Jumat, 09/03/2012, 04:40:11
Penolakan Kenaikan Harga BBM, Rasional! (Bagian I)
Oleh: Dewi Aryani, M.Si
--None--

Dewi Aryani, M.Si

Belakangan ini, ketidakstabilan sosial sedang terjadi pada masyarakat Indonesia. Penyebabnya, apalagi kalau bukan rencana Pemerintah yang akan menaikkan harga BBM pada 1 April 2012, dan tarif dasar listrik (TDL) mulai 1 Mei 2012 secara bertahap.

Masyarakat semakin resah atas keputusan tersebut. Unjuk rasa dan protes dari berbagai kalangan masyarakat terus bergulir di berbagai wilayah di Tanah Air. Berbagai unjuk rasa dan protes ini, banyak dilakukan oleh kalangan menengah bawah dan masyarakat tidak mampu, buruh, nelayan, pedagang hingga mahasiswa. Mereka menuturkan bahwa pihak yang paling menderita dengan kenaikan harga BBM ini, adalah rakyat kecil karena kemampuan memenuhi kebutuhan hidup akan semakin sulit.

Di sisi lain, protes atas kenaikan harga BBM ini juga dilakukan oleh kalangan pengusaha dan Industri. Hal ini mengingat dampak kenaikan BBM juga akan merambah pada kenaikan biaya produksi, kenaikan biaya angkutan hingga harga saham dan memberi efek negatif pada laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).

Salah satu yang menjadi korban adalah PT Garuda Indonesia. Saham PT Garuda Indonesia sampai saat ini belum diminati, salah satunya karena rencana kenaikan harga BBM. Selain itu, akibat kenaikan harga BBM ini, juga akan menyebabkan  pertumbuhan emiten terhambat.

Berbagai opini yang menolak tegas kenaikan harga BBM ini pun berkembang luas. Salah satunya adalah penulis. Sebagai Anggota DPR RI Komisi VII dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dengan tegas menolak kenaikan harga BBM ini. Alasannya adalah bahwa kebijakan tersebut menindas hak rakyat dan membiarkan rakyat mencari sendiri solusi atas masalah ini.

Seharusnya kebijakan yang Pemerintah hasilkan menciptakan kualitas kehidupan yang baik bagi rakyatnya. Jika kenaikan harga BBM ini tetap dijalankan, bukan kualitas hidup yang baik yang akan rakyat rasakan, namun belitan ekonomi yang semakin mencekik dan menggerogoti kehidupan mereka.

Pakar Ekonomi Politik, Ichsanudin Noorsy juga menyampaikan pandangan yang serupa. Menurutnya, kenaikan harga BBM merupakan kesalahan pemerintah dan Badan Anggaran DPR yang tidak mampu memprediksi harga minyak dunia yang ditetapkan Pemerintah lebih rendah dari harga sebenarnya. Dampaknya, dengan alasan defisit anggaran, Pemerintah memilih menaikkan harga BBM untuk menutup kekurangan tersebut.

Menurut Ichsan, bisa jadi penetapan harga minyak lebih rendah adalah sebuah kesengajaan yang dilakukan Pemerintah, agar anggaran subsidi membengkak. Kemudian dengan alasan sebagian besar subsidi tersebut dinikmati oleh orang kaya, maka Pemerintah akan memiliki alasan untuk menaikkan harga BBM.

Dampak Sistemik Sektoral

Kenaikan Harga BBM ini juga memiliki dampak sistemik di berbagai sektor (dampak sektoral) yang luas bagi stabilitas Negara. Beberapa perspektif dapat kita jadikan sebagai pisau analisis atas dampak ini, antara lain melalui Perspektif Hukum Tata Negara, perspektif Politik, Perspektif ekonomi, Perspektif Sosial, Perspektif Pertahanan dan keamanan, serta Perspektif Administrasi dan Kebijakan Publik.

1. Perspektif Hukum Tata Negara

Berdasarkan perspektif Hukum Tata Negara, Kenaikan BBM merupakan kebijakan yang inskonstitusional. Hal ini dapat dilihat dari UU APBN Nomor 22 Tahun 2011 tentang APBN 2012 pada pasal 7 ayat 6 yang berbunyi, bahwa harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan. Pasal ini menjadi “penjebak” bahwa seolah-olah pemerintah tidak akan menaikkan harga BBM. Padahal pasal dalam UU ini  tidak pernah dibahas apalagi disetujui Komisi VII DPR RI. Di sisi lain, maksud “pengendalian” yang dijabarkan dalam UU tersebut ditangkap sebagai suatu single solution, yaitu pembatasan BBM bersubsidi.

