Pengantar
Tradisi Jawa memiliki berbagai ragam tilas budaya yang bekasnya masih dapat dirunut, baik yang nampak (maujud) maupun tak nampak (tan maujud). Secara umum tradisi yang maujud dapat dilihat dalam bentuk candi, masjid, dan bangunan-bangunan lainnya yang melambangkan kecerdasan, keluhuran budi pekerti dan perlambangan (tamsil) filsafat hiduup manusia Jawa.
Sedangkan ragam yang tidak berwujud adalah serangkaian sistematika berpikir dan bertingkah laku yang menjadi ciri khas sebuah budaya setempat, yang tidak dimiliki oleh suku bangsa lain.
Upawasa
Begitu juga dalam tradisi prihatin, mengasah kepekaan lahir dan batin, kultur Jawa tidak kurang ragamnya. Istilah puasa, tirakat, dan prihatin secara substansi mengandung referensi yang sama, yaitu sama-sama upaya menguatkan jiwa dan spiritual seseorang dengan ritus-ritus tertentu untuk sebuah tujuan.
Diyakini bahwa dengan melakukan kegiatan tertentu maka sifat kandel dan kewaskitan (waspada) seseorang akan muncul, yaitu dengan mengoptimalkan aspek spiritual yang lembut dan tak terbatas, dan meminimalkan aspek fisik yang kasar dan serba terbatas.
Tirakat atau puasa dalam tradisi Jawa sekurang-kurangnya sebanyak 18 jenis, yaitu puasa mutih, ngeruh, ngebleng, pati geni, ngelowong, ngrowot, nganyep, ngidang, ngepel, ngasrep, senen kemis, wungon, tapa jejeg, lelana, tapa kungkum, ngalong, ngeluwang, dan weton.
Serta ada 1 lagi ragam puasa yang tetap diperbolehkan makan dan minum, namun tidak boleh mengotori batin (hati) serta menjaga semua unsur pancaindra dari kemaksiatan yang disebut puasa batin atau puasa ngrame. Masing-masing puasa memiliki pola ritual dan tujuan tertentu yang unik dank has tergantung motivasi pelaku melakukan puasa tersebut.
Menurut Dwi Cahyono (2022), arkeolog dan pengajar sejarah Universitas Negeri Malang yang disadur dari Historia, mengatakan bahwa kata puasa berasal dari bahasa Jawa, yakni poso. Sementara poso berasal dari pasa dan upawasa yang ditemukan dalam bahasa Jawa Tengahan dan Jawa Kuno.
Kata ini merupakan serapan dari bahasa Sanskerta yang secara harfiah berarti ‘jerat’, ‘ikatan’, dan ‘kekangan’. Pengekangan dapat berupa fisik maupun nonfisik, seperti pengekangan nafsu, hasrat, dan keinginannya,” agar tetap terarah dan terkendali.
Dengan mengikat atau mengekang nafsu yang merusak (negatif) dan menumbuhkembangkan nafsu yang membangun (positif), hasil akhirnya seorang pelaku puasa akan mendapatkan kekuatan spiritual yang luar biasa, baik kedekatan dengan Tuhan Yang Maha Kuasa maupun mendapatkan kekuatan ghaib lainnya.
Tradisi puasa, tiratkat, megeg, meper, atau prihatin telah menjadi kebiasaan orang-orang terpilih sejak zaman dahulu. Tradisi puasa dan tirakat adalah kegiatan spiritual yang bertujuan mendekatkan diri kepada Zat Yang Mahakuasa yang dianggap dapat memberikan kekuatan, kemenangan, dan kesejahteraan.
Tradisi puasa lazimnya diawali dengan kegiatan yang bertujuan mencegah atau mengurangi hal-hal yang dapat mengurangi kewaspadaan dan kewaskitaan, seperti mengurangi makan, tidur, dan menyalurkan hasrat seksual serta melakukan perintah tertentu dengan membaca amalan-amalan tertentu yang diyakini menimbulkan “rasa panas” pada diri pelakunya sebagai tanda bahwa kekuatan dalam dirinya mulai berfungsi.
