Minggu, 20/10/2024, 18:14:31
Tersanjung dengan Sastra Tegalan
OLEH: ENDANG SRI WITANTI
.

BAHASA merupakan media komunikasi antarmanusia. Salah satu sarana komunikasi bahasa yang tepat dan efektif dari penutur berbahasa adalah sastra.

Sastra merupakan tulisan indah berasal dari bahasa Sansekerta yaitu tulisan yang baik atau indah. Bentuk tulisan yang indah mengacu pada bahasa tulis, terungkap dalam bentuk puisi, prosa, dan drama. Tak heran jika ada yang bertanya kapan muncul sastra?

Sastra muncul sejak manusia ada di bumi. Baik puisi, prosa, atau drama merupakan sarana hiburan atau komunikasi yang ingin menyampaikan pesan-pesan kepada pembaca. Jika dipertunjukkan pembaca sama halnya menonton wayang.

Akhir-akhir ini apakah perkembangan sastra Indonesia mengalami penyusutan atau tidak? Banyak para kawula muda memandang sebelah mata. Sering mendengar ucapan-ucapan "Apa yang diperoleh dari mempelajari puisi, prosa, dan drama?"

Ucapan tersebut menguliknya untuk membahas bahasa dan sastra Indonesia.

Bahasa adalah alat komunikasi, sedangkan sastra cara penyampaian efektif yang di dalamnya mengandung nilai-nilai moral, sosial pendidikan, ekonomi, dan lain sebagainya.

Membaca Sastra sama halnya kita dihadapkan atau didengarkan ceramah yang isinya ilmu-ilmu agama, sosial, pengetahuan, atau psikologi. Dengan mempelajari Sastra membentuk pembaca berakhlakul Kharimah. Ilmu tanpa akhlak hidup akan sia-sia, begitupun sebaliknya akhlak tanpa ilmu pengetahuan tentunya akan buta.

Bila melihat ke belakang terkait Sastra Jawa, siapa para penulis Tembang Macapat? Tembang Macapat banyak ditulis oleh orang-orang Winasis atau para Pemangku wilayah. Contohnya Serat Wedhatama ditulis KGPAA Mangkunegara IV, di dalam surat tersebut atau Tembang Macapat banyak ajaran agama Islam.

Beliau memberikan ajaran tentang Ketuhanan, kemasyarakatan, dan kemanusiaan. Melalui tembang Pangkur, mereka mengajak agar masyarakat Jawa dan sekitarnya harus bisa mencari ilmu pengetahuan yang tinggi, ilmu adi luhung dan memegang teguh ajaran agama, karena agama merupakan inti dari semuanya.

Bagaimana dengan "Sajak Seonggok Jagung di Kamar karya W.S. Rendra itu menggambarkan bagaimana seorang sarjana yang mempelajari berbagai macam ilmu tapi penerapan nilai sosial kosong, begitu pulang ke rumah dia mengurung diri di kamar tak bisa berbuat apa-apa.

Bila membaca Ronggeng Dukuh Paruk Penulis Bapak Ahmad Tohari, ingin menunjukkan pada pada kita. Mencari uang atau popularitas itu gampang, tapi tanpa didasari penanaman akhlak, agama, dan moral. Bagaimana nasib para tokoh nya?

Lewat Nyi Kertareja ditunjukkan pada cerita menyembah arwah Ki Secangmenggala seorang bromocorah yang menghalalkan berbagai macam cara untuk merasuki jiwa Srintil. Ini merupakan gambaran orang yang tidak berilmu dan berakhlak. Hal itu terjadi pada tahun 1965 an saat bangsa mengalami krisis. Krisis moral, akhlak, agama, dan ekonomi.

Melalui sastra baik puisi, prosa, atau drama pesan atau ajaran-ajaran perilaku untuk menuju akhlak mulia dapat tersampaikan.

Berbicara tentang Sastra bukan hanya di Indonesia saja, di luar negeri pun mengenal sastra sejak lampau. Contohnya cerita Cinderella, Si Cantik dan Si Buruk Rupa, Sonnet (puisi) dan dari zaman Rosul pun sudah ada syair-syair. Hal tersebut membuktikan seluruh dunia mengenal sastra.

Penulis sangat bangga dan salut terhadap para Sastrawan Tegalan pada era di mana rakyat sedang mengalami transisi untuk mengembalikan sastra di masyarakat mereka berani mendeklarasikan aliran-aliran baru pada Sastra Tegalan. Sastra Tegalan merupakan sastra Jawa atau lokal Tegal. Semua berbahasa Tegal. Baik logat maupun dialek murni Tegal.

Dengan muncul dan perkembangan Sastra Tegalan di masyarakat bisa mengangkat kedudukan bahasa Tegal. Bahasa Tegal sudah menjadi bahasa Jawa pada pelajaran bahasa Jawa dan sudah disepakati ada lima dialek bahasa Jawa, yaitu dialek Solo/Jogyakarta, dialek Wonosobo, dialek, Pekalongan, dialek Banyumas, dan dialek Tegal disepakati Balai Bahasa Jawa Tengah.

Baru pertama kalinya di Indonesia memunculkan aliran baru Sastra Jawa sejak lahirnya Sastra Jawa Anyar, yaitu Sastra berbahasa lokal Tegal. Lanang Setiawan sebagai pelopor memunculkan Sastra Tegalan sejak 26 November 1994 hingga setiap tahun diperingati Hari Lahirnya Sastra Tegalan.

Lanang sangat berani dalam menentukan genre-genre baru dalam dunia sastra dan gebrakan-gebrakan baru dalam Sastra Tegalan. Dari puisi ada beberapa genre baru atas gagasan Lanang Setiawan yang sudah disepakati para sastrawan yang terwadahi pada Komunitas Sastrawan Tegalan. Tidak tahu akan Lanang akan memunculkan ide-ide baru apalagi.

Bersama para Sastrawan Tegal lainnya Dr. Maufur, Dina Nurmalia, Endang Sri Witanti, Ria Candra Dewi dan lainnya, menulis berbagai antologi Kur 267, Wangsi, dan Tegalerin 2-4-2-4. Dari ketiga puisi tegalan semua tidak lepas dari peran Lanang Setiawan untuk menyebarkan pesan dan ajaran yang disampaikan olehnya dan para penyairnya. Dari penulisan yang ada pada setiap aliran baru tetap memiliki patokan atau aturan, baik dalam bait atau jumlah suku kata.

Ada salah satu anggota Sastrawan Tegalan Mohammad Ayyub namanya berani mengenalkan genre Sastra Tegalan ke manca negara ketika pertemuan bersama Para Sastrawan di Tanjung Pinang. Melalui momen perayaan Sumpah Pemuda tahun 2024 dengan bahasa dan sastra merupakan perwujudan dari menjunjung tinggi Bahasa Indonesia, melestarikan Bahasa Daerah, dan  menguasai juga Bahasa Asing.

(Endang Sri Witanti adalah Guru SMA Negeri 2 Brebes, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah)

Tulisan dalam Kolom Opini ini adalah kiriman dari masyarakat. Segala tulisan bukan tanggung jawab Redaksi PanturaNews, tapi tanggung jawab penulisnya.

 
Belum ada komentar untuk ditampilkan pada artikel ini.

Komentar Berita