Sastra Tegalan tidak lagi sekadar bertahan. Ia tumbuh. Ia bergerak. Ia menyalakan api baru di masa depan yang tidak pernah dibayangkan...
HUJAN turun sejak senja dan tidak kunjung berhenti. Kedai kopi tempat kami berkumpul malam itu tidak memiliki pintu -terbuka begitu saja, sehingga air hujan yang dibawa angin sesekali menyusup masuk, memercik lantai dan membuat panggung kecil itu terasa semakin hidup.
Di ruangan lembab yang setengah kedai, setengah panggung terbuka itu, kami menyongsong 31 tahun perjalanan Sastra Tegalan. Dan di tengah gemuruh hujan, saya merasa seperti pulang ke rumah bahasa sendiri.
Perjalanan panjang sastra ini tidak hanya menjadi catatan usia, tetapi rangkaian upaya tiada henti untuk menciptakan bentuk-bentuk baru. 28 April 2019, saya dan Dwi Ery Santoso mencetuskan aliran "Wangsi", perpaduan antara wangsalan tradisional dengan puisi modern.
Setahun kemudian, Januari 2020, kami kembali merumuskan aliran "KUR 267", puisi pendek tiga baris yang menantang cara lama memahami kepadatan makna. Lalu pada 1 September 2021, bersama Ria Candra Dewi, lahirlah "Puisi Tegalerin 2-4-2-4", pola bertangga yang menguji ritme dan disiplin.
Tiga aliran ini menjadi bukti bahwa bahasa Tegal bukan hanya dipakai -tetapi terus diciptakan ulang. Puncak gerakan sastra lokal ini, pada 26 November 2019 telah menggelar Kongres Sastra Tegalan yang pertama kali di Kampus UPS Tegal. Sebuah perjuangan yang berdarah-daerah menjunjung duwur bahasa Tegal.
Acara dimulai oleh Apas Khafasy yang membacakan tiga puisi. Ketika ia memanggil pemilik kedai dan memintanya duduk tepat di depannya, suasana berubah seketika. Bukan lagi sebuah pembacaan, melainkan ritual penghormatan terhadap bahasa ibu.
Ketika Apas membacakan puisi “Nging”, kisah tentang kupingnya yang dihantam gagang senjata semasa reformasi hingga membuatnya tuli, ruangan menjadi sangat sunyi. Hujan di luar justru terdengar semakin tajam, seolah ikut menegaskan luka yang ia bawa.
Setelah itu Iwang Nirwana naik ke panggung, membawakan monolog “Kena Tulahé Déwék”, karya yang saya tulis sebagai pengingat tentang manusia modern yang sering kalah oleh ciptaannya sendiri. Ketika mesin sudah bisa meniru cinta dan menyalin puisi, manusia justru kehilangan arah.
Kalimat penutup monolog itu -“Akhiré manungsa kalah karo gawéané déwék. Kena tulahé déwék.”- menggantung lama di udara dingin kedai. Hujan semakin deras, namun tidak ada satu pun penonton yang beranjak.
Di tengah suasana yang mengental itu, Diah Setyowati membacakan puisi “Kelon”, sebelum Nurochman Sudibyo menyampaikan pidato kebudayaan yang mengulas kembali lahirnya Sastra Tegalan pada 26 November 1994.
Ia mengingatkan bagaimana bahasa Tegal yang dulu dianggap rendah, kini justru berdiri di panggung kehormatan: dipakai dalam film, cerpen, naskah drama, puisi, novel, dan bahkan sedang diupayakan sebagai bahasa terjemahan Al-Qur’an.
Pemerintah Daerah Kota Tegal memakai bahasa Tegal sebagai bahasa resmi pidato Hari Lahir Kota Tegal, lomba-lomba puisi dan pidato berlangsung dalam bahasa Tegal, dan di Universitas Pancasakti Tegal, bahasa Tegal telah menjadi mata kuliah resmi. Mendengarnya, saya sulit menahan getaran haru yang merayapi dada.
Malam terus bergerak ketika Mohammad Ayyub bercerita tentang perjalanan puisinya hingga dikenal di Malaysia dan Riau. Dari sorot mata para penonton, saya melihat kebanggaan yang sama: bahasa ini telah berjalan jauh melewati pagar kampungnya.
-Bahasa Daerah Memerlukan Udara Baru-
Menjelang akhir acara, saya menyampaikan sedikit pandangan mengenai novel-novel saya yang banyak mengambil latar Eropa -Jerman, Italia, Prancis, Belanda, hingga Rumania. Banyak yang kerap bertanya, mengapa harus sejauh itu? Bukankah sastra daerah biasanya dekat dengan tanah kelahirannya?
Bagi saya, jawabannya sederhana: bahasa daerah memerlukan udara baru. Ia harus dibiarkan berkelana, sehingga tidak menjadi artefak yang terkurung dalam kotak nostalgia. Sastra Tegalan telah lama berjalan dengan latar sejarah lokal dan kisah Jawa; kini saatnya memberi ruang pandang yang lebih luas.
Acara selesai ketika hujan belum juga berhenti. Angin kembali mendorong titik-titik air masuk melewati ruang kedai yang tanpa pintu itu, membasahi sisi panggung. Anehnya, tidak ada yang tergesa pulang. Hujan terasa seperti bagian dari pertunjukan, seperti saksi yang diam namun memberi kesaksian penuh.
Dan malam itu, saya memahami sesuatu yang sangat jelas:
Sastra Tegalan tidak lagi sekadar bertahan. Ia tumbuh. Ia bergerak. Ia menyalakan api baru di masa depan yang tidak pernah dibayangkan ketika semuanya bermula.
Hujan yang dibiarkan masuk ke kedai itu menjadi saksi bahwa bahasa daerah dapat berjalan sejauh apa pun, selama ada yang terus membawanya maju.