Para pemimpin Jawa senantiasa menggunakan tradisi puasa sebagai media spiritual untuk menghubungkan dengan dunia supranatural agar dapat selaras menguatkan cita-cita dan harapannya, yaitu mengelola dunia dengan petunjuk dan bimbingan-Nya.
Maka tidak jarang para pemimpin Jawa yang muncul sebagai pemimpin yang dihormati, dihargai, dan disegani oleh kawan maupun lawan. Hal ini merupakan imbas dari genturnya puasa dan prihatin yang dilakukan untuk dirinya untuk mengolah kekuatan superpowernya yang diyakini dapat membimbingnya dalam mengatasi berbagai persoalan dalam memegang kendali kekuasaan.
Dalam literatur Jawa, tradisi prihatin telah ditemui dalam perjalanan setiap tokoh dalam sebuah cerita, baik cerita fiktif maupun non fiktif. Bahkan dalam literature Jawa Kuno tradisi puasa sudah ada sejak munculnya cerita Ramayana, Mahabarata, dan sampai pada cerita Panji, dan cerita para pujangga Mataram akhir.
Kitab Kakawin Ramayana, kisah Ramayana versi Jawa kuno yang berasal dari masa sebelum pemerintahan Mpu Sindok di Medang abad 10. Ditemukan istilah pasa-brata yang berarti aktivitas pasa. Rama, Shinta, dan Leksamana mengalami masa pembuangan selama 12 tahun, dan selama waktu itu pula mereka bertiga berlaku lampah sebagai ksatria pertama, yaitu kesatria yang senantiasa menjalani martapa ‘prihatin’ demi cita-cita yang diharapkannnya.
Bertiga meninggalkan glamournya istana kerajaan besar ayahnya, Ayodya. Selama 12 tahun masa pengembaran, Rama, Sinta, dan Leksamana mengasah ketajaman akal dan olah kanuragan, masa prihatin selama itu pula yang menjadikan mereka menjadi manusia unggulan di dunia.
Kakawin Arjunawiwaha juga mengenalkan konsep pengendalian hawa nafsu. Karya gubahan Mpu Kanwa ini ditulis pada era Airlangga, penguasa Kahuripan pada awal abad ke 11. Dikisahkan Arjuna melakukan tapa di Gunung Indrakila demi bisa membantu saudaranya Yudhistira merebut kerajaannya kembali.
Puasa, pasa itu kan bagaimana menghadapi segala godaan, bukan cuma makan dan minum, tetapi nafsu seks, nafsu marah, serakah, dan lainnya,” Dalam tapanya Arjuna harus melawan segala macam godaan, baik yang paling halus hingga yang paling kasar, meninggalkan seluruh kepuasan jasmani dan rohaninya.
Dalam Wulangreh karya Susuhunan Pakubuwana IV (1788-1820), juga disebutkan bahwa untuk menjadi orang yang luhur dan waskita kita harus bersikap mengekang hawa nafasu dan melakukan perintah kebaikan. Konsep cegah dhahar lawan guling menjadi model pembelajaran puasa atau tirakat dalam kultur Jawa.
Dengan berprihatin, mengurangi makan, minum, dan banyak tidur serta hal-hal yang membatalkannya, diyakini akan meningkatkan potensi rohani dan meningkatkan aura kepemimpinan yang sedang dipercayakan kepadanya. Kebanyakan makan, minum, dan tidur akan mengurangi kewaskitaan seseorang, sehingga tidak memunculkan kepekaan terhadap kejadian dan peristiwa di luar dirinya (masyarakat), dengan puasa akan semakin tajam dan meningkatkatlah kepekaan seorang pemimpin.
Penutup
Sebagai peninggalan nenek moyang, tradisi puasa patut diwarisi oleh seluruh generasi muda sebagai modal mempersiapkan diri menghadapi masa depan. Dengan puasa dan tirakat, mentalitas buruk seperti korupsi, pemecah belah, dan mengalitas pengecut dapat dieliminir, dan mentalitas unggulan seperti sportivitas dan pantang menyerah dapat dioptimalkan. Semoga bermanfaat, matur nuwun.