PanturaNews (Tegal) - Tidak semua sejarah ditulis oleh raja. Ada sejarah yang lahir dari air mata tukang batu, dari napas perempuan yang dipaksa tunduk, dari penyair tua yang hidup di penginapan murah sambil memeluk ingatan yang menolak mati.
Karena itulah novel Tegalan “Séwu Candi, Siji Tangis” terpaksa cetak ulang. Bukan karena sensasi, tetapi karena banyak akademisi, pegiat sastra, dan pecinta budaya lokal merasa novel ini membuka pintu yang selama ini terkunci.
Novel ini bukan sekadar fiksi sejarah. Ia adalah gugatan yang dibungkus cinta, protes yang diselimuti puisi, dan rekonstruksi budaya yang lahir dari luka kolektif wong cilik.
Pengarangnya, Lanang Setiawan, menulis bukan dari menara gading, melainkan dari bumi: dari tanah petani, dari debu pasar, dari ziarah sunyi seorang penyair yang berusaha menafsir ulang kisah Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso.
Tokoh sentralnya, Raswadi Utomo, adalah jembatan antara masa kini dan masa lalu. Antara dunia nyata dan dunia gaib. Penyair tua yang tinggal di penginapan murah, hidup dari pembacaan puisi, tetapi menyimpan peti-peti sejarah di kepalanya. Melalui Raswadi, pembaca melihat candi bukan sebagai keajaiban arsitektur—melainkan sebagai makam-makam bisu yang dibangun dengan tangis.
Raswadi berjalan dari desa ke desa, dari kota ke kota, bahkan dari dunia ke dunia. Ia berjumpa dengan roh-roh perempuan yang dikorbankan demi ambisi kekuasaan. Pada suatu malam, ia menyaksikan pertemuan sunyi antara Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso. Bukan adegan romantis, tetapi ruang pengakuan dan permohonan maaf.
“Aku ora kepéngin dadi arca. Ning yén donya tetep keras, luwih becik aku dadi watu tinimbang dadi manungsa sing dipaksa manut,” begitu bunyi dialog Roro Jonggrang dalam catatan Raswadi.
Di tangan Lanang, kutukan bukan mitos, melainkan perlawanan. Roro Jonggrang bukan korban pasrah, tetapi simbol perempuan yang memilih nasibnya sendiri. Bandung Bondowoso bukan sekadar pangeran sakti, tetapi wajah penguasa yang harus belajar mencinta tanpa menguasai.
Ciri khas novel ini adalah hadirnya bentuk puisi Tegalan bernama puisi Tegalerin: pendek, padat, dan langsung menancap. Muncul sebagai letupan batin Raswadi saat kata tidak lagi mampu ditahan.
Ngadeg candi,
Ati nyawang jalmo mati.
Swara lumpur,
Kaya tangis sing disilih.
Puisi itu tidak sekadar pelengkap. Ia adalah suara sejarah yang tak dicatat buku pelajaran. Bahasa Tegal digunakan bukan sebagai aksesoris, melainkan sebagai senjata kultural untuk mengangkat kembali suara wong cilik.
Novel ini pada akhirnya juga menjadi dokumen budaya. Mengarsipkan suara-suara kecil yang tenggelam di balik legenda besar. Dalam satu adegan, Raswadi membaca puisi di alun-alun Tegal:
“Wong-wong nglumpruk. Ora ana panggung megah. Mung saben tembung saka lambéku numpang ning angin. Kaya swara leluhur sing mudik njaluk didangu.”
Judul Séwu Candi, Siji Tangis menyimpan banyak lapisan makna. “Séwu candi” adalah kejayaan, kebanggaan, peradaban. Namun “siji tangis” adalah harga yang dibayar: tangis buruh, tangis perempuan, tangis yang tak tercatat, tapi nyata.
“Novel kiyé ora kanggo mbalikkena sejarah. Aku mung takon: sapa sing sejatiné pahlawan? Sing mrintah mbangun candi, utawa wong sing mbabati watu tanpa swara?” tutur Lanang Setiawan.
Cetak ulang novel ini jumlahnya terbatas -hanya puluhan eksemplar. Bukan untuk pasar besar, tetapi untuk yang benar-benar ingin membaca: para peneliti, akademisi, guru, mahasiswa, seniman, dan pencinta karya Tegalan.
“Cukup kanggo kanca-kanca sing seneng novel Tegalan. Kebanyakan universitas, pendidik, lan sedulur seniman néng njaban Jawa,” kata Lanang.
Melalui novel ini, Lanang Setiawan memulihkan yang hilang: suara perempuan dalam legenda, suara rakyat dalam sejarah, suara yang biasanya dibungkam oleh batu-batu megah.
“Saben tumpukan watu mesthi nyimpen siji tangis. Lan tangis kiyé kudu diéling.”