasi dan liberalisasi pendidikan.
Tampaknya pendidikan lebih berpihak kepada yang kaya, disisi lain liberalisasi pendidikan ditandai dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang telah membukakan pintu untuk para investor pendidikan asing untuk membuka institusi pendidikan didalam negri, ini akan menjadi persaingan antara investor lokal dengan investor asing. Oleh karena pendidikan liberal kapitalistik perlu dikaji secara mendalam untuk memahami segala dampak yang disebabkan.
Kompetisi dan globalisasi telah mempersempit dunia dari pandangan masyarakat, sedangkan para investor saling berkompetisi dalam melakukan akumulasi modal. Maka tidak heran jika sekolah atau perguruan tinggi layaknya warteg yang menyediakan berbagai macam makanan siap santap untuk memenuhi kebutuhan perut. Maka sekolah dan pendidikan berlomba-lomba membangun fasilitas untuk meningkatkan nilai laba. Ada beberapa dampak dari liberal kapitalistik, yaitu; Hilangnya peran negara dalam pendidikan dan semakin banyaknya kemiskinan, hal ini terjadi karena banyak anak yang tidak bisa mengembangkan potensinya
Masrakatat semakin terbatasi sosialekonomi karenana pendidikan yang hanya bisa dinikmati oleh masyarakat menengah ke atas
Kita akan terus terjebak dalam sistem kapitalisme global disetiap sektor kehidupan, terutama disektor perekonomiannya, dikarekan sistem pendidikan yang sudah dikontrol untuk melanggengkan sistem ini
Kapitalis hanya menjadikan negara sebagai regulator/fasilitator.
Sedangkan yang aktif berperan adalah pihak swasta, sehingga munculah otonomi-otonomi sekolah atau kampus yang intinya supaya negara tidak banyak ikut campur. Hal ini membuat sekolah atau kampus berlomba-lomba mencari dana sebanyak-banyak kepada para investor, atau menaikkan biaya pendidikan.
Konteks Indonesia, keberadaan kaum terpelajar terlahir sebab adanya politik etis kolonialisme belanda, kapitalisme yang dicangkkokan oleh Belanda ke Indonesia mengharuskan ketersediaan tenaga kerja terdidik/ahli untuk memenuhi kebutuhan pasar industri dan staf administrasi rendahan ditanah jajahan ataupun ditanah air mereka. Maka dibukalah sekolah-sekolah seperti sekolah Bukit Tinggi Leiden tahun 1826, Institut Bahasa Jawa Surakarta 1832, dan sekolah Pegawai Hindia Belanda di Delft 1842.
Oleh karena itu sekolah/kampus tidak menanamkan kecintaan terhadap ilmu, atau mengajarkan keadilan, anti korupsi, atau anti penindasan, melainkan diajari untuk menjadi pelayan kapitalisme. Kita bisa lihat bahwa kampus/sekolah lebih menekankan pengajaran menurut kurikulum yang sudah dipaket untuk mendapatkan sertifikat, yaitu selembaran kertas bukti mendapatkan legitimasi bagi seseorang memainkan perannya dalam pasar kerja yang disediakan kapitalis itu sendiri.
Menurut Karl Marx (dalam Masoed, 2002), kapitalisme adalah sebuah sistem dimana harga barang dan kebijakan pasar ditentukan oleh para pemilik modal untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Dalam sistem kapitalis ini, pemerintah tidak dapat melakukan intervensi pasar demi keuntungan bersama, melainkan hanya untuk kepentingan-kepentingan pribadi.
Berbeda dengan Karl Marx, Adam Smith (1976) berpendapat bahwa kapitalisme adalah suatu sistem yang bisa menciptakan kesejahteraan masyarakat apabila pemerintah tidak memiliki intervensi terhadap mekanisme dan kebijakan pasar. Didalam kapitalisme ini pemerintah hanya berperan sebagai pengawas saja.
Pendapat lain juga dikemukakan oleh Max Weber (dalam Masoed, 2002), dimana Weber mengnggap bahwa kapitalisme ialah sebagai sebuah sistem kegiatan ekonomi yang dituju pada suatu pasar dan juga yang dipacu untuk menghasilkan laba dengan adanya pertukaran pasar.
Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa kapitalisme atau kapitalis adalah sebuah sistem ekonomi politik dimana terdapat perdagangan, industri, dan alat-alat produksi yang dikendalikan oleh pemilik modal dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.
Ciri-ciri kapitalisme (Peters,2011);
Pengakuan yang luas atas hak-hak pribadi
Kepemilikan alat-alat produksi ditanagn individu
Individu bebas memilih pekerjaan atau usaha yang dipandang baik bagi dirinya
Perekonomian diatur oleh mekanisme pasar
Pasar berfungsi memberikan “signal” kepada produsen dan konsumen dalam bentuk harga-harga
Campur tangan pemerintah diusahakan sekecil mungkin
Menggerakkan perekonomian dalam mencari laba
Kapitalisme sangat berpengaruh dalam pendidikan, dimana seseorang yang belajar diluar dari kebutuhan mereka atau tidak dibutuhkan dalam persaingan kapital/modal akan sangat susah nantinya untuk mendapatkan pekerjaan. Kita bisa lihat tanda-tanda kapitalisme pendidikan yaitu dengan banyaknya pembangunan sekolah-sekolah atau kampus-kampus swasta dengan memberlakukan perilaku pasar bebas dan dunia kapital didunia pendidikan.
Sistem kapitalisme dalam pendidikan ini akan menimbulkan banyak sekali dampak yang tidak baik bagi kita semua. Salah satu dampak yang paling mendasar adalah meningkatnya atau mahalnya biaya pendidikan sehingga menyebabkan tidak semua masyarakat bisa mengaksesnya, sehingga akan semakin sedikit kesempatan yang didapat bagi masyarakat yang kurang mampu. Akibatnya, pemerataan pendidikan yang sebagaimana tercantum didalam undang-undang dasar 1945 paasal 31 ayat 1 yang berbunyi “setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan” semakin mustahil untuk diraih.
Dewasa ini kita bisa melihat sisi kapitalisme dalam pendidikan yaitu dengan kurikulum yang digunakan mengusung semangat fleksibilitas dan terintegrasi dengan industri. Tentu hal ini sejalan dengan apa yang diharapkan oleh Nadiem, bahwa pendidikan harus menjadi garda terdepan dalam dunia industri. Jika cita-cita kita adalah membangun industrialisasi nasional yang mandiri, pendidikanlah yang menjadi salah satu faktor utama untuk menunjang struktur maupun infastruktur, namun, diera kapitalisme ini pendidikan dengan industri sama halnya dengan mencetak tenaga kerja yang siap dieksploitasi. Kita bisa lihat dari banyaknya pembukaan prodi-prodi baru yang sesuai dengan kebutuhan kapitalis. Sedangkan membuka prodi baru tentu tidak dilakukan dengan anggaran yang minim. Untuk itu perguruan tinggi akan mencari anggaran sebanyak-banyaknya. Hal ini bisa dilakukan dengan meninggikan biaya pendidikan atau mencari modal dari suntikan para investor. Ketika biaya pendidikan kian meninggi dengan alasan fasilitas dan lain sebagainya, maka tidak semua orang dapat mengaksesnya.
Dengan demikian kita bisa menyimpulkan bahwa pendidikan di Indonesia sangat rentan akan privatisasi dan komersialisasi pendidikan.
(Yoga Aditia adalah Mahasiswa Universitas Peradaban Bumiayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia. Tinggal di Kutamendala, Tonjong, Brebes)