Hari Ulang Tahun Sastra Tegalan ke-31. Tuan Berpuisi: Hujan, Panggung, Lan Swara Tegalan
LAPORAN IWANG NIRWANA
Minggu, 16/11/2025, 13:29:18 WIB
Penyair Apas Khafasy dan sejumlah penyair membacakan puisi tegalan pada perayaan Hari Ulang Tahun Sastra Tegalan ke-31 di kawasan kuliner Ki Gede Sebayu, Slawi, Kabupaten Tegal, tepatnya di kedai “Tuan Besar Coffee”. (Foto: Dok/Iwang)

Bahasa Tegal yang dulu diremehkan, kini justru merambah dunia: masuk ke film, novel, antologi, dan diajarkan secara resmi di universitas...

PanturaNews (Tegal) - Sastra Tegalan kembali berdiri di panggung terhormat menjelang perayaan Hari Ulang Tahun Sastra Tegalan ke-31, Sabtu malam, 15 November 2025,

Acara digelar di kawasan kuliner Ki Gede Sebayu, Slawi, Kabupaten Tegal, tepatnya di kedai “Tuan Besar Coffee”. Gerimis yang turun perlahan, justru menjelma menjadi latar yang pas bagi sebuah perhelatan bertajuk “Tuan Berpuisi, Pagelaran Puisi Tegalan”.

Di bawah lampu-lampu temaram yang memantulkan titik-titik hujan, puisi, musik, dan seni panggung menyatu dalam satu tarikan napas: merayakan dinamika sastra daerah yang tak pernah padam.

Penyair Apas Khafasy memulai malam dengan tiga puisi. Dua di antaranya diambil dari antologi Republik Tegalan dan Sintren Dadi Ratu. Satu lagi, sebuah karya terbaru berjudul “Tuan”, ditulis spontan dan dibacakan langsung di atas panggung.

Sebelum membaca, Apas memanggil pemilik kedai untuk duduk di hadapannya. Sebuah adegan sederhana namun sarat makna: pertunjukan puisi bukan sekadar hiburan, melainkan perjumpaan budaya.

Dengan kupluk dan jaket hitam, Apas berdiri membawa secarik kertas. Suaranya yang tenang menembus rintik hujan:

/“Poma rong poma//Ora usah wareng//Tuan dudu Tuhan//Tuhan séjén karo tuan.”/

Ia kemudian membacakan puisi “Nging”, yang memotret trauma masa reformasi. Gambaran tentang kuping yang pecah dihantam gagang senjata membuat suasana mendadak muram, tetapi penuh kekuatan.

Monolog getir itu ditutup dengan puisi “Politik”, sebuah ironi tentang permainan kekuasaan yang kerap mengorbankan rakyatnya.

Usai Apas, aktor dan pegiat seni Iwang Nirwana tampil dengan monolog “Kena Tulahé Déwék” karya Lanang Setiawan. Pentas ini menggambarkan kegelisahan manusia modern di tengah ledakan kecerdasan buatan ketika robot bisa meniru cinta, menulis puisi, bahkan menciptakan patah hati.

Tokohnya melihat masa depan yang aneh: profesi manusia digantikan mesin, algoritma meniru rasa, sementara manusia justru makin asing pada dirinya sendiri. Di dalamnya muncul kisah Rangga, seorang pria yang patah arang karena cinta yang dikhianati. Ironisnya, pelariannya justru kepada robot yang pada akhirnya mati karena kehabisan daya.

Monolog ditutup dengan kalimat yang menghentak: “Senjata mangan majikan. Kena tulahé déwék.”

Hujan semakin deras, tapi tak satu pun penonton meninggalkan tempat. Suara hujan yang memukul atap justru memperkuat suasana pertunjukan seolah alam sendiri ikut menyimak.

Panggung kemudian diisi oleh pembacaan puisi “Kelon” oleh Dyah Setyowati, diikuti pidato kebudayaan Nurochman Sudibyo yang menyinggung tonggak lahirnya Sastra Tegalan oleh Lanang Setiawan sejak 26 November 1994.

Bahasa Tegal yang dulu diremehkan, kini justru merambah dunia: masuk ke film, novel, antologi, dan diajarkan secara resmi di Universitas Pancasakti Tegal. Bahkan ada upaya menerjemahkan bahasa Tegal ke dalam terjemahan Al-Qur’an.

Penyair Mohammad Ayyub, atau yang akrab disebut “Profesor Embé”, tampil membacakan pidatonya. Ia menceritakan perjalanan panjang puisi Tegalan hingga menembus panggung internasional bahkan tampil di Malaysia dalam festival lima negara. Puisinya juga menjadi satu-satunya karya berbahasa daerah yang dimuat dalam antologi penyair nusantara di Riau.

“Satu-satunya puisi berbahasa daerah dalam antologi nasional itu puisi Tegalan, dan itu karya saya. Luar biasa,” ujarnya bangga.

Sebagai pelopor Sastra Tegalan, Lanang Setiawan tampil memberikan refleksi yang membuat penonton terdiam dan kemudian mengangguk sepakat. Ia menjelaskan mengapa novel-novelnya banyak berlatar Eropa suatu keberanian yang jarang dilakukan penulis Tegal.

“Sastra Tegal perlu udara baru. Novelis Tegal jarang mengangkat setting Eropa. Saya ingin mewarnai novel-novel saya dengan suasana yang tidak biasa. Suasana Jerman, Prancis, Italia, Belanda, Rumania, dan Eropa lainnya.”

Pandangan itu mendapat sambutan hangat. Keberanian Lanang dianggap membuka kemungkinan baru: Sastra Tegalan tidak hanya tumbuh di tanah sendiri, tetapi siap menyeberangi batas budaya.

Hujan malam itu tak hanya menjadi latar, tetapi juga saksi. Bahwa Sastra Tegalan bukan sekadar bertahan ia tumbuh, melebar, dan menyalakan cahaya baru di panggung, di kepala para penonton, dan di masa depan yang terus diperjuangkan.