Yono Daryono (paling kanan) foto bareng budayawan, penyelenggara dan HM Nursholeh (tengah) (Foto: Gaharu)
PanturaNews (Tegal) - “Tegal kuwé nduwé filsafah lokal, Banténg Loréng Binoncéngan, sing nggambarna wateké wong Tegal sing gagah, waninan, toli madan kasar. Hakékaté Banténg Loréng Binoncéngan kuwé maksudé béna banthéng kuwé kéwan sing gagal, galak tur kasar, tapikén bisa dituntun, ditunggangi, lan dikuasai asal dielus utawa digarap secara lemah lembut lan ramah tamah daning uwong sing ora nduwéni itikad sing ora apik. Wong kuwé dilambangna bocah lanang sing ngarti nemen wateké banténg …..,”
Kalimat tersebut terdapat pada buku tulisan kolom Dialek Tegal yang berjudul “Aja Kadiran” yang ditulis Yono Daryono. Buku bertajuk “Aja Kadiran” ini, dibedah pada acara yang digelar TMB Sakila Kerti di dalam Terminal Bus Kota Tegal, sekaligus buka puasa bersama para pengasong yang dimoderatori Bontot Sukandar, Minggu 04 Juni 2017 mulai pukul 16.00 WIB.
Diketahui, Yono Daryono yang dikenal juga sebagai pemeran Man Damin, penjual martabak Tegal di sinetron Tukang Bubur Naik Haji, menuangkan idenya ke dalam tulisan yang kemudian dipublikasikan di harian Suara Merdeka di rubrik ‘Warung Poci’ setiap hari Senin. Buku Aja Kadiran setebal 300 halaman ini, berisi 196 cerita nyata yang terjadi di Tegal dituturkan dalam bahasa lokal Tegal.
Pada acara yang digelar sederhana ini, Pengelola TBM Sakila Kerti, DR. Yusqon selain menghadirkan Yono Daryono juga sengaja menghadirkan Dr. Maufur, dosen UPS Tegal yang juga penulis buku “Kulup karo Emane”, budayawan pantura Atmo Tan Sidik yang juga Kepala BNN Kabupaten Brebes, dan Kasubdit Pendidikan Kesetaraan dan Pendidikan Berkelanjutan Kemendikbud, Dr Kastum, M. Pd.
Pada sambutanya, Yono Daryono yang lebih dikenal dengan sapaan Darbol menuturkan, dia ingin bercerita bahwa pemimpin tidak boleh main kuasa saat berkuasa atau bertindak aji mumpung. Daerah lain mengartikan aja kadiran dengan aja dumeh. Atau orang mengartikan dalam bahasa yang vulgar dengan kalimat, jangan sok.
“Buku ini sebagai upaya mendokumentasikan sekaligus mempopulerkan bahasa Tegal sebagai kekayaan budaya,” ujar Darbol.
Sementara budayawan pantura, Atmo Tan Sidik mengutarakan bahwa Aja Kadiran memiliki makna yang luas. “Harapan saya agar bahasa Tegal bisa menjadi muatan lokal (mulok) di sekolah-sekolah.
Menyikapi harapan banyak orang agar bahasa Tegal bisa menjadi muatan lokal, Wakil Walikota Tegal, HM Nursholeh pada sambutanya mengatakan bahwa pengusulan bahasa Tegal menjadi muatan lokal sudah berkali-kali dilakukan. Tapi usulan itu selalu mentok, hingga sekarang belum berhasil.
“Upaya agar bahasa Tegal menjadi muatan lokal di sekolah sudah berkali-kali dilakukan, tapi ya selalu mentok,” kata HM Nursholeh yang akrab disapa Kang Nur.
Soal kata Aja Kadiran, pada kesempatan itu Kang Nur memaknai lebih dalam, bahwa siapapun dan apapun jabatanya jangan sok, aja kadiran. Bahkan dengan candanya yang khas, Kang Nur melontarkan kepada publik, aja kadiran, jangan mentang-mentang jadi Wakil Walikota lalu bertindak sewenang-wenang.
“Aja kadiran dadi wakil walikota, saénaké déwék. Muga-muga wakil walikotané cepet diganti. Tolih masyarakat aja salah pilih maning sapa sing pan didadékna wakil walikota ya?,” seloroh Kang Nur.
Pada kesempatan itu, Kang Nur secara spontan menyatakan membeli 100 eksemplar buku Aja Kadiran, untuk dibagikan kepada para pengasong terminal Tegal. “Biar para pengasong yang sudah gemar membaca di TBM Sakila Kerti yang dikelola Dr Yusqon, bisa juga menggali ilmu dari bukunya Mas Yono Daryono yang ditulis dengan bahasa Tegal, bahasané déwék,” pungkasnya.