Selasa, 27/05/2025, 08:47:09
Pancasila dan UUD 1945 Jadi Kompas Aktivis Dakwah, Fikri Tekankan Harmoni Beragama dan Bernegara
SOSIALISASI EMPAT PILAR KEBANGSAAN
LAPORAN SL. GAHARU

Anggota MPR RI, Dr. H. Abdul Fikri Faqih sosialisasi empat pilar kebangsaan di aula SDIT Binaul Izzah Bumiayu, Kabupaten Brebes. (Foto: Dok/Humas PKS)

PanturaNews (Brebes) - Ratusan aktivis dakwah di Kabupaten Brebes, mendapatkan pencerahan mendalam mengenai pentingnya empat pilar kebangsaan dalam aktivitas syiar agama mereka.

Dalam sebuah sosialisasi empat pilar kebangsaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang digelar pada Jumat 17 Mei 2205 di aula SDIT Binaul Izzah Bumiayu, Kabupaten Brebes, Anggota MPR RI, Dr. H. Abdul Fikri Faqih, M.M menegaskan bahwa Pancasila dan UUD 1945 harus menjadi landasan moral dan etika bagi setiap aktivis dakwah.

Fikri Faqih dalam paparannya, menjelaskan bagaimana Pancasila menjadi pedoman moral dalam berdakwah.

"Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, menegaskan pentingnya nilai-nilai keimanan dan spiritualitas dalam kehidupan berbangsa dan berdakwah," ujar Fikri yang juga anggota Komisi VIII DPR RI ini.

Hal ini sejalan dengan upaya aktivis dakwah dalam menyebarkan nilai-nilai kebaikan berbasis agama. Ia juga menekankan peran Pancasila sebagai penjaga persatuan di tengah keberagaman Indonesia.

Menurut Fikri, sila ketiga, Persatuan Indonesia, mengajak aktivis dakwah untuk memelihara ukhuwah (persaudaraan) lintas suku, agama, ras, dan golongan.

"Ini sangat penting agar dakwah tidak eksklusif, tetapi inklusif dan merangkul semua elemen bangsa," tegas legislator Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.

Lebih lanjut, Fikri menyoroti sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang menggarisbawahi pentingnya pendekatan dakwah yang humanis.

"Dakwah harus dilakukan dengan cara-cara yang beradab, tidak memaksa, dan menjunjung tinggi martabat manusia," jelasnya.

Ini merupakan fondasi bagi aktivis dakwah untuk menyampaikan pesan-pesan agama dengan hikmah dan kebijaksanaan.

Fikri juga mendorong aktivis dakwah untuk melihat Pancasila sebagai jembatan harmonis antara agama dan negara, bukan sebagai dikotomi. Ia menambahkan bahwa sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, mengajarkan pentingnya memperjuangkan keadilan sosial.

"Aktivis dakwah dapat menyalurkan perjuangan sosial mereka, misalnya pemberdayaan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan, dalam bingkai Pancasila," katanya.

Selain Pancasila, Fikri juga menguraikan makna UUD 1945 bagi aktivis dakwah. Ia menyebut Pasal 29 UUD 1945 sebagai jaminan kebebasan beragama.

"Bagi aktivis dakwah, pasal ini memberikan landasan konstitusional untuk menjalankan aktivitas dakwah mereka secara bebas dan tanpa diskriminasi," jelasnya.

Pembukaan UUD 1945 yang menyebutkan "Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa" juga menjadi penekanan.

Hal ini, menurut Fikri, menunjukkan pengakuan negara terhadap peran agama dalam kemerdekaan dan kehidupan berbangsa.

"Aktivis dakwah dapat menggunakan semangat ini untuk memperkuat nilai-nilai agama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara," imbuhnya.

Ia juga mengaitkan Pasal 33 dan 34 UUD 1945 yang mengatur perekonomian dan kesejahteraan sosial dengan tugas dakwah. Fikri menjelaskan bahwa pasal-pasal ini memberikan mandat bagi aktivis dakwah untuk turut serta dalam upaya mewujudkan keadilan sosial dan memberdayakan masyarakat, sejalan dengan nilai-nilai agama yang menekankan kepedulian terhadap sesama.

Terakhir, Fikri Faqih memaparkan relevansi Bhinneka Tunggal Ika. Aktivis dakwah, menurutnya, harus menyadari bahwa Indonesia adalah bangsa yang kaya akan perbedaan.

"Bhinneka Tunggal Ika mengajarkan untuk mengakui dan menghargai keberagaman ini sebagai sebuah keniscayaan dan kekayaan dari Allah SWT. Perbedaan bukanlah penghalang, melainkan potensi untuk saling melengkapi dan memperkaya," tegas Fikri.

Semboyan ini juga menjadi pengingat untuk meneguhkan persatuan di tengah perbedaan. Fikri mendorong aktivis dakwah untuk menjaga dan memperkuat persatuan melalui pesan-pesan yang inklusif, menghindari ujaran kebencian, dan mengedepankan dialog serta kerja sama antarumat beragama.

"Bhinneka Tunggal Ika mendorong aktivis dakwah untuk menyampaikan ajaran agama secara inklusif dan kontekstual. Dakwah tidak boleh menjadi alat untuk memecah belah atau mengucilkan kelompok tertentu," pungkasnya.


 
Belum ada komentar untuk ditampilkan pada artikel ini.

Komentar Berita