Selasa, 08/05/2012, 01:42:56
Dewi: Permen ESDM Nomor 07/2012 Harus Direview
GHJay-SL. Gaharu & Riyanto Jayeng

Anggota Komisi 7 DPR RI Fraksi PDIP, Dewi Aryani, M.Si

PanturaNews (Jakarta) - Berbagai pendapat, usulan dan protes yang terjadi akibat adanya Peraturan Pemerintah (Permen) ESDM Nomor 07 Tahun 2012, harus dijadikan momentum pemerintah untuk segera melakukan upaya review kebijakan secara mendalam. Pihak yang menyetujui dan menolak harus diperlakukan yang sama.

Demikian dikatakan anggota Komisi 7 DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Dewi Aryani, M.Si kepada PanturaNews, Selasa 08 Mei 2012 siang. "Pemerintah memiliki beberapa poin kesalahan,” ujarnya.

Kesalahan pemerintah, menurut Dewi adalah obral ijin tambang selama ini tanpa memberikan persyaratan baku (dalam lampiran persyaratan), soal jenis perusahaan yang boleh dapat ijin tambang, baik dari sisi jumlah minimum permodalan maupun rencana kerja .Maraknya calo tambang tidak pernah serius di berantas.

“Birokrasi dalam proses investasi yang berbelit dan banyak indikasi suap dalam mendapatkan berbagai macam perijinan yang menyertainya. Ini kaitannya dengan wacana reformasi birokrasi, harusnya diimplementasikan segera di sektor ini,” tuturnya.

Pemerintah, lanjut Dewi, tidak melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam proses pembuatan kebijakan. Sehingga berbagai bentuk protes marak setelah peraturan ditetapkan. Mestinya laksanakan dulu semacam FGD untuk tiap prosesnya, sehingga mendapatkan masukan, kritik dan ide konstruktif selama proses pembuatan kebijakan.

“Jika telah diamanatkan dalam UU bahwa batas waktu pelarangan ekspor adalah 2014, maka harus mengacu kepada isi UU tersebut. Jadi jangan tiba-tiba ada peraturan yang menindih dan overlapped dalam substansinya, yang berakibat kepada sistem, mekanisme dan rencana kerja perusahaan-perusahaan yang memang secara positif sudah menyiapkan business plan sesuai dengan peraturan yang melekat sebelumnya,” terang Dewi.

Dijelaskan, soal bea ekspor sebesar 20 persen untuk 14 jenis bahan mineral, mestinya sudah dipikirkan sebagai dampak dari isi UU tersebut jauh0jauh hari, bukan baru sekarang diturunkan sebagai kebijakan instant, baik dalam proses maupun penghitungan dampaknya terhadap berbagai aspek.

“Ini justru mengindikasikan pemerintah selama ini lemah dalam kontrol kebijakan, dan sangat rapuh dalam menganalisa berbagai kemungkinan skenario akibat dari kebijakan yang dilahirkan," tandas kandidat Doktor Administrasi dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia (UI) ini.

Untuk menghindari berbagai gejolak, papar Dewi, maka pemerintah harus segera mengambil langkah-langkah tegas dan win-win bagi semua stake holder sektor pertambangan, diantaranya yang harus dilakukan pemerintah mereview kembali Permen Nomor 7. Pemerintah perlu melakukan kajian mendalam dengan memasukkan berbagai unsur yang telah disampaikan berbagai pemangku kepentingan. Pihak yang sepakat dan tidak sepakat harus diakomodir.

Bentuk satgas atau pokja khusus yang bertugas menggodok kasus ini dalam jangka waktu maksimal 6 bulan ke depan, untuk mengkapitalisasi berbagai aspek baik secara teknis dan non teknis pertambangan. Tetap memberi ijin ekspor namun dibatasi dengan kuota tertentu, ini untuk menekan laju pertumbuhan volume ekspor.

Lebih kanjut dijelaskan, bea keluar harus disesuaikan dengan jenis tambangnya, tidak bisa diratakan untuk 14 jenis sebesar 20 persen. Cost produksi yang non teknis kadang membuat biaya produksi juga meningkat. Pungutan liar tidak resmi harus ditiadakan dengan pengawasan yang sempurna.

Untuk batubara karena menjadi andalan sumber energi ke depan, harusnya menjadi fokus pemerintah dalam pembuatan berbagai macam peraturan. Sejak sekarang harus sudah diperhitungkan beberapa prosentase bea keluar, bagaimana volume peruntukan DMO (domestik market obligation) dan aspek EMO (eksport market obligation), harus dikaji ulang. Utamakan pemenuhan dalam negeri dahulu.

“Semua substansi isi UU yang terkait dengan energi, termasuk UU migas dan UU pertambangan, harus dibahas ulang dengan mengacu dan berpatokan kepada konstitusi dan amanat dalam UUD 45,” pungkas Dewi.


 
Belum ada komentar untuk ditampilkan pada artikel ini.

Komentar Berita