Rabu, 13/07/2022, 18:44:36
Diskriminasi Perempuan Terhadap Dunia Pendidikan
Oleh: Yolanda Tania
--None--

PADA dasarnya manusia adalah makhluk individu yang unik, berbeda antara yang satu dengan lainnya. Secara individu juga, manusia ingin memenuhi kebutuhannya masing-masing, ingin merealisasikan diri atau ingin dan mampu mengembangkan potensi-potensinya masing-masing. Adapun hubungannya dengan manusia sebagai makhluk sosial adalah bahwa dalam mengembangkan potensi-potesinya ini tidak akan terjadi secara alamiah dengan sendirinya, tetapi membutuhkan bantuan dan bimbingan manusia lain. Selain itu, dalam kenyataannya, tidak ada manusia yang mampu hidup tanpa adanya bantuan orang lain. Hal ini menunjukan bahwa manusia hidup saling ketergantungan dan saling membutuhkan antara yang satu dengan lainnya.

Interaksi sosial di masyarakat membentuk suatu hubungan yang disebut dengan hubungan sosial. Pelaksanaan interaksi sosial dapat mengalami ketidakseimbangan gender, terutama bagi perempuan. Hal ini bisa dikatakan sebagai diskriminasi gender terhadap perempuan, banyak dari mereka yang menganggap perempuan adalah sosok kaum yang lemah dari berbagai bidang, terutama kedudukan dalam bidang politik dan pendidikan.

Menurut Fulthoni, pengertian diskriminasi adalah perlakuan yang tidak adil dan tidak seimbang yang dilakukan untuk membedakan perorangan, atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial

Perempuan adalah makhluk sosial yang sering dijadikan target dalam perbedaan gender. Hal ini termuat dalam isu-isu yang bermunculan mengenai keadaan sisi antara laki-laki dan perempuan. Perempuan dibatasi dalam segala hal, entah itu dari ruang, aktivitas, serta fungsinya dalam masyarakat dibandingkan dengan peluang yang diberikan untuk laki-laki. Hak-hak asasi manusia yang telah disepakati tanpa pembedaan gender ternyata belum diterapkan, masih ditemukan banyak kasus yang menganggap kaum perempuan sebagai kaum yang lemah, tidak bisa memimpin, dan selalu dianggap tidak mampu dalam banyak hal.

Bintang Darmawati mengatakan, pemikiran bahwa posisi perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki merupakan akar masalah dari ketimpangan gender. Stigma tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain. Stigma merupakan label negatif yang melekat pada tubuh seseorang yang diberikan oleh masyarakat dan dipengaruhi oleh lingkungan. Hal ini juga disebut dengan subordinasi, subordinasi adalah penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang dilakukan jenis kelamin lebih rendah dari pada yang lain.
Seperti yang telah tercantum dalam pasal 1 ayat (3) UU nomor 39 tahun 1999 yang berbunyi:

“Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.” Pasal tersebut menjelaskan mengenai hak manusia atas lingkungannya yang baik dan sehat, dalam artian lain manusia memiliki hak yang sama, terutama hak dalam lingkungan atau tempat tinggalnya.

Menurut KBBI, Stigma adalah ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya. Stigma adalah kegiatan memberikan tindakan dengan memberi label yang bertujuan untuk mencemari seseorang atau kelompok dengan pandangan buruk. Stigma yang diberikan terhadap perempuan biasanya mengenai kedudukan, peran, fisik, serta derajat pada perempuan yang dianggap lemah dan berada di bawah laki-laki.

Contoh ketidakadilan gender dalam lingkungan masyarakat, perempuan dibatasi untuk berkembang akan kemampuan dan bakat yang dimilikinya. Masih banyak tradisi yang menerapkan bahwa ketika perempuan lebih sukses daripada laki-laki, hal tersebut menyalahkan tradisi. Sebab, masih banyak masyarakat yang menganggap bahwa laki-laki merupakan pencari nafkah utama, sedangkan perempuan hanya pencari nafkah tambahan, bahkan banyak kasus-kasus wanita karier yang tidak diperbolehkan untuk bekerja oleh suaminya.

Perempuan yang mampu memperjuangkan posisi jabatan atau kerjanya dianggap mementingkan diri sendiri. Namun hal tersebut seharusnya tidak menjadi pembeda antara laki-laki dan perempuan, sebab pada dasarnya laki-laki atau perempuan sama-sama berpotensi.

Ketidakadilan gender seringkali ditujukan bagi kaum perempuan, kaum yang selalu dianggap tidak mampu. Masih banyak lagi kasus pelanggaran HAM, mengenai ketidakadilan gender.

Oleh karena itu, kita sebagai perempuan harus memulai memperbaiki dari diri kita sendiri. Seperti dengan mampu mengetahui apa yang hendak dikejar dan direalisasikan. Mereka yang gagal menghadapi diri sendiri tidak punya kesempatan kedua untuk menilai dan menghakimi orang lain. Jadi pemimpin untuk diri kita sendiri, berjuang semaksimal mungkin, untuk menunjukkan dan menjunjung tinggi bahwa perempuan itu mampu melakukan aktivitas tanpa terbatas ruang, fisik, dan lain sebagainya.
Kita sebagai sesama perempuan, harus saling berpegangan tangan untuk menguatkan satu sama lain. Hak perempuan harus dilindungi dan bukan untuk direndahkan harkat dan martabatnya.

Perbedaan jenis kelamin merupakan sebuah anugrah yang harus disyukuri bersama-sama, bukan dijadikan pembeda sehingga menimbulkan keterbatasan aktivitas, ruang, dan lain sebagainya bagi perempuan. Pola pikir dan pandangan masyarakat terhadap perempuan harus dirubah. Kesetaraan gender perlu ditegakkan dengan bijak supaya keadilan hak antara laki-laki dan perempuan dapat berjalan dengan seimbang.

(Yolanda Tania adalah Mahasiswi Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Peradaban Bumiayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Tinggal di Kramat, Bumiayu, Brebes)

Tulisan dalam Kolom Opini ini adalah kiriman dari masyarakat. Segala tulisan bukan tanggung jawab Redaksi PanturaNews, tapi tanggung jawab penulisnya.

 
Belum ada komentar untuk ditampilkan pada artikel ini.

Komentar Berita