Satu buku berjudul ESQ karangan Ary Ginanjar Agustian telah saya baca, dan seperti yang saya kira sebelumnya, bahwa pandangan terhadap ESQ ini tidak berubah. Terlepas dari konsep-konsep yang dibuat oleh Ary Ginanjar untuk menuju kesempurnaan pribadi yang dinamakan Emotional Spiritual Questions adalah keliru atau tidak, bahwa ESQ adalah sebuah konsep yang berangkat dari kesadaran masyarakat kelas menengah ke atas, yang saya kira sudah selesai dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.
Hal ini terlihat ketika Ary Ginanjar hanya membicarakan dan menceritakan sebuah pengalaman orang-orang yang berbentuk success story.
Selain dari pada itu, Ary Ginanjar sama sekali dan tidak sekalipun mempermasalahkan kehidupan masyarakat kelas menengah ke bawah, katakanlah kaum buruh yang pada umumnya upah dan tunjangannya dalam bentuk yang paling sederhana, sama sekali belum memenuhi standar hidup layak.
Ary Ginanjar hanya memastikan dengan berbagai rasionalisasi doktriner atau spiritual, bahwa karyawan harus bekerja dengan sebaik-baiknya. Tentunya, karena kerja merupakan ibadah kepada Tuhan. Memang benar jika dikatakan bahwa pekerjaan adalah ibadah kepada Tuhan, tetapi, yang terjadi kemudian adalah sampai dengan hari ini pekerjaan yang dikerjakan oleh kaum buruh, ialah pekerjaan yang sifatnya menghisap.
Dalam tataran ini, apakah Ary Ginanjar berpikir bahwa, bagaimana seseorang dapat mengikuti pelatihan ESQ atau minimalnya membaca buku ESQ, jika seorang buruh setiap waktunya hanya untuk bekerja dan bekerja?
Lebih jauh lagi, dalam istilah yang mungkin bisa dibilang “sinis”, bahwa ESQ dengan sikap ikhlasnya hanya berfungsi sebagai 'tukang stempel' dari pemilik modal untuk memotivasi para pekerja. Dapat dikatakan bahwa ESQ ini melakukan komodifikasi atas nilai-nilai spiritualitas yang kemudian energi tersebut disublimasikan untuk kejayaan perusahaan-perusahaan yang menaungi para karyawan tersebut. Diperparah dengan kecenderungan bahwa nilai-nilai spritualitas yang terkandung di dalam ESQ ini dijadikan komoditas ekonomi oleh sekelompok manusia. Ini terlihat dari mahalnya biaya pelatihan ESQ itu sendiri.
Sebenarnya ini juga bukan soal mahal atau murahnya harga pelatihan/training ESQ itu sendiri, karena yang dibutuhkan bukanlah filsafat perenealisme dan pragmatisme semacam ini, melainkan pengkajian ulang terhadap dampak kesadaran masyarakat yang dikonstruksinya oleh konsep ESQ ini.
Karena bagaimanapun, masyarakat harus mengalami kesadaran dirinya sebagai manusia yang hidup ditengah-tengah komunitas yang terdikotomi oleh kepentingan dan kesadaran kelas. Dan saya kira, konsep ESQ tidak akan mencapai hal itu.
Dan yang terakhir, konsep pelatihan ESQ ini adalah salah satu konsep pelatihan soft skill yang mulai menjamur di Indonesia, bukan hanya dalam bentuk sebuah lembaga, tetapi juga sudah mengarah ke personal pribadi. Dari ESQ, Al Kahfi hingga personal pribadi seperti Mario Teguh dan lain sebagainya.
Artinya, seakan-akan masyarakat atau diri personal-lah yang menjadi akar masalah dari beberapa permasalahan yang muncul di dalam bangsa ini. Bukan pada struktur dan sistem yang memang tidak memihak pada si lemah.
(Ahdiyat Bagus Nugraha adalah Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)