Sabtu, 08/11/2025, 20:25:17
Antara Tahun 2025 dan Tahun 2100: Masihkah Nama Kita Disebut?
OLEH: YUNUS AL IMRON, S.Tr.K., SIK., MH
.

KETIKA waktu tak lagi menunggu. Di Manakah Kita di Peta Abad Ini? Sekarang kita hidup di abad ke-21. Kapan abad itu selesai? Tahun 2100 adalah batas akhir abad ini.

Waktu berjalan begitu cepat, seolah tak memberi jeda bagi mereka yang lalai. Namun pernahkah kita duduk sejenak, memejamkan mata dan bertanya: "Apakah kita akan sampai ke abad 22 ?"

Angka yang masih jauh di depan, namun sejatinya semakin dekat setiap hembusan napas. Jika kita kurangkan dengan tahun ini, 2025, tersisa sekitar 75 tahun. Lalu, tambahkan angka itu dengan usia kita sekarang. Masihkah nama kita disebut pada tahun itu?

Masihkah tangan ini menggenggam dunia yang kini begitu kita kejar? Ataukah hanya tinggal batu nisan dan kenangan samar yang tertinggal di benak anak-cucu kita? Renungkanlah.

Kita sering berlari mengejar dunia, seolah waktu akan menunggu kita. Padahal, setiap detik yang berlalu adalah langkah menuju akhir.

Allah telah berfirman:

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal saleh, dan saling menasihati dalam kebenaran serta kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr [103]: 1–3)

Waktu bukan sekadar hitungan tahun dan abad. Ia adalah saksi bisu atas setiap amal yang kita perbuat. Ia tak bisa dibeli, tak bisa dikembalikan, dan tak bisa diulang.

Rasulullah bersabda:

"Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara: hidupmu sebelum matimu, sehatmu sebelum sakitmu, luangmu sebelum sibukmu, mudamu sebelum tuamu, dan kayamu sebelum miskinmu." (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi)

Maka, sebelum waktu menutup buku kehidupan kita, renungkanlah: Apa yang telah kita persiapkan untuk hari ketika nama kita hanya tinggal di batu nisan? Apakah kita meninggalkan amal, atau sekadar penyesalan?

Mari jadikan sisa waktu ini bukan sekadar angka, tetapi makna. Bukan sekadar hidup lebih lama, tetapi lebih bernilai di sisi Allah. Karena abad akan berganti, generasi akan silih berganti, namun hanya amal baiklah yang abadi.

Banyak orang percaya bahwa ide-ide hebat datang dari momen inspirasi tiba-tiba. Namun penelitian dari University of California menunjukkan bahwa orang yang rutin mencatat ide memiliki 30 persen lebih banyak ide baru dibandingkan mereka yang hanya mengandalkan ingatan. Menulis bukan hanya menyimpan informasi, tetapi juga memperdalam cara otak memproses dan menghubungkan pengetahuan.

Kita sering mengalami momen ketika ide cemerlang muncul saat sedang mandi, berjalan, atau menjelang tidur. Sayangnya, ide itu hilang begitu saja jika tidak segera ditangkap. Dengan mencatat, kita memberi ruang bagi otak untuk melanjutkan proses berpikir dan mengembangkan ide tersebut menjadi sesuatu yang lebih matang.

-1. Mencatat Menghentikan Kebocoran Ide

Otak manusia bukan wadah tanpa batas. Penelitian psikologi kognitif menyebutkan bahwa memori jangka pendek hanya bisa menyimpan sekitar tujuh informasi sekaligus. Itu artinya, jika tidak dicatat, ide akan dengan mudah tergantikan oleh hal-hal sepele seperti pesan WhatsApp atau notifikasi media sosial.

Mencatat membuat ide berhenti menguap. Misalnya, seorang penulis yang mencatat kalimat atau analogi yang tiba-tiba terlintas akan memiliki bank inspirasi yang bisa digunakan ketika mood menulis datang. Tanpa catatan itu, ia harus mengandalkan ingatan yang sering kali tidak akurat.

Mencatat tidak harus rumit. Buku kecil, aplikasi catatan di ponsel, atau bahkan merekam suara bisa menjadi cara sederhana menyelamatkan ide sebelum hilang. Di Inspirasi filsuf, ada pembahasan menarik tentang bagaimana kebiasaan kecil seperti ini bisa mengubah cara berpikir kita dalam jangka panjang.

-2. Menghubungkan Ide yang Berbeda

Kreativitas sering kali lahir dari kemampuan menghubungkan dua hal yang tampak tidak ada kaitannya. Catatan berfungsi sebagai jembatan antara ide-ide lama dengan ide baru yang muncul.

