Selasa, 30/06/2020, 09:50:11
Menilik Permasalahan Sosial Dalam Buku Elegi Palastra
Resensi Buku Oleh: Amelia Yuliyanti

Judul Buku: Elegi Palastra. Penulis: Aristya Indah Astuti, Dkk.Penerbit: CV. Rumah Pustaka. Cetakan: Pertama, Januari 2020. Tebal: vi+ 237 Halaman. ISBN: 978-623-7673-86-6.

BUKU “Elegi Palastra” merupakan sebuah buku antologi cerpen nasional yang terdiri dari 51 judul cerpen, dan ditulis oleh penulis yang berbeda. Karena ditulis oleh penulis yang berbeda, tentunya cerpen-cerpen tersebut memiliki sudut pandang dan gaya penulisan yang berbeda pula.

Dari segi bahasa kata “elegi” memiliki arti syair atau nyanyian yang mengandung ratapan dan ungkapan duka cita, memang jika dilihat dari tema sebagian besar dalam buku antologi cerpen ini mengangkat tema kesedihan yang dialami oleh para tokoh.

Namun, diluar dari tema buku ini rupanya ada beberapa cerpen yang mencerminkan mengenai permasalahan sosial yang dibungkus dalam sebuah karya sastra. Kita ketahui bahwa sastra juga dapat mencerminkan sebuah realita kehidupan sosial yang dialami oleh suatu masyarakat tertentu.

Cerpen pertama yang mencerminkan suatu permasalahan sosial yaitu cerpen milik Umi Ula Romadhoni yang berjudul “Panggil Aku Parji”. Dalam cerpen ini mencerminkan permasalahan sosial di bidang pendidikan karena masalah ekonomi, yang dialami oleh tokoh Parji.

Parji adalah anak yang berumur 11 tahun akan tetapi di usianya yang seharusnya mengenyam pendidikan ia justru bekerja sebagai tukang semir sepatu. Hal ini terjadi lantaran orang tua parji memiliki permasalah ekonomi, sehingga proses pendidikan yang seharusnya Parji jalani menjadi terhambat.

“.... Jangan pula kau kira Parji mengemis meminta uang jajan setiap hari pada orang tuanya. Ini diluar dugaanmu. Parji adalah tukang semir sepatu yang datang ke sekolah setiap pagi hari untuk menyaksikan keriuhan sekolah saat matahari masih semangatnya bersinar.” (Halaman 9)

Kutipan di atas menunjukan bahwa setiap pagi Parji pergi ke sekolah untuk bekerja menjadi tukang semir sepatu bukan untuk sekolah. Selain permasahan tersebut rupanya dalam cerpen “Panggil Aku Parji” ini mencerminkan permasalahan sosial berupa perkelahian antar warga kampung. Sudah bukan hal yang baru lagi bahwa perselihan atau perkelahian antar warga terjadi di Indonesia yang dilatar belakangi oleh motif yang berbeda. Dalam cerpen ini  rupanya penulis mencerminkan permasalahan tersebut dalam cerpennya namun, penulis tidak menjelaskan pemicu dari perkelahian antar warga.

“Mak, Kampung kita rame banget ya, ada apa?” tanya Parji.

“Kampung kita sedang terjadi masalah dengan kampung sebelah, emak kemarin ketemu sama ibu-ibu katanya mau ada perlawanan dari kampung sebelah pagi-pagi,” jawab emak sembari mondar-mandir mempersiapkan makanan pagi. (Halaman 10)

Cerpen lain yang mencerminkan permasalahan sosial terdapat dalam cerpen berjudul “My Magic Diary” karya Edeline Felicia. Adapun permasalahan sosial yang tercermin berupa perundungan atau bully yang dialami oleh tokoh Mikael. Perundungan merupakan serangan secara fisik, verbal, psikologis, ataupun sosial.

Dalam cerpen tersebut perundungan yang tercermin berupa perundungan secara verbal, yang dilakukan oleh dua laki-laki terhadap Mikael. Perundungan tersebut dilatar belakangi lantaran Mikael yang di anggap temannya adalah siswa yang culun akan tetapi ia menyukai perempuan bernama Cindy.

“Ha.. ha.. ha dasar anak culun. Masih mau aja godain Cindy,” kata seorang laki-laki yang bernama Andi dengan tubuh tinggi dan bergaya preman. “Jangan mimipi lu bakal dapetin dia!”... Perkenalkan namaku Mikael Bima Putra, biasa dipanggil Mikael. Aku adalah anak culun yang menggunakan kacamata bulat. Dua laki-laki tadi adalah siwa-siwa preman yang sering ganggu anak culun sepertiku. (Halaman 61)

Tak hanya cerpen-cerpen tersebut dalam buku “Elegi Palastra” ini ada cerpen yang mencerminan mengenai permasalahan sosial yang diakibatkan oleh faktor psikologis. Permasalah ini tercermin dalam cerpen karya Fajar Purnama Sidik yang berjudul “Hai Nadia”. Cerpen ini mengisahakan seorang laki-laki yang bunuh diri karena kekasihnya meninggal dunia. Lantaran sangat mencintai kekasihnya si laki-laki tersebut mengalami depresi karena ditinggal oleh kekasihnya.  Sebab hal tersebut pula ia mengakhiri hidupnya agar bisa bersama lagi dengan kekasihnya.

“Bolehkah aku menyusulmu, Nadia? ... Dengan menaiki kursi, kau menggantungkan tali itu di tiang langit-langit.” (Halaman 7)

Meskipun buku “Elegi Palastra” terdiri 51 cerpen dan ditulis oleh penulis yang berbeda akan tetapi setiap cerpen memiliki pesan-pesan yang terkandung didalamnya. Cerpen-cerpen buku ini juga mengandung banyak nilai-nilai kehidupan yang disajikan dengan gaya bahasa yang menarik dan mudah dipahami oleh pembaca.

Akan tetapi, sangat disayangkan karena penulisan cerpen dalam buku ini sedikit kurang rapih. Misalnya untuk penulisan paragraf baru sebaiknya ditulis agak menjorok ke dalam, selain itu ada bebarapa cerpen yang paragrafnya itu terlalu panjang sehingga sedikit kurang mengenakan untuk dibaca. Terlepas dari hal itu buku ini sangat menarik untuk dibaca terlebih buku “Elegi Palastra” ini dibungkus dengan sampul yang sangat manarik.

(Amelia Yuliyanti adalah mahasiswi prodi Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Peradaban Bumiayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Memiliki hobi membaca buku, mendengarkan musik, dan menulis. Ia menyalurkan tulisannya dengan menulis artikel opini, cerpen dan puisi. Tinggal di Pagojengan, Kecamatan Paguyangan, Kabupaten Brebes. ameliayuliyanti25@gmail.com)

Tulisan dalam Kolom Opini ini adalah kiriman dari masyarakat. Segala tulisan bukan tanggung jawab Redaksi PanturaNews, tapi tanggung jawab penulisnya.

 
Belum ada komentar untuk ditampilkan pada artikel ini.

Komentar Berita