Selasa, 20/01/2015, 12:14:01
Perlunya Pendidikan Karakter
Oleh: Rike Rizqillah
--None--

“Manusia hanya dapat menjadi sungguh-sungguh melalui pendidikan dan pembentukan diri (character) yang berkelanjutan. Manusia hanya dapat dididik oleh manusia lain yang juga dididik oleh manusia lain”, begitu kata Immanuel Kant. Artinya bahwa, pendidikan dan pembentukan karakter sejak awal munculnya pendidikan oleh para ahli dianggap sebagai hal yang niscaya dan saling berhubungan.

Pendidikan karakter memang bukan hal yang baru, penanaman nilai-nilai sebagai sebuah karakteristik seseorang sudah berlangsung sejak dahulu kala. Bahkan sejak zaman Rasulullah Muhammad SAW, dalam hadist yang diriwayatkan Imam Bukhori yang artinya ”Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak”. (HR: Bukhari dalam shahih Bukhari kitab Adab, Baihaqi dalam kitab Syu’bil Iman dan Hakim). Hadist tersebut menunjukkan bahwa penanaman akhlak atau nilai-nilai itu sudah ada sejak zaman Rasulullah. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan zaman, agaknya menuntut adanya penanaman kembali nilai-nilai tersebut ke dalam sebuah wadah kegiatan pendidikan di setiap pembelajaran, baik formal, informal, maupun nonformal.

Pada hakikatnya, semua pendidikan di dunia ini memiliki tujuan, yaitu membantu manusia untuk menjadi cerdas dan pintar (smart), dan membantu mereka menjadi manusia yang baik (good). Menjadikan manusia cerdas dan pintar melalui jalur pendidikan ataupun tidak, merupakan hal yang tidak sulit. Tetapi merubah manusia menjadi orang yang baik dan bijak, itulah yang amat sangat sulit untuk dicapai. Dengan demikian, sangat wajar jika dikatakan bahwa problem moral merupakan persoalan kritis atau penyakit kronis yang ada pada diri siapapun dan kapanpun.

Tujuan pendidikan tidak sekedar proses alih budaya atau alih ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tetapi juga sekaligus sebagai proses alih nilai (transfer of value). Artinya bahwa Pendidikan, di samping proses pertalian dan transmisi pengetahuan, juga berkenan dengan proses perkembangan dan pembentukan kepribadian atau karakter masyarakat. Dalam rangka internalisasi nilai-nilai budi pekerti kepada peserta didik, maka perlu adanya optimalisasi pendidikan. Perlu kita sadari bahwa fungsi pendidikan Nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembanganya potensi peserta didik agar menjadi manusia yangberiman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Menurut Doni Koesoma, Karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ciri atau karakteristik, gaya, atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari keluarga, sekolah, dan masyarakat. Oleh karena itu karakter tidak bisa diwariskan, artinya seseorang yang dikenal berasal dari keturunan yang mempunyai karakter baik belum tentu seseorang tersebut mempunyai karakter yang baik pula atau bahkan sama. Karakter merupakan sesuatu yang dibangun secara berkelanjutan dari hari ke hari melalui proses sedikit demi sedikit dan bertahap.

Jika kita berbicara tentang pendidikan karakter, selama ini yang kita bicarakan sesungguhnya adalah sebuah proses penanaman nilai yang sering kali dipahami secara sempit, hanya terbatas pada waktu dan ruang kelas. Pendidikan karakter (pendidikan budi pekerti plus) merupakan pendidikan yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Saat ini, pendidikan karakter menjadi suatu hal yang ditekankan dalam pendidikan di Indonesia, dari sini muncul beberapa pertanyaan seputar karakter di Negara kita ini, “Ada apa dengan pendidikan karakter di Indonesia? Mengapa perlu pendidikan karakter? Apakah pendidikan karakter di Indonesia belum berhasil?”.

Sejalan dengan era globalisasi dan kemajuan dunia informasi, bangsa Indonesia tengah dilanda krisis moral yang menyebabkan tidak sedikit dari Negara lain yang memandang sebelah mata karakter bangsa kita bahkan ada saja yang menilai rendah. Melihat hal itu, maka kemandirian dan martabat suatu bangsa di era globalisasi akan sangat ditentukan oleh kapasitas dan tentu saja kwalitas bangsa tersebut dalam membina dan mengembangkan suatu pranata yang dapat meningkatkan sumber daya manusia.