Misalnya, kamu mencatat pemikiran tentang filosofi Stoikisme minggu lalu, lalu beberapa hari kemudian membaca artikel tentang manajemen stres. Catatanmu membantu mengaitkan keduanya sehingga tercipta konsep baru tentang cara mengelola emosi yang lebih praktis.

Menghubungkan ide seperti ini memperluas wawasan dan memicu kreativitas. Tanpa catatan, koneksi itu mungkin tidak pernah terjadi karena otak terlalu sibuk mengingat hal lain.

-3. Melatih Otak untuk Lebih Peka

Mencatat membuat otak berada dalam mode “pencarian ide”. Kamu jadi lebih peka terhadap hal-hal kecil di sekitar yang biasanya terlewat. Ini adalah bentuk selective attention yang membantu menemukan inspirasi di mana saja.

Contoh sederhana, seseorang yang sedang menulis buku tentang psikologi akan mulai melihat pola perilaku orang di sekitar lebih jelas karena ia terbiasa mencatat pengamatannya. Hasilnya, tulisannya menjadi lebih relevan dan otentik.

Kebiasaan ini juga memperkuat kepekaan intelektual. Kamu akan terbiasa menangkap celah pengetahuan atau pertanyaan kritis yang bisa dijadikan bahan riset di masa depan.

-4. Mengurangi Beban Kognitif

Banyak orang merasa kepalanya penuh ide tetapi sulit fokus. Ini terjadi karena otak bekerja terlalu keras menyimpan informasi sekaligus memprosesnya. Mencatat membebaskan kapasitas otak sehingga bisa berpikir lebih jernih.

Bayangkan seorang entrepreneur yang mencatat semua ide bisnisnya. Ia bisa meninjau ulang ide-ide itu dengan pikiran segar, menilai mana yang realistis dan mana yang harus ditinggalkan. Tanpa catatan, ia akan mudah merasa kewalahan.

Mengurangi beban kognitif juga membuat proses pengambilan keputusan lebih tenang karena kita tidak tergesa-gesa mengandalkan ingatan yang samar.

-5. Mendorong Refleksi Mendalam

Catatan memberi kita kesempatan untuk merenung. Menulis ulang ide membuat kita meninjau ulang apakah ide itu masuk akal, relevan, dan bisa diterapkan. Proses ini membuat wawasan menjadi lebih tajam.

Misalnya, seseorang mencatat opini setelah menonton debat publik. Saat membacanya kembali, ia mungkin menyadari bahwa argumennya terlalu emosional atau kurang data. Proses refleksi ini memperbaiki kualitas berpikir.

Mencatat juga membantu menghindari bias karena kita bisa melihat perubahan cara berpikir dari waktu ke waktu. Ini adalah cara halus untuk menilai perkembangan diri secara objektif.

-6. Menjadi Sumber Inspirasi Masa Depan

Banyak ide yang pada awalnya terlihat biasa saja, tetapi menjadi penting setelah waktu berlalu. Catatan yang disimpan bisa menjadi ladang inspirasi saat kita kehabisan ide.

Seorang musisi terkenal seperti Taylor Swift menggunakan catatan lagu lama yang tidak pernah dipublikasikan untuk menciptakan karya baru di kemudian hari. Hal serupa bisa terjadi pada siapa saja yang rajin mencatat.

Koleksi ide ini akan menjadi aset kreatif yang terus bertumbuh. Kamu tidak mulai dari nol setiap kali mencari inspirasi, tetapi tinggal membuka kembali apa yang sudah kamu simpan.

-7. Membentuk Identitas Intelektual

Kumpulan catatan dari waktu ke waktu mencerminkan cara kita berpikir dan berkembang. Ini membentuk identitas intelektual yang unik. Orang yang mencatat ide secara konsisten cenderung memiliki pandangan hidup yang lebih kaya dan terstruktur.

Sebagai contoh, seorang filsuf modern membangun teori baru dari catatan pengamatan sehari-hari. Dengan melihat pola pikir yang ia tulis bertahun-tahun, ia menemukan benang merah yang kemudian menjadi fondasi karyanya.

Mencatat adalah cara sederhana namun kuat untuk mengabadikan proses berpikir kita. Itu sebabnya banyak tokoh besar seperti Leonardo da Vinci atau Charles Darwin meninggalkan jurnal yang kini menjadi sumber inspirasi dunia.

Mencatat ide adalah investasi jangka panjang untuk kreativitas dan wawasan. Setuju tidak kalau kebiasaan ini bisa membuatmu selangkah lebih maju dari orang lain?

Tulisan dalam Kolom Opini ini adalah kiriman dari masyarakat. Segala tulisan bukan tanggung jawab Redaksi PanturaNews, tapi tanggung jawab penulisnya.

 
Belum ada komentar untuk ditampilkan pada artikel ini.

Komentar Berita