PENDIDIKAN Indonesia tengah berada pada titik kritis perubahan. Dalam menghadapi era globalisasi, disrupsi digital, dan ketidakpastian ekonomi, sistem pendidikan dituntut untuk lebih adaptif dan relevan (Trilling & Fadel, 2021).
Kurikulum 2013 yang sebelumnya digunakan secara nasional dinilai terlalu padat dan normatif, sehingga membatasi ruang inovasi dalam pembelajaran serta pengembangan potensi siswa (Hargreaves & Fullan, 2020).
Pandemi COVID-19 menjadi cermin yang memperjelas ketimpangan akses dan kualitas pendidikan. Masa darurat tersebut mempercepat urgensi perubahan kurikulum menuju pendekatan yang lebih fleksibel, kontekstual, dan berkeadilan (Robinson & Aronica, 2022).
Sebagai respons atas tantangan tersebut, pemerintah memperkenalkan Kurikulum Merdeka, sebuah pendekatan pendidikan yang menempatkan peserta didik sebagai pusat proses belajar serta mendorong kreativitas, otonomi guru, dan pembelajaran yang relevan dengan kebutuhan zaman.
Secara filosofis, Kurikulum Merdeka mengacu pada pendekatan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik, berorientasi pada pengalaman nyata, dan memperkuat kompetensi abad ke-21 seperti kreativitas, kolaborasi, komunikasi, dan berpikir kritis.
Gagasan ini sejalan dengan pemikiran Trilling dan Fadel (2021) dalam 21st Century Skills: Learning for Life in Our Times, yang menekankan pentingnya literasi digital, fleksibilitas kognitif, dan inovasi dalam pembelajaran modern.
Pada praktiknya, Kurikulum Merdeka menekankan pembelajaran berbasis proyek (project-based learning), pembelajaran berdiferensiasi, serta integrasi teknologi dalam proses belajar mengajar. Guru diberikan keleluasaan untuk memilih dan menyusun materi ajar sesuai dengan karakteristik peserta didik dan konteks lokal.
Model ini diperkuat oleh pandangan Hargreaves dan Fullan (2020) dalam Professional Capital: Transforming Teaching in Every School, yang menekankan bahwa pemberdayaan guru sebagai agen perubahan merupakan kunci dalam reformasi pendidikan yang berkelanjutan.
Bagi peserta didik, Kurikulum Merdeka memberikan ruang untuk belajar secara aktif, reflektif, dan kontekstual. Siswa dilibatkan dalam pemecahan masalah nyata, eksplorasi ide, dan pengembangan solusi kreatif.
Ini sesuai dengan pandangan Robinson dan Aronica (2022) dalam Imagine If... Creating a Future for Us All, yang menekankan bahwa pendidikan harus memfasilitasi imajinasi dan kreativitas sebagai fondasi pertumbuhan manusia.
Selain itu, Kurikulum Merdeka memperkuat prinsip inklusivitas dengan memastikan bahwa setiap anak, termasuk yang memiliki kebutuhan khusus, mendapatkan kesempatan yang setara untuk berkembang.
Prinsip ini mencerminkan pendekatan humanistik yang menempatkan peserta didik sebagai subjek aktif dalam proses pembelajaran, bukan sekadar objek transfer pengetahuan.
Namun, tantangan dalam implementasi masih cukup besar. Ketimpangan kesiapan guru, keterbatasan infrastruktur, serta kebutuhan pelatihan yang berkelanjutan menjadi hambatan nyata di lapangan.
Untuk itu, kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, institusi pendidikan, komunitas, dan dunia usaha menjadi sangat penting dalam menjamin keberhasilan transformasi ini.
Kurikulum Merdeka bukan sekadar revisi teknis kurikulum, melainkan transformasi paradigma pendidikan. Pendekatan ini bertujuan membentuk generasi pembelajar yang adaptif, kreatif, dan tangguh dalam menghadapi tantangan masa depan.
Pendidikan tidak lagi hanya tentang transfer pengetahuan, melainkan tentang membangun karakter, daya pikir, dan kemampuan inovatif yang berdaya saing global.
Wartawan PanturaNews dilengkapi indentitas yang tertera pada box redaksi, jika terjadi pemungutan uang dalam peliputan berita. Hubungi Kantor Redaksi:Jl. Ayam No 29 Randugunting Kota Tegal atau E-mail:redaksi@panturanews.com atau HP:081575522283