Anggota DPR-MPR RI Fraksi PKS, Dr. Abdul Fikri Faqih
PanturaNews (Tegal) - Penyerapan aspirasi pada Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) dinilai tidak terlalu efektif. Untuk mengakomodir aspirasi masyarakat di tingkat bawah atau desa, kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota hingga provinsi tidak maksimal.
Demikian dikatakan Anggota DPR-MPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Dr. Abdul Fikri Faqih, MM pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dihadiri sedikirnya 200 anggota Pos Wanita Keadilan (PWK) PKS Kota Tegal, di Gedung Aisiyah Jalan Perintis Kemerdekaan Kota Tegal, Jawa Tengah, Jumat 27 April 2018 pukul 09.00 WIB.
“Sistem penyerapan aspirasi memang sedang dikeluhkan, sehingga MPR merespon dengan menggelar Rapat Dengar Pendapat. Tujuanya agar anggota MPR secara langsung menyerap permasalahan yang terjadi,” ujar Fikri Faqih yang juga Wakil Ketua Komisi X DPR RI ini.
Menurutnya, keluhan itu muncul karena Musrenbang dinilai tidak terlalu efektif dan maksimal, untuk kemudian mengakomodir aspirasi masyarakat di tingkat bawah atau desa, kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota hingga provinsi.
Musrenbang yang ujungnya menjadi dokumen Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Di daerah yaitu dokumen Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Sampai disini tidak terlalu banyak masalah, meskipun ada keluhan yang diundang dalam Musrenbang tidak mewakili semua komunitas, misalnya komunitas perempuan.
“Mestinya kalau mau Musrenbang ini lebih partisipatif, harus melibatkan semua elemen dan komunitas. Ini yang masih banyak dikeluhkan,” kata Fikri Faqih.
Dijelaskan, dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahunan selama ini memang tidak terjadi masalah, karena ini hanya menerjemahkan janji-janji kepala daerah saat kampanye. Dan ini tidak masalah Tapi problematikanya, adalah baik RKPD kemudian RPJMD, ternyata banyak yang tidak mengacu kepada Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP).
Inilah, lanjut Fikri Faqih, yang kemudian ada wacana kenapa tidak mengadopsi, atau kembali ke system lama yaitu Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Tapi karena GBHN dibuat menggunakan ketetapan MRR, sementara MPR sekarang sesuai dengan Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, sudah tidak punya kewenangan untuk menginterpretasikan kebijakan Pemerintah dalam perencanaan pembangunan.
“Lalu apakah DPR, atau apa?. Apa cukup dengan undang-undang? Ini yang sedang menjadi wacana, makanya forum-forum seperti RDP ini sangat perlu. Untuk selanjutnya perlu didiskusikan dengan kalangan akademisi,” jelasnya
Karenanya kata Fikri Faqih, untuk menjawab keluhan-keluhan itu, Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digagas MPR, menjadi salah satu cara menjawab kepada masyarakat. Dan PKS memberi perhatian kepada masalah-masalah itu, agar bisa mendengar langsung permasalahan yang ada di tengah masyarakat.
“Dengan banyaknya masalah yang muncul di masyarakat, memang faktanya pemerintah daerah sampai ke pusat kesulitan untuk mengakomodasi aspirasi-aspirasi dengan baik,” tegasnya.
Misalnya di kabupaten dan kota, karena keterbatasan anggaran ada aspirasi yang dihapus. Atau sudah ada pendataan, atau datanya sudah dimutakhirkan, ketika perencanaan kembali ke data lama. Padahal datanya sudah dimutakhirkan, tapi yang terjadi perencanaan program kembali ke data lama. Sasaran pembangunan itu-itu saja.
“Ini berarti ada problem di sistemnya. Sistemnya harus dibenahi. Kalau memang GBHN mau digunakan lagi, format regulasinya akan seperti apa, dan kalau dengan Undang-undang siapa pelaksananya, apa cukup Bapenas atau dengan DPR,” tandas Fikri Faqih.
Jadi ditegaskan Fikri Faqih yang mendesak adalah pembenahan sistem, sehingga aspirasi dari bawah, dari seluruh kalangan terakomodasi. Aspirasi yang muncul di masyarakat betul-betul terkonfirmasi dengan dokumen perencanaan. “Sehingga perencanaan program tidak itu-itu saja,” pungkasnya.