Beberapa hari belakangan ini media kita baik media cetak maupun media elektronik, menyajikan sebuah berita utama tentang kesaksian Angelina Sondakh (Anggota DPR RI) dalam sidang lanjutan kasus suap Wisma Atlet Jakabaring Palembang, yang melibatkan terdakwa M. Nazarrudin (Mantan Bendahara Umum DPP Partai Demokrat) di Pengadilan Tipikor Jakarta yang dipimpin oleh Hakim Ketua Dharwati, SH.
Pertanyaannya, kenapa berita itu begitu banyak dan mengisi halaman utama dari berbagai media di Indonesia. Mungkin yang pertama, bahwa kasus tersebut menyangkut dugaan keterlibatan dari pimpinan partai pemenang Pemilu tahun 2009 atau partai pemerintah, sebut saja muncul istilah “Bos besar dan ketua Besar” (dalam keterangan saksi Mindo Rosa Manulang) yang diduga adalah petinggi Partai Demokrat.
Kedua, kemungkinan karena kesaksian yang disampaikan oleh Angelina Sondakh, bertolak belakang atau bertentangan dengan keterangan saksi sebelumnya, yaitu saksi Mindo Rosalina Manulang dan saksi Yulianis.
Angelina Sondakh; Kesaksian Palsukah?
Berawal dari keterangan saksi Mindo Rosalina Manilang yang menyebut ada aliran dana pembangunan wisma atlet yang dibagikan ke sejumlah petinggi Partai Demokrat (lebih popular dengan sebutan bos besar dan ketua besar). Dan keterangan saksi Yulianis (Mantan wakil direktur keuangan PT Permai Group) yang juga mengatakan terdapat Fee yang mengalir kepetinggi Partai Demokrat, yang digunakan untuk kongres Partai Demokrat tahun 2010 di Bandung, kedua-duanya menyampaikan percakapan tersebut melalui BlackBerry Messeger (BBM).
Akan tetapi kesaksian dibawah sumpah yang disampaikan Angelina Sondakh, Rabu (15-02-2012) dalam sidang lanjutan kasus wisma atlet Palembang, yang bersangkutan dengan tegas memberi keterangan berbeda dengan mengatakan bahwa yang bersangkutan baru memakai BlackBerry pada tahun 2010, artinya pada saat peristiwa tersebut Angelina Sondakh belum memegang Bleckberry.
Perbedaan tersebut lebih kepada permasalahan keberadaan Blackberry, dan pertemuan yang membicarakan masalah wisma atlet yang dihadiri saksi Angelina Sondakh dan terdakwa M. Nazarrudin serta beberapa petinggi Partai Demokrat.
Sesuai pasal 1 butir 27 KUHAP “keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana, yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri, dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu”.
Dengan definisi yang seperti itu, idealnya seorang saksi dapat bersaksi dengan sejujur-jujurnya dan berdasarkan hati nurani. Hal tersebut dikarenakan menyangkut nasib seseorang (terdakwa). Namun ada beberapa faktor yang seseorang bersaksi palsu. Antara lain disebabkan karena kesaksiaan tersebut ada kaitan yang bisa berdampak hukum terhadap saksi sendiri, dan juga terhadap orang disekelilingnya (Orang-orang dekat saksi). Dengan cukup mengucap “Tidak tahu” atau “Tidak pernah”, keterangan tersebut dapat dan berpotensi lemah dalam hal kaitan hukum terhadap seorang saksi.
Mencari Kebenaran Materiil
Dikarenakan tujuan dari pada prosesi pengadilan tersebut adalah mencari pengetahuan dan pembuktian atas sesuatu dakwaan, dengan tujuan dapat diperoleh suatu kebenaran yang hakiki (kebenaran yang sejati, yang sebenar-benarnya). Dan juga terhadap keterangan saksi sebagaimana di atur dalam pasal 184 KUHAP yang menyebutkan, bahwa keterangan saksi dalam persidangan merupakan suatu alat bukti yang dipakai untuk menentukan bersalah atau tidaknya seseorang (terdakwa). Atas dasar itulah hakim harus lebih jeli, cermat dan tepat dalam mengambil keputusan mengantisipasi kemungkinan adanya kesaksian palsu (karena ada dua fakta yang berbeda).
Upaya untuk menilai kebenaran seorang saksi, seorang hakim harus memperhatikan antara lain; Pertama, persesuaian antara keterangan saksi yang satu dengan yang lain. Kedua, persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain. Ketiga, alasan yang mungkin digunakan oleh saksi untuk memberi keterangan tertentu. Terakhir, dengan cara melihat hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu di percaya.
Sesuai dengan kewenangannya, hakim juga dapat memanggil saksi yang lain untuk dikonfrotir terhadap pernyataan saksi yang satu dengan yang lainya. Terhadap kepentingan terdakwa, maka penasehat hukum terdakwa juga dapat melakukan upaya hukum dengan melaporkan saksi terhadap dugaan keterang saksi palsu kepada pihak terkait, karena diatur dalam pasal 174 KUHAP. Keterangan saksi palsu dapat diancam dengan pidana kurungan maksimal tujuh tahun penjara.
Dengan uraian diatas, semoga Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta dapat memutus perkara pidana kasus suap Wisma Altet di Palembang dengan seadil-adilnya, dan mempertimbangkan dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim (Pasal 183 KUHAP). Apalagi kasus tindak pidana korupsi merupakan masuk dalam kejahatan luar biasa. Korupsi adalah musuh bersama, Indonesia sejahtera tanpa korupsi.
(Didi Kusaeri adalah Mahasiswa Universitas Pancasakti Tegal)