Karakter merupakan cerminan dari kepribadian secara utuh dari seseorang dan karakter juga merupakan kunci keberhasilan individu. Hal ini diperkuat dalam sebuah penelitian di Amerika, bahwasannya 90 persen kasus pemecatan disebabkan oleh perilaku buruk seperti tidak bertanggung jawab, tidak jujur, dan hubungan interpersonal yang buruk, dan terdapat penelitian lain yang mengindikasikan bahwa 80 persen keberhasilan seseorang di masyarakat ditentukan oleh emotional quotient.

Karakter suatu bangsa berperan besar dalam mempertahankan eksistensi dan kemerdekaan negaranya, karakter bangsa yang kuat juga berperan besar dalam mencapai tingkat keberhasilan dan kemajuan atau progress pembangunan. Karakter seperti apakah itu? Karakter-karakter tersebut tidak lain merupakan karakter yang berakar dari falsafah atau ideologi Negara itu sendiri. Di Indonesia, ideologi yang digunakan adalah ideologi Pancasila, maka karakter yang sesuai dengan karakter Bangsa Indonesia adalah karakter yang sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila.

Keinginan menjadi bangsa yang berkarakter sesungguhnya sudah lama tertanam pada bangsa Indonesia. Para pendiri negara menuangkan keinginan  itu dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-2 dengan pernyataan yang tegas, “…mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan  negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Para pendiri negara menyadari bahwa hanya dengan menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmurlah bangsa Indonesia menjadi bermartabat dan dihormati bangsa-bangsa lain.

Dalam dunia pendidikan, keberhasilan pendidikan tidak diukur dari tercapainya target akademis siswa, tetapi lebih kepada proses pembelajaran sehingga dapat memberikan perubahan sikap dan perilaku kepada siswa. Terlebih lagi dalam dunia pendidikan karakter, ruang lingkup pendidikan karakter meliputi di dalam keluarga, sekolah, dan dalam masyarakat. Jadi apabila muncul pertanyaan mengenai keberhasilan pendidikan karakter, maka tidak bisa divonis “berhasil” atau “tidak” begitu saja karena proses pendidikan karakter itu berkelanjutan/berkesinambungan. Selain itu, karakter ada pada diri masing-masing individu. Setiap individu memiliki kontrol penuh atas karakternya, artinya kita tidak dapat menyalahkan orang lain atas karakter kita yang buruk karena kitalah yang sepenuhnya bertanggung jawab, dan tanggung jawab kita adalah mengembangkan karakter itu sendiri.

Seharusnya kita tidak menuntut salah satu pihak untuk bertanggung jawab dalam dunia karakter, karena pendidikan karakter adalah tanggung jawab kita bersama, tanggung jawab keluarga, guru, tokoh masyarakat, tak ada pengecualian. Pendidikan karakter bukan trending topic sebuah program pendidikan semata, melainkan sebuah keniscayaan yang ada khususnya di Negara kita ini. Sekolah hanya sebuah institusi yang bergerak pada proses pengajaran dalam aspek iptek, tetapi bagaimana etika dan estetiknya, hal itu bisa dilakukan melalui pendidikan dalam keluarga. Oleh karena itu, pendidikan karakter/moral tidak boleh sesaat, tetapi harus dilakukan secara terus-menerus hingga karakter tersebut tertanam di dalam diri setiap individu. Nilai moral, karakter dan budi pekerti menjadi suatu keharusan bagi kita bersama untuk menanamkannya pada diri anak dan harus dilakukan sejak dini

Dengan pendidikan yang matang, suatu bangsa akan memiliki sumber daya manusia yang berkualitas dan tidak mudah diperbudak oleh pihak lain. Melihat kondisi zaman sekarang yang dimana generasi penerus Bangsa kita mulai mengalami penurunan karakter, seharusnya penerapan pendidikan karakter dilakukan pada seluruh aspek kehidupan, tidak hanya mementingkan aspek kognitif saja. Idealnya pembentukan karakter diintegrasikan ke seluruh aspek kehidupan baik dalam kehidupan keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Benar yang dikatakan Soedarsono “Apabila kita kehilangan harta, sebenarnya tidak ada yang hilang. Apabila kita kehilangan kesehatan, ada sesuatu yang hilang. Apabila kita kehilangan watak, segalanya akan hilang”.

(Rike Rizqillah adalah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Cirebon Program Studi PGSD/SMT 1)

Tulisan dalam Kolom Opini ini adalah kiriman dari masyarakat. Segala tulisan bukan tanggung jawab Redaksi PanturaNews, tapi tanggung jawab penulisnya.

 
Belum ada komentar untuk ditampilkan pada artikel ini.

Komentar Berita