![]() |
|
|
“AKU hanya bisa menulis, terus menulis, makin sirna tangis.”
Eko Tunas, Airmata Palestina
Gaza kembali menjadi kuburan raksasa. Di tanah itu, manusia bukan hanya mati, tetapi dihapus dari peta kehidupan. Rumah-rumah runtuh, sekolah berubah jadi abu, dan bayi-bayi yang bahkan belum sempat mengenal dunia hangus terbakar oleh senjata yang diklaim lahir dari “peradaban.”

Dari Semarang, ratusan mil dari Gaza seniman multi talenta Eko Tunas menulis tiga puisi dalam antologi berjudul "Monolog M: Taman Manusia". Ia bukan saksi mata perang, tapi hatinya turut terkoyak oleh tragedi yang menodai nurani kemanusiaan. Puisinya menjadi jeritan lirih dari seorang penyair yang menolak diam ketika dunia justru tenang menonton kehancuran.
Tiga puisi yang ditulis antara akhir 2023 hingga awal 2024 ini tidak bicara strategi perang, ideologi, atau peta politik.
Yang ditulis Eko Tunas adalah luka -luka purba ketika manusia membantai manusia, dan diam menjadi sikap global paling berbahaya.
-1. Darah Palestina - 5 Januari 2024
"...Darah siapa mengalir di Gaza
Membeku di runtuhan dinding-dinding
Siapa bernyanyi pilu di balik kerudung
Jiwa kehilangan ribuan jiwa penuh tanya
..."
Puisi ini menyingkap perang yang kehilangan wajah manusia. Bukan lagi pertarungan antar negara , tetapi pembantaian terhadap ibu, anak, dan bayi. Dunia diam, bahkan merayakan kemenangan di ruang sidang.
Kata “kepentingan” di ujung puisi menjadi vonis moral bahwa segala penderitaan Gaza hanyalah buah dari ambisi yang dibungkus nama ideologi.
-2. Gaza Hidup Mati - 9 Desember 2023
"...Bombardirmu membuatku meringkuk di puing-puing Gaza
Mengapa pertemuan hanya ada di antara awan dengan awan…"
Dalam puisi ini, seakan tubuh penyair meringkuk di bawah reruntuhan, menyaksikan bagaimana teknologi dan sains yang diagungkan justru menjelma mesin pemusnah.
Kalimat bayi-bayi dilahirkan dan dihanguskan menjadi metafora paling getir modernitas ternyata tak menyelamatkan manusia, hanya memperhalus cara menghancurkannya.
-3. Airmata Palestina - 18 Desember 2023
"Aku akan terus menulis tentang Palestina
Kanak-kanak kehilangan orang-orang mencari anak hilang
Ibu-ibu menangisi bayinya yang mati dan hancuran rumah ditinggalkan…"
Dalam puisi ini, Eko Tunas menegaskan posisi penyair sebagai saksi: tanpa senjata, tanpa kuasa, tapi tidak tanpa suara.
Puisi menjadi bentuk perlawanan terhadap pelupaan arsip luka yang menjaga agar nurani tidak ikut mati.
Tiga puisi ini sederhana dalam bahasa, namun justru di situlah kekuatannya.
Eko Tunas tidak menyeru untuk memihak, tidak mengibarkan bendera apa pun. Ia hanya meminta kita melihat bahwa di balik istilah “perdamaian dunia” ada tubuh-tubuh kecil yang terbakar oleh senjata yang diklaim sebagai simbol kemajuan.
“Modernitas kini menciptakan kematian dengan cara yang lebih canggih.” catatnya dalam puisi Gaza Hidup Mati
Dalam tradisi sastra Indonesia, Palestina kerap muncul sebagai simbol perjuangan. Namun Eko Tunas menghadirkannya tanpa slogan. Ia menulis sebagai manusia yang bersaksi atas nestapa manusia lain.
Ketika dunia memilih diam, puisi-puisinya menjadi penanda kecil bahwa kemanusiaan belum sepenuhnya padam.
Dari Semarang ke Gaza, dari pena ke darah Eko Tunas menulis bukan untuk menghibur, tapi untuk mengingatkan: bahwa di tengah perang dan politik, yang terbakar bukan hanya tanah, tapi nurani manusia.
“Ketika dunia memilih diam, puisi menjadi satu-satunya cara untuk mengingatkan bahwa kemanusiaan belum mati.”