KESENIAN tradisional Banyumas adalah kekayaan budaya baik benda maupun tak benda yang tumbuh dan berkembang di wilayah Karesidenan Banyumas, meliputi Kabupaten Cilacap, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purbalingga, dan Kabupaten Banjarnegara.
Kesenian tradisional yang dimiliki oleh Kabupaten Banyumas sendiri diantaranya Ebeg, Calung Banyumasan, Lengger, Wayang Kulit Gagrag Banyumasan, Gendhing Banyumasan, Begalan, dan lain sebagainya.
Ebeg adalah jenis tarian rakyat yang berkembang di wilayah Banyumas. Varian dari jenis kesenian ini, di daerah lain dikenal dengan nama kuda lumping atau jaran kepang. Ada juga yang menamakan jathilan (Yogyakarta) dan Reog (Jawa Timur).
Dinamakan ebeg karena pada kesenian ini seorang penari menggunakan ebeg sebagai salah satu propertinya, ebeg sendiri merupakan anyaman bamboo yang dibuat menyerupai seekor kuda berwarna hitam atau putih dan diberi kerincingan atau lonceng sebagai bunyi-bunyian. Sedangkan penarinya menggunakan celana panjang dilapisi kain batik sebatas lutut dan berkacamata hitam, mengenakan mahkota dan sumping di telinganya.
Pada kedua pergelangan tangan dan kaki dipasangi gelang-gelang kerincingan atau lonceng sehingga ketika penari menggerakan kaki dan tangannya akan menimbulkan bunyi gemerincing. Ebeg termasuk ke dalam jenis tarian masal sehingga dalam pertunjukannya membutuhkan tempat yang cukup luas seperti lapangan atau halaman yang luas.
Dalam pertunjukan ebeg, selain gendhing dan gamelan sebagai alat pengiring biasanya ebeg juga memerlukan sesaji berupa bunga-bungaan, pisang raja, pisang mas, kelapa muda, jajanan pasar, dan lain-lain. Lagu yang dinyanyikan untuk mengiringi pertunjukan ebeg sendiri merupakan lagu daerah banyumasan seperti ricik-ricik, bendrong kulon, eling-eling, dan lain-lain.
Keunikan dari kesenian ebeg ini adalah saat para penari kerasukan atau biasa disebut mendem para pemainnya biasanya akan memakan pecahan kaca atau beling, bara api, mengupas kelapa dengan gigi mereka, memakan padi dengan tangkainya.
Apabila dibandingkan dengan kesenian yang lain seperti wayang maka jenis kesenian ebeg ini dianggap sebagai tradisi Jawa asli, meski belum diketahui kapan pastinya kesenian ini mulai lahir dan berkembang dalam masyarakat, kemungkinan tradisi dan kesenian ebeg sudah ada sejak zaman Jawa Kuno.
Kesenian Ebeg sendiri memiliki makna atau penggambaran para prajurit yang gagah dan berani berada di atas kuda tunggangannya dan bergerak melawan musuh. Ketika gending banyumasan sudah mulai dibunyikan para penari akan bergerak mengikuti pola irama yang dihasilkan oleh gendhing dan gamelan pengiring.
Dalam pelaksanaannya yang paling dinanti oleh penonton pada kesenian ini adalah pada babak janturan. Babak janturan adalah babak dimana para pemainnya akan kerasukan oleh makhluk halus, saat dimasuki inilah para penari akan mulai kerasukan atau mendhem.
Dalam setiap kesenian yang ada tentu tidak lepas dari anggapan mistis masyarakat, termasuk dalam kesenian ebeg sendiri. Namun, dibalik hal tersebut ebeg memiliki nilai dan pesan moral yang luhur. Seperti yang dikutip dalam sebuah artikel seorang budayawan Imam Saefulloh mengatakan bahwa ebeg adalah ajaran yang dikemas oleh Kanjeng Sunan Kalijaga untuk menjadikan manusia sebagai manusia atau dapat disederhanakan menjadi memanusiakan manusia.
Hal itu dapat dilihat saat penari mendhem mereka akan berjalan dan menari secara tidak beraturan. Sedangkan apabila mereka menggunakan ebeg atau jaranan, maka mereka akan menari dan berjalan sesuai irama yang harmonis dan serasi.
Dalam hal ini jaran atau kuda diumpamakan sebagai ajaran, yaitu ajaran islam. Ingsun Sejatining Ana Ing Menungsa, sebuah makna ketauhidan yang luar biasa sekali. Tanpa ajaran Islam sebagai panutan dari jalan hidup setiap lakon maka manusia akan berjalan tidak terkendali dan tidak pada jalur yang telah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa
Dalam kondisi mendhem menunjukkan bahwa setiap pemain ebeg yang berpartisipasi merupakan seorang satria yang kuat, tangguh, dan berani. Setelah acara selesai, di akhir acara tetua adat bertugas untuk mengeluarkan indang dari dalam tubuh para penari.
Terlepas dari hal-hal mistis yang dapat atau tidak dapat dipercayai ini, kesenian ini merupakan warisan leluhur yang sudah seharusnya dilestarikan dan di uri-uri, agar kelak anak cucu kita masih tetap bisa menyaksikan kekayaan budaya daerahnya.