Sastra Tegalan bukan hanya ekspresi artistik, tetapi identitas linguistik yang memiliki struktur, estetika, dan nilai sosial yang kuat....
KOMUNITAS Sastrawan Tegalan (KST) tahun ini menapaki usia 31 tahun sejak kelahirannya pada 26 November 1994. Sejarah panjang itu bermula dari sebuah peristiwa penting: Ketika Lanang Setiawan menerjemahkan puisi “Nyanyian Angsa” karya WS Rendra ke dalam bahasa Tegal dengan judul “Tembangan Banyak.”
Terjemahan yang mengguncang ruang kesusastraan lokal itu berbunyi:
Majikan umah tlembukan
ngomong kambèn dèwèké:
“Wis rong minggu kowen mung
bisané ngatang-ngatang
tur larané tambah ndadi-dadi
ora ngasilna pisan
malah kowen karo aku utangé njeblug
kiyé nggawé mlarat tok
ngentong-ngentongna beras bibit
aku ora sanggup
saiki raimu lunga, mèrad kana”
(Malèkat sing nunggu sorga
rainé mbesengut ala pisan
kambèn nggegem pedang sing
kemerlob nggilani
nuding maring enyong nganti
enyong mengkirig panik
Maria Zaitun arané enyong
tlembuk kapiran kurang ayu radan tuwa)
Dari sinilah tonggak modernisasi Sastra Tegalan bermula, memantik munculnya gerakan yang berkembang menjadi tradisi kreatif selama lebih dari tiga dekade.
Selama perjalanannya, Sastra Tegalan menunjukkan vitalitas yang terus tumbuh. Ratusan karya lahir -puisi, cerpen, novel, wangsalan, folklor, film, hingga naskah drama sampak Tegal. Kiprahnya bahkan menembus dunia akademik dan telah menjadi mata kuliah di Universitas Pancasakti (UPS) Tegal.
Salah satu proyek besar yang kini digarap adalah penyusunan Al-Qur’an Tegalan, yang menghadirkan terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Tegal yang halus dan sesuai kaidah lokal.
Dalam usia yang ke-31 ini, Atmo Tan Sidik, budayawan dan salah satu pelaku awal gerakan sastra berbahasa Tegal, menyampaikan pandangannya.
“Yang kita rayakan bukan hanya lamanya usia, tetapi konsistensi bertahan dalam arus yang sering tidak ramah terhadap bahasa daerah. Sastra Tegalan ini hidup karena ada keberanian memakai bahasa sendiri, dan keberanian itu diwariskan dari generasi ke generasi.”
Hari Sastra Tegalan ke-31 akan digelar pada Rabu, 26 November 2025 pukul 19.30 WIB di Kedai Kopi PDKT, halaman Rumah Qur’an, Jalan Arjuna No. 65 Slerok, Kota Tegal. Konsepnya adalah unjuk gelaran serba Tegalan: baca puisi, wangsalan, dan monolog sebabak dalam bahasa Tegal.
Para penampil yang hadir antara lain Iwang Nirwana dengan monolog karya Lanang Setiawan; Apas Khafasi dengan puisi; Atmo Tan Sidik dengan wangsalan; Mohammad Ayyub membawa puisi Rolasan; serta Nurochman Sudibyo yang membacakan puisi karya Diah Setyowati.
Sastra Tegalan, sejak 1994, juga dikenal sebagai ruang inovasi. Dari sinilah lahir aliran-aliran baru seperti Wangsi, Kur 267, Puisi Tegalerin 2-4-2-4, hingga yang terbaru Puisi Rolasan. “Rolasan adalah aliran paling mutakhir yang tumbuh dari kegelisahan kreatif para penyair,” ungkap Mohammad Ayyub.
Di sisi akademik, Dr. Dina Nurmalusa -dosen Universitas Pekalongan sekaligus peneliti Sastra Tegalan- menegaskan pentingnya keberlanjutan gerakan ini. Disertasinya di Universitas Indonesia membedah puisi-puisi Tegalan karya anggota KST dan mengukuhkan posisi Sastra Tegalan sebagai objek kajian ilmiah yang kokoh.
“Bagi saya, Sastra Tegalan bukan hanya ekspresi artistik, tetapi identitas linguistik yang memiliki struktur, estetika, dan nilai sosial yang kuat. Tiga puluh satu tahun bukan usia yang pendek. Ini bukti bahwa bahasa Tegal mampu berdiri sejajar dengan bahasa daerah lain dalam medan kesusastraan Indonesia,” ujarnya.
Gelaran peringatan tahun ini menjadi ruang bertemunya para pelestari bahasa Tegal, para seniman, akademisi, dan generasi muda yang ingin menyaksikan bagaimana bahasa daerah terus bergerak mengikuti zaman.
Dengan semangat yang tak pernah padam, Sastra Tegalan diyakini akan terus tumbuh dan menerangi perjalanan budaya masyarakat Tegal pada tahun-tahun berikutnya.