Ilustrasi
PanturaNews (Brebes) - Belakangan ini sebuah Lembaga Pendidikan mulai marak di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah (Jateng). Meskipun para siswa sedianya sudah diberi materi pelajaran oleh masig-masing guru sesuai bidangnya, namun tidak sedikit para siswa yang mengikuti bimbingan belajar/les di sebuah lembaga pendidikan non formal tersebut.
Itu lantaran karena para siswa beranggapan, bahwa materi pelajaran yang diberikan oleh guru di sekolahnya dinilai kurang maskimal. Pun demikian, para wali murid/orang tua tetap mendukung anak-anaknya untuk menambah jam pelajaran melalui bimbingan belajar/les.
Ironisnya, mereka justru lebih percaya anak-anaknya diberi materi pelajaran melalui guru pembimbing belajar di Lembaga Pendidikan non formal, ketimbang melalui guru di sekolah anaknya, meskipun status guru tersebut sudah banyak yang bersertifikasi.
Hal itu terungkap saat acara "Dialog Moci Bareng Karo Uwane" bersama Dewan Pendidikan Kabupaten Brebes mengenai mutu dan kualitas pendidikan di Kabupaten Brebes, di aula Dewan Pendidikan setempat, Rabu 29 Oktober 2014.
Kepala Bidang Pendidikan Menengah (Kabid Dikmen), Dinas Pendidikan Kabupaten Brebes, Budi Anjar, mengatakan pihaknya prihatin dengan mutu dan kualitas pendidikan di daerahnya diberikan guru di masing-masing sekolah.
Keprihatinan itu dilandasi karena banyak guru di daerahnya yang sudah memiliki sertifikasi, namun justru tidak memberikan jaminan bagi para siswanya untuk memahaminya dengan baik. "Ini saya rasa guru yang memiliki sertifikasi itu tidak menjamin kualitas dan mutu dalam memberikan pelajaran masih rendah. Beda dengan yang diberikan oleh guru pembimbing di Lembaga Pendidikan non formal," terang Budianjar, yang menjadi salah satu nara sumber dalam Dialog Moci Bareng Karo Uwane.
Menurut dia, faktor tersebut karena masih banyak guru bersertifikasi di Kabupaten Brebes yang enggan untuk mengikuti pelatihan-pelatihan atau seminar. Padahal, proses sertifikasi guru untuk bisa dikatakan profesional tentunya harus ada evaluasi, indikator yang harus nampak pada guru profesional.
Namun, fakta yang ada di lapangan, guru itu tidak bisa memberikan perubahan yang begitu terlihat. "Setelah guru dinyatakan lolos sertifikasi, apakah dia mau mengembangkan terus kemampuannya dalam mengajar atau mendidik? Hanya sedikit yang mau, misal dengan mengikuti seminar, workshop atau melanjutkan pendidikan formalnya.
Yang ada mereka berpikir, apa yang diinginkan sudah didapat ya sudah. Selain itu tentunya proses sertifikasi ini harus berkelanjutan, guru dikatakan profesional harus ada tenggang waktunya, misalnya dengan 3 tahun sekali diadakan evaluasi guru kembali. Kenyataannya tidak, hanya sekali dan berlaku untuk waktu sampai kapan tidak jelas," terangnya.
Senada dengan salah satu Pengurus Dewan Pendidikan Kabupaten Brebes, Iskandar. Menurut dia, program sertifikasi guru merupakan upaya Pemerintah guna meningkatkan kualitas guru dimana guru yang lulus sertifikasi dan mendapatkan sertifikat pendidik harus dapat memenuhi standar kompetensi guru yang telah ditentukan sebagai guru profesional.
Akan tetapi, lanjut Iskandar, berdasarkan telaah Bank Dunia terhadap pelaksanaan sertifikasi guru dari tahun ke tahun bahwa sertifikasi guru oleh pemerintah belum meningkatkan prestasi guru dan siswa secara signifikan. Sertifikasi guru hanya efektif meningkatkan minat kaum muda memilih pendidikan sebagai calon guru.
"Jadi, sertifikasi guru yang semestinya meningkatkan kesejahteraan dan kualitas guru agar terjadi peningkatan kualitas pendidikan di kelas dan sekolah ternyata tak berjalan seperti yang diharapkan. Prestasi siswa tak meningkat signifikan. Ironisnya, kini banyak sekolah-sekolah, khususnya sekolah kejuruan yang berdiri hanya dijadikan lahan bisnis atau mencari keuntungan pribadi atau golongan semata," tandasnya.