PanturaNews (Tegal) – Di koridor Pengadilan Agama Slawi, pemandangan kontras tersaji setiap harinya. Seorang perempuan tampak cekatan mengayunkan alat kebersihan, membersihkan setiap sudut ruangan dengan telaten.
Siapa sangka, di balik seragam petugas kebersihan tersebut, ia adalah pemegang gelar Magister (S2) dari Universitas Jenderal Soedirman.
Kisah di Balik "Ego Akademis" yang Tanggal
Nur Yustiana Dewi adalah satu dari sekian banyak orang yang terdampak langsung oleh perubahan besar dalam birokrasi Indonesia. Sebagai "korban" transisi Undang-Undang ASN Nomor 20 Tahun 2023, Nur harus menghadapi kenyataan pahit: pintu bagi tenaga honorer resmi ditutup mulai akhir tahun 2025.
Aturan baru tersebut hanya memperbolehkan instansi pemerintah merekrut tenaga alih daya (outsourcing) untuk posisi teknis tertentu, seperti petugas keamanan dan kebersihan.
Pilihan Sulit: Menjadi Pengangguran atau Bertahan?
Pihak kepegawaian Pengadilan Agama Slawi mengakui bahwa mereka dihadapkan pada dilema berat. Pilihannya hanya dua: memberhentikan pegawai yang telah setia mengabdi, atau menawarkan posisi yang tersisa.
Demi menjaga dapur tetap mengepul dan setelah tujuh tahun masa pengabdian, Nur mengambil keputusan besar. Ia memilih untuk menanggalkan ego akademisnya dan menerima posisi sebagai cleaning service.
"Langkah ini adalah upaya penyelamatan agar pegawai lama tidak mendadak menjadi pengangguran di tengah transisi aturan," ungkap pihak instansi.
Harapan yang Belum Padam
Meski kini tangannya lebih akrab dengan alat pel daripada berkas administrasi, semangat Nur tidak lantas luntur. Gelar magister yang ia miliki memang belum bisa menyelamatkannya dari regulasi, namun ilmu dan usianya masih menjadi modal berharga.
Nur masih memupuk harapan untuk memperbaiki nasibnya melalui seleksi CPNS di masa mendatang. Kisahnya menjadi pengingat bagi banyak orang tentang kerasnya realita dunia kerja dan betapa pentingnya kerendahan hati dalam menghadapi badai perubahan.