SEBELUMNYA, sekedar informasi dari media bahwa Mohamad Irfan Afandi, seorang Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pandika Siliwangi Nusantara diringkus Tim Resmob Satreskrim Polres Brebes. Irfan diduga telah melakukan tindak pidana pemerasan kepada kepala desa di Kecamatan Bulakamba.
Duduk perkara yang bisa diketahui seperti yang dinyatakan oleh KBO Satreskrim Polres Brebes Iptu Puji Heriati, menjelaskan awalnya pada September 2021 lalu korban yang juga seorang kepala desa di Kecamatan Bulakamba didatangi Irfan.
Saat itu, Irfan mengingatkan korban terkait rangkap jabatan. Yakni sebagai Kades dan Sekretaris Komisi Penanggulangan Aids (KPA) dan juga nepotisme dalam pengadaan karyawan KPA.
Saat itu, lanjutnya, korban tidak menghiraukan pernyataan Irfan yang akan melaporkannya. Merasa tidak dihiraukan korban, irfan akhirnya melaporkan korban ke Dinkes dan Polres Brebes pada awal Januari ini.
Akhirnya, rekan keluarga korban ini meminta bertemu dengan pelaku di salah satu rumah makan di Brebes untuk menyerahkan uang.
Saya ingin mengajak pembaca lebih jauh lagi melihat kasus tersebut. Pertama hal ini yang menjadi korban pemerasan yaitu seorang kepala desa di Kecamatan Bulakamba, apa tidak tahu letak kesalahannya dimana?. Kenapa sampai Ketum LSM berani melaporkan ke Dinkes dan Polres Brebes.
Kalau toh pun tidak merasa bersalah dan kuat, kenapa harus takut!. Ketum LSM pun kenapa sampai berani melaporkan, berarti kuat secara persiapan untuk membuat laporan.
Mari kita coba kulik apa itu Nepotisme? Dari penjelasan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme.
Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
Pertama, kenapa kepala desa di Kecamatan Bulakamba takut. Harusnya ikuti saja aturan hukum yang berlaku, penjelasan yang bisa membenarkan tindakannya bisa dijelaskan di pengadilan. Apa yang jadi masalah, bukankah itu hal yang sederhana untuk mengikuti proses hukum yang ada.
Sebetulnya apa yang diungkap Irfan tidak terlepas dari Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Pada Pasal 29 misalnya, Kepala Desa dilarang di poin (f) melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme, menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya;
Di poin (i) Kepala Desa juga dilarang merangkap jabatan sebagai ketua dan/atau anggota Badan Permusyawaratan Desa, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, dan jabatan lain yang ditentukan dalam peraturan perundangan-undangan;
Kedua, peranan Badan Pengawas Desa (BPD) kemana? Kenapa LSM yang lebih sigap dalam pengawasan. Apa sudah ada tidak lanjut untuk mengurusi persoalan internal di desa. Ini bukan hanya akan berdampak pada stempel buruk bagi LSM sebagai organisasi non pemerintah yang menurut saya sangat dibutuhkan dalam sistem negara demokrasi. Tapi, lebih jauh lagi, ketika LSM sudah tidak memiliki kedudukan di tengah-tengah masyarakat mau lewat jalur mana check and balance akan bisa diterapkan.
Ketiga, soal perilaku pemerasan penulispun tidak setuju dalam bentuk apapun. apalagi di dunia penegak hukum. Menurut penulis, fenomena pemerasan di lingkungan penegak hukum bukan barang baru, ia menjadi semacam lingkaran setan yang terus ada dan dipraktikkan oleh mereka yang memiliki relasi kuasa.
Pernah, penulis mendampingi kasus penyelidikan pencurian sepeda motor. Dimana penulis dihadapkan langsung bagaimana penyidik secara terang-terangan meminta orang-orang yang masuk dalam jaringan penadah dan penjual sepeda motor diperas dengan ancaman akan dimasukkan ke lapas.
Lagi-lagi atas nama penegakan hukum, belum lagi berita dari kawan-kawan yang terjerat kasus narkoba yang mengharuskan menebus sejumlah uang untuk bisa dibebaskan.
Hari ini, ada kasus yang menyeret ketua LSM. Dari kasus tersebut banyak hal yang bisa dijadikan kritik bagi siapapun termasuk bagi penegak hukum itu sendiri.