Panggung Politik Indonesia 2025: Menari di Bibir Jurang Perpecahan
.
Senin, 13/10/2025, 19:19:57 WIB

PER Oktober 2025, Indonesia tidak sedang baik-baik saja. Bangsa ini berdiri di persimpangan krusial, di mana takdir demokrasinya digantungkan pada tiga benang kusut: korupsi yang mendarah daging, politik identitas yang membakar nalar, dan ruang sipil yang makin menyempit.

Tiga penyakit ini saling berkelindan, membentuk lingkaran setan yang mengancam fondasi negara. Namun di tengah keputusasaan itu, masih ada seberkas cahaya -masyarakat sipil- yang menjadi harapan terakhir bagi kewarasan demokrasi kita.

-Korupsi: Kanker Kronis yang Tak Kunjung Sembuh

Mari kita jujur: korupsi di Indonesia sudah bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi bagian dari kultur kekuasaan itu sendiri. Ia menjalar dari ruang rapat parlemen sampai meja birokrasi paling bawah. Dampaknya tidak hanya pada hilangnya uang negara, tapi juga pada rusaknya kepercayaan publik terhadap institusi pemerintahan.

Undang-Undang Pemberantasan Korupsi memang ada, tapi sering kali hanya menjadi macan kertas. Implementasinya tumpul oleh patronase politik yang mengakar. Proyek infrastruktur mangkrak, bantuan sosial disunat, jabatan diperjualbelikan -dan rakyat yang jadi korban. Korupsi bukan sekadar tindakan individu, melainkan sistem yang merampas hak warga negara atas pendidikan, kesehatan, dan masa depan yang lebih baik.

Selama rantai ini tidak diputus dengan gebrakan serius dan keberanian politik yang nyata, demokrasi Indonesia akan terus berdiri di atas fondasi rapuh yang siap runtuh kapan saja.

-Politik Identitas: Bom Waktu di Ruang Digital

Di tengah ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah, politik identitas muncul sebagai senjata paling efektif sekaligus paling berbahaya. Isu suku, agama, dan ras kini menjadi komoditas politik yang laku keras untuk memobilisasi massa dan menekan lawan. Setiap kali sentimen ini dimainkan, luka sosial makin terbuka lebar.

Era post-truth memperparah semuanya. Di media sosial, narasi berbumbu emosi dan kebencian jauh lebih cepat viral ketimbang argumen rasional. Data dari berbagai lembaga riset komunikasi menunjukkan, hoaks dan ujaran kebencian dengan sentimen identitas adalah konten paling sering tersebar di platform digital. Algoritma memperkuat gelembung-gelembung realitas yang memisahkan kita dalam kubu “kami” dan “mereka”.

Polarisasi ini bukan hanya merusak debat politik, tapi juga menggerogoti tenun kebangsaan. Jika dibiarkan, bom waktu ini hanya menunggu detonator yang tepat untuk meledak.

-Masyarakat Sipil: Penjaga Gawang Terakhir Demokrasi

Namun di antara kegelapan itu, masih ada sekelompok orang yang menolak diam. Mereka adalah aktivis, jurnalis independen, akademisi, dan komunitas akar rumput yang terus memperjuangkan transparansi dan akuntabilitas.

Di tengah regulasi yang makin membatasi kebebasan berpendapat, mereka justru memanfaatkan ruang digital untuk bersuara, memobilisasi dukungan publik, dan menuntut pemerintah agar bertanggung jawab.

Aksi-aksi masyarakat sipil ini menunjukkan bahwa kesadaran demokrasi di Indonesia belum mati. Mereka adalah bukti bahwa perubahan tidak harus menunggu dari atas; bisa dimulai dari bawah, dari suara-suara kecil yang menolak bungkam. Demokrasi bukan sekadar pesta lima tahunan di bilik suara, tapi perjuangan panjang yang harus dijaga setiap hari.

-Arah ke Depan: Mencari Narasi Baru

Lalu, mau ke mana bangsa ini? Terus menari di bibir jurang, atau berani melompat mencari tanah yang lebih kokoh? Sudah saatnya Indonesia membangun narasi baru—yang tidak lagi berputar di sekitar identitas sempit dan politik elitis, tapi berfokus pada masa depan yang berkelanjutan.

Potensi energi terbarukan dan ekonomi hijau bisa menjadi titik temu baru yang menyatukan visi kebangsaan. Selain itu, reformasi otonomi daerah secara serius dapat memperkuat demokrasi di tingkat lokal dan membuka ruang partisipasi yang lebih luas. Dengan begitu, politik tidak lagi menjadi arena perebutan kuasa, melainkan ruang kolaborasi untuk membangun negeri.

-Penutup: Harapan di Tengah Kekacauan

Panggung politik Indonesia hari ini adalah drama besar antara penyakit lama dan harapan baru. Korupsi yang sistemik, politik identitas yang memecah, dan perlawanan gigih masyarakat sipil adalah bab-bab dari kisah yang sama: perjuangan mempertahankan akal sehat bangsa.

Pilihan kita sederhana namun menentukan -terus menari di bibir jurang perpecahan, atau bersama-sama membangun jembatan menuju masa depan yang lebih adil, transparan, dan berkelanjutan.