Selain itu, landasan hukum yang digunakan pemerintah juga tidak kuat, dimana pemerintah hanya merujuk pada rancangan Perpres Nomor 55 Tahun 2005 juncto Perpres Nomor 9 Tahun 2006. Dasar hukum tersebut pun sebenarnya telah cacat, karena jika pemerintah memaksakan rakyat untuk beralih dari BBM bersubsidi ke pertamax, dan melepas fluktuasi harga sesuai harga pasar, pemerintah telah melanggar keputusan MK.

MK telah membatalkan pasal 28 ayat 2 UU Migas soal pelepasan harga minyak dan gas bumi yang mengikuti harga pasar, karena hal itu jelas melanggar hak asasi rakyat. Seharusnya pemerintah melakukan judicial review dulu terhadap UU APBN Nomor 22 Tahun 2011, tentang APBN 2012 pada pasal 17 ayat 6 untuk memayungi kebijakan ini.

Jika merujuk pada amanat Pasal 33 UUD45 ayat 3 yang berbunyi  “Bumi dan air dan kekayaaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat….”, BBM seharusnya dapat dinikmati oleh masyarakat dengan harga yang terjangkau dan merata, bukan dengan harga yang tinggi.

BBM masih memegang peranan penting dalam kehidupan sosial, ekonomi, masyarakat. Dampak yang ditimbulkan dari kenaikan BBM tidak hanya naiknya harga bahan bakar, tetapi juga harga-harga kebutuhan pokok, transportasi, dan sebagainya. Tentunya kenaikan ini akan semakin Memberatkan masyarakat khususnya masyarakat miskin. Kekacauan di masyarakat dipastikan akan terjadi.

Kekacauan tersebut bisa berakibat pada tindakan ekstrim, yaitu penurunan presiden dan wakil presiden secara paksa melalui pasal 7a dan 7b Amandemen ketiga UUD 45 yang berbunyi “presiden dan wakil presiden dapat diberhentikan oleh MPR atas usul DPR, baik apabila telah terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela…”. Pasal tersebut menjelaskan bahwa presiden dan wakil presiden bisa diturunkan secara paksa jika memaksakan kebijakannya, yakni menaikkan BBM, tanpa ada persetujuan DPR dan rakyat. Karenanya, DPR memegang peranan penting sebagai tameng rakyat.

2. Perspektif Politik

 Jika melihat kenaikan harga BBM ini melalui perspektif politik, maka akan terasa nuansa pencarian popularitas (pencitraan)  Pemerintah yang sangat kental. Pembagian BLSM (Bantuan Langsung Sementara) yang serupa dengan BLT (Bantuan Lansgung Tunai) -yang pernah diberikan beberapa tahun yang lalu atas kenaikan BBM- menjadi bentuk pencarian popularitas Pemerintah kepada rakyatnya.

Wakil Ketua DPR RI, Pramono Anung dari PDI Perjuangan juga menyatakan, bahwa kompensasi kenaikan harga BBM dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT), bisa ditolak DPR karena dinilai tidak fair secara politik.

Mendekati Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pilkada DKI Jakarta, aksi bagi-bagi uang ini nampaknya memang akan menjadi cara yang ampuh untuk mencitrakan wajah Pemerintah yang baik dan mencintai rakyatnya. Padahal dibalik itu semua sesungguhnya rakyat sedang dibodohi oleh pemerintahnya sendiri.

3. Perspektif Ekonomi

Dari sudut pandang ekonomi, kenaikan BBM ini juga tidak tepat. Jika kita melihat perkembangan APBN sejak tahun 2010 sampai dengan 2012, maka akan terlihat bahwa Pemerintah mengarahkan pos subsidi APBN berkurang hingga mencapai lebih dari 3% dari 17,96% pada tahun 2011 menjadi hanya 14,72% pada tahun 2012.

Penurunan jumlah subsidi terhadap BBM, termasuk energi, menyumbang penurunan nilai subsidi sebesar 94,28% pada APBN. Ironisnya, hal ini berkebalikan dengan kenaikan anggaran belanja pegawai yang hampir mencapai 3% dari sebelumnya 13,85% pada tahun 2011, naik menjadi 15,21% pada tahun 2012. (Bersambung)

(Dewi Aryani adalah Anggota Komisi 7 DPR RI Fraksi PDI Perjuangan dar Dapil Jawa Tengah 9 (Kabupaten Brebes, Kabupaten Tegal, Kota Tegal). Kandidat Doktor Administrasi dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia)

Tulisan dalam Kolom Opini ini adalah kiriman dari masyarakat. Segala tulisan bukan tanggung jawab Redaksi PanturaNews, tapi tanggung jawab penulisnya.

 
Belum ada komentar untuk ditampilkan pada artikel ini.

Komentar Berita