Jumat, 31/10/2025, 14:03:06
Universitas Harkat Negeri Kota Tegal Masukkan Novel Tegalan Lanang Setiawan ke Perpus Kampus
ATMO: LANANG ITU FENOMENA SASTRA DAERAH
LAPORAN IWANG NIRWANA

Staf Humas Universitas Harkat Negeri Tegal, Riky Ardiyanto membawa ketiga novel karya Lanang Setiawan di lobi kampus. (Foto: Dok/Iwang)

NUANSA baru hadir di dunia literasi kampus ketika Universitas Harkat Negeri membuat keputusan tak biasa: memasukkan karya sastra berbahasa dan berjiwa Tegal ke dalam perpustakaan mereka.

Kabar itu terkonfirmasi setelah Rektor Universitas Harkat Negeri Tegal, Sudirman Said, secara langsung membeli tiga novel karya penulis Tegal, Lanang Setiawan. Bukan sekadar aksi seremonial, tetapi bentuk pengakuan bahwa sastra daerah adalah bagian dari khazanah intelektual bangsa.

Menurut Sudirman Said, kampus tidak hanya mengoleksi buku berlabel internasional atau terbitan kota-kota besar. Bagi beliau, kekuatan sastra justru lahir dari keberanian penulis membawa identitas daerahnya ke dalam karya.

“Kalau kampus tidak membuka pintu bagi penulis dari daerah sendiri, lantas siapa yang akan menjadi rumah mereka?” ujarnya. Ia menegaskan bahwa novel Lanang Setiawan layak dipajang berdampingan dengan karya sastra nasional lainnya.

Tiga novel yang kini menjadi koleksi permanen kampus tersebut adalah Pasar Mitos, Jodoh Surgawi, dan Laki Pilihan -terbit tahun 2024-2025- dengan setting yang tidak biasa bagi penulis daerah: Prancis, Italia, Jerman, Belanda, hingga Rumania. Namun meski bernafas Eropa, aroma bahasa Tegal tetap menjadi ruh dalam dialog dan karakter di dalamnya.

Foto penyerahan buku juga telah beredar, memperlihatkan seorang staf humas Riky Ardiyanto membawa ketiga novel itu di lobi kampus yang modern dan ramah aktivitas akademik. Langkah kecil, tetapi simbol besarnya jelas: kampus memberi panggung pada sastra lokal.

Rektor berharap, pembelian ini menjadi pemicu lahirnya aktivitas literasi lanjutan -bedah buku, diskusi sastra, riset linguistik, hingga bahan skripsi mahasiswa. “Ekosistem literasi itu tumbuh kalau kampus berani memberi ruang kreativitas,” tuturnya.

Meski berbeda cerita, ketiga novel tersebut memiliki benang merah: Eropa sebagai panggung, Tegal sebagai suara yang berbicara.

Pasar Mitos menelusuri legenda-legenda Eropa sebagai industri wisata bernilai jutaan dolar.

Jodoh Surgawi berkisah tentang bangkitnya Kartika yang akhirnya diterbitkan di tujuh negara.

Laki Pilihan mengikuti pencarian pelukis yang hilang di Jerman dengan bahasa Indonesia, Inggris, Jerman, dan Tegalan berjalan berdampingan.

Ketika ditanya alasannya memilih Eropa, Lanang Setiawan menjawab: “Gedung tua, kanal air, menara jam, jalan berbatu, itu bahan cerita. Lewat buku, wong Tegal bisa dolan tanpa beli tiket pesawat.”

Baginya, sastra daerah tidak boleh menjadi pengemis di tanah sendiri—harus berani berdiri di panggung dunia.

Sementara Budayawan dan pengamat sastra Tegalan, Atmo Tan Sidik, ikut memberikan tanggapan:

“Lanang Setiawan itu fenomena. Dalam dunia sastra daerah, produktivitasnya tidak wajar -delapan novel dalam satu tahun. Itu angka yang biasanya hanya dimiliki penulis besar metropolitan. Dan ia bukan hanya penulis, tapi begawan Tegal yang membawa bahasa lokal ke ranah internasional.”

Menurut Atmo, Lanang bukan sekadar menulis cerita, tetapi membuktikan bahwa bahasa kecil pun dapat berbicara besar.

“Dialek Tegalan yang dulu dianggap hanya cocok untuk guyonan, kini masuk ke novel, ke perpustakaan kampus, sampai ke pembaca luar negeri. Itulah jejak pelopor,” tegasnya.

Pada akhirnya, tiga novel ini bukan sekadar buku yang disimpan di rak perpustakaan. Ia menjadi jembatan: dari Pantura ke Paris, dari Tegal ke Venezia, dari bahasa daerah ke panggung dunia.

Pembaca -mahasiswa, dosen, peneliti, maupun masyarakat umum- kini dapat meneliti, mengkaji, bahkan menjadikan karya lokal ini sebagai referensi akademik.

Sastra Tegal tidak lagi menunggu diundang. Ia sudah mengetuk pintu kampus, dan kini pintu itu terbuka.


 
Belum ada komentar untuk ditampilkan pada artikel ini.

Komentar Berita