BEBERAPA minggu terakhir, jagat politik Indonesia kembali riuh. Reshuffle kabinet yang dilakukan Presiden Prabowo menjadi bahan obrolan di media, warung kopi, sampai grup WhatsApp keluarga. Nama-nama baru bermunculan, salah satunya yang paling disorot adalah penunjukan Menteri Keuangan.
Publik pun bertanya-tanya: apa makna di balik bongkar pasang kursi ini? Apakah reshuffle hanya sekadar strategi politik, atau ada pesan penting terkait pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam birokrasi?
Di balik sorotan politik, isu sebenarnya yang lebih mendasar adalah bagaimana Indonesia mengelola SDM aparatur. Karena tanpa SDM yang tepat, reshuffle hanya menjadi drama pergantian wajah tanpa perubahan nyata.
-Reshuffle dan Masalah SDM Birokrasi
Sejak lama, tantangan utama birokrasi kita bukan sekadar jumlah pegawai, melainkan kualitas dan distribusinya. Jurnal Reformasi Manajemen SDM Aparatur di Indonesia (Fathya, 2017) mencatat bahwa reformasi birokrasi yang dicanangkan lewat Road Map RB 2015–2019 sudah menargetkan perubahan besar: mulai dari rekrutmen berbasis kompetensi, merit system, hingga sistem reward dan punishment. Namun, implementasi di lapangan masih jauh dari ideal hingga sekarang.
Reshuffle kabinet menjadi momen penting karena posisi menteri bukan sekadar jabatan politik, melainkan motor penggerak kebijakan SDM. Contoh paling nyata adalah Kementerian PAN-RB yang berperan langsung dalam manajemen ASN. Jika pucuk pimpinan kementerian ini berganti tanpa arah jelas, reformasi SDM bisa stagnan atau bahkan mundur.
Lebih lanjut, riset Mulyani & Rulandari (2024) dalam Politeia Journal menegaskan adanya gap besar antara kebutuhan kompetensi digital dengan kemampuan ASN di era transformasi digital. Dengan kata lain, reshuffle tidak boleh berhenti di level simbolik, tapi harus menyiapkan talenta birokrasi yang melek digital dan siap menghadapi tantangan global.
-Kasus Nyata: Menteri Keuangan dan Narasi SDM
Dalam reshuffle terbaru, publik ramai membicarakan posisi Menteri Keuangan. Selama ini, kementerian ini dikenal sebagai salah satu institusi dengan birokrasi paling teknokratis di Indonesia. Mengelola keuangan negara memang soal fiskal, anggaran, dan ekonomi makro, tetapi pada dasarnya juga soal pengelolaan sumber daya manusia (SDM). Ribuan aparatur di bawah Kemenkeu adalah ujung tombak yang memastikan kebijakan berjalan efektif.
Karena itu, pergantian menteri tidak boleh hanya dilihat dari kacamata politik semata. Taufik (2021) menegaskan bahwa intervensi politik dalam jabatan publik sering kali menggerus prinsip merit system. Dampaknya, reformasi birokrasi bisa tersendat atau bahkan stagnan.
Publik kini menaruh harapan besar: apakah sosok baru di Kemenkeu mampu melanjutkan tradisi teknokratis atau justru terjebak dalam tarik-menarik kepentingan politik? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan arah manajemen SDM di salah satu kementerian paling strategis di Indonesia.
-Glass Ceiling Versi Birokrasi?
Menariknya, isu reshuffle kabinet juga bisa dipandang dari kacamata “glass ceiling” atau batas tak kasat mata dalam karier. Jika di dunia korporasi glass ceiling banyak dialami perempuan, di birokrasi Indonesia glass ceiling sering muncul karena kekuasaan politik. Banyak pejabat karier dengan rekam jejak mumpuni akhirnya terhambat karena jabatan strategis diisi lewat pertimbangan politik, bukan kompetensi.
Ini selaras dengan temuan Vita Nurul Fathya (2018) di Jurnal Ilmiah Kajian Keimigrasian, bahwa distribusi pegawai dan promosi jabatan di instansi pemerintah sering kali tidak sepenuhnya berbasis kinerja, melainkan dipengaruhi oleh “budaya lama” birokrasi. Dalam konteks ini, reshuffle bisa menjadi solusi bila berbasis meritokrasi, tapi juga bisa menjadi masalah bila hanya rotasi kekuasaan.
-Dampak ke Publik: Pelayanan dan Kepercayaan
Lalu, apa dampaknya bagi masyarakat biasa? Jawabannya jelas: besar. Kualitas SDM di kementerian menentukan mutu kebijakan yang pada akhirnya dirasakan langsung masyarakat.
Contohnya, ketika ASN tidak memiliki kompetensi digital, pelayanan publik jadi lambat dan membingungkan. Riset Mulyani & Rulandari (2024) menunjukkan bahwa transformasi digital ASN masih terbatas pada “digitisasi dokumen”, belum sampai ke pemanfaatan big data atau AI. Padahal, reshuffle seharusnya memicu percepatan digitalisasi SDM birokrasi agar pelayanan publik makin efisien.
Jika reshuffle gagal menjawab persoalan SDM, publik akan terus skeptis. Reshuffle hanya dianggap kosmetik politik tanpa manfaat nyata.
-Strategi ke Depan: Dari Reshuffle ke Reformasi
Ada tiga pelajaran penting dari reshuffle ini: -1. Bangun bank talenta ASN. Jabatan strategis harus diisi cepat dan tepat, tanpa tarik-menarik politik.
-2. Percepat digitalisasi manajemen SDM. Strohmeier (2020) menyebut digital HRM sebagai keniscayaan untuk rekrutmen, evaluasi, dan pelatihan yang transparan.
-3. Pastikan keberlanjutan kebijakan. Reshuffle boleh berganti wajah, tapi arah reformasi SDM harus tetap konsisten.
-Penutup: Reshuffle sebagai Cermin
Reshuffle kabinet memang selalu jadi peristiwa politik besar. Namun, bila dilihat lebih dalam, ia adalah cermin dari kondisi SDM birokrasi kita. Apakah kita serius membangun meritokrasi dan talenta digital? Ataukah kita masih sibuk dengan bongkar pasang kursi tanpa substansi?
Jika reshuffle kali ini gagal menjawab tantangan SDM, ia hanya akan menjadi drama rotasi wajah lama di panggung baru.
(Daftar Pustaka: Fathya, V.N. (2017) Reformasi Manajemen SDM Aparatur di Indonesia. [Online] Jurnal Reformasi Manajemen SDM Aparatur di Indonesia. Available at: https://ejournal.universitas.ac.id/index.php/rb. -Fathya, V. N. (2018). “Reformasi Manajemen SDM Aparatur di Indonesia” dalam APPARATUS HR MANAGEMENT REFORM IN INDONESIA. Jurnal Ilmiah Kajian Keimigrasian, Vol 1 No 1.
-Mulyani, S., & Rulandari, N. (2024). Comparison of Human Resource Management Characteristics between Public Sector and Private Sector in Indonesia in the Era of Digital Transformation. Politeia : Journal of Public Administration and Political Science and International Relations, 2(2), 116–128. -Strohmeier, S. (2020) Digital Human Resource Management: A Conceptual Integration. International Journal of Human Resource Management, 31(1), pp. 1–22. Available at: https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/09585192.2019.1587640. -Taufik, A. (2021) Reformasi Birokrasi: Belajar dari Upaya Reformasi SDM Aparatur di Indonesia. Jurnal Administrasi Publik, 9(3), pp. 77–92.)