Dr. Sunu Wasono saat berbicara pada Kongres Sastra Tegalan (Foto: Gaharu)
PanturaNews (Tegal) - Jika tahun 1994 disepakati sebagai kelahiran atau kebangkitan sastra Tegalan, maka usia sastra Tegalan kini sudah seperempat abad. Secara historis dua puluh lima tahun boleh dikatakan belum cukup tua bagi usia dan sejarah sebuah kesastraan.
“Namun, kalau dilihat dari kiprahnya, barangkali sudah cukup banyak yang diperbuat dan dicapai oleh sastra TegalanTegalan itu unik. Jadi harus lebih dikembankan,” kata Dr. Sunu Wasono saat menjadi pembicara pada Kongres Sastra Tegalan Ke-1 di Auditorium Universitas Pancasakti (UPS) Tegal Jalan Halmahera Kota Tegal, Jawa Tengah, Selasa 26 November 2019.
Dalam makalahnya dia menyampaikan, sejumlah karya (prosa, puisi, esei) telah terbit. Karya-karya itu telah tersebar dan dipertunjukkan lewat berbagai peristiwa seni (pembacaan puisi, pembacaan drama, musikalisasi puisi, monolog, pertunjukan wayang gletak). Perlawatan seni ke luar Tegal, seperti ke Solo, Indramayu, Semarang, dan Jakarta juga telah dilakukan.
Hal itu menunjukkan bahwa sastra Tegalan bukan sekadar ada, melainkan telah berperan aktif dalam kegiatan seni, khususnya kegiatan sastra. Penerjemahan puisi Tegalan ke berbagai bahasa asing kiranya juga menunjukkan betapa gigihnya para pegiat sastra Tegalan dalam memperkenalkan dan menyebarluaskan sastra Tegalan.
“Patut dicatat bahwa salah seorang pegiat sastra Tegalan, Lanang Setiawan, sudah memperoleh penghargaan Rancage. Penghargaan itu jelas merupakan bukti bahwa apa yang dilakukanya dalam kaitannya dengan sastra Tegalan, telah diperhitungkan dan diakui,” kata Sunu.
Selain Lanang Setiawan, ada sejumlah nama lain yang dengan caranya masing-masing telah mengharumkan nama sastra Tegalan. Mereka diantaranya Maufur, Tambari Gustam, Atmo Tan Sidik, Dwi Ery Santoso dan lannya.
“Barangkali secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam usianya yang belum cukup tua, sastra Tegalan telah menunjukkan potensi dan kekayaannya. Dengan potensinya itu, lewat para pegiatnya, sastra Tegalan telah menjelajah ke mana-mana sehingga dikenal di mana-mana,” uranya.
Dipaparkan Sunu, apa yang telah dicapai kiranya akan menjadi modal bagi para pegiat sastra Tegalan, untuk melangkah ke depan dalam menyongsong hari depan sastra Tegalan yang lebih moncer. Kalau pada hari ini penampilan sastra Tegalan tampak keren, apakah hal itu menjamin bahwa kelak sastra Tegalan akan tetap keren?
“Saya kira tidak semudah itu mengatakan pasti. Eksistensi dan kemajuan kesastraaan bergantung pada banyak hal. Produktivitas karya pada suatu waktu belum tentu dapat menjadi jaminan, bahwa berikutnya produktivitas itu akan bertahan atau meningkat. Dibutuhkan usaha untuk mempertahankan dan meningkatkan kemajuan,” tegasnya.
Sastra Tegalan, lanjut Sunu, tidak akan ada kalau tidak ada sastrawan dan pembacanya. Ke depan harus ada upaya yang dapat mendorong munculnya penulis-penulis dan pembaca sastra Tegalan. Jangan sampai sastra Tegalan krisis penulis, pembaca, dan kritikus.
Di sini pentingnya ada upaya regenerasi penulis dan pembaca sastra Tegalan. Regenerasi dapat dicapai melalui berbagai cara, seperti penyediaan media, penyelenggaraan lomba, penyelenggaraan pertunjukan, dan pemberian penghargaan kepada mereka yang berprestasi dan aktif dalam mengembangkan sastra Tegalan.
“Dari pegiat sastra Tegalan diharapkan ada kritikus yang memberikan ulasan terhadap produk sastra Tegalan. Apa yang sudah dilakukan oleh generasi sebelumnya, khususnya yang berasal dari Tegal, perlu ditulis,” tandasnya.
Diketahui, Dr. Sunu Wasono adalah dosen di Universitas Indonesia (UI) ini dilahirkan di Wonogiri pada 11 Juli 1958. Menamatkan pendidikan SD sampai SMA di Wonogiri, S1-S3 di FIBUI. Sejak 1987 mengajar di Prodi Indonesia FIBUI. Sejak 2016 menjadi Ketua Program Studi Indonesia FIBUI.
Menulis sejumlah artikel di koran, majalah, dan jurnal. Menerbitkan buku kritik Sastra Propaganda (2007) dan antologi puisi Jagat Lelembut (2017). Kini sedang menyiapkan penerbitan antologi puisi, antologi kritik dan esei, serta buku telaah tentang cerita lelembut.