Program Makan Bergizi Gratis: Antara Cita-Cita Mulia dan Realita Kegagalan Sistemik
.
Senin, 13/10/2025, 19:00:35 WIB

PROGRAM Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diluncurkan pada 6 Januari 2025 oleh Presiden Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka, menjadi salah satu program sosial terbesar dalam sejarah Indonesia.

Dengan anggaran mencapai Rp71 triliun dan target 82,9 juta penerima manfaat hingga akhir 2025, program ini digadang-gadang sebagai solusi terhadap masalah stunting dan gizi buruk yang masih membayangi anak-anak Indonesia.

Namun, niat baik yang seharusnya membawa harapan baru bagi generasi muda justru berubah menjadi kekhawatiran nasional. Sejak awal peluncurannya, serangkaian kasus keracunan massal yang melibatkan ribuan siswa mulai bermunculan di berbagai daerah.

-Janji Mulia di Atas Angka Triliunan

Pemerintah menempatkan MBG sebagai prioritas utama dalam APBN 2025. Data dari Kementerian Keuangan mencatat bahwa hingga Juli 2025, program ini telah menjangkau lebih dari 7,3 juta penerima manfaat melalui 2.375 dapur komunitas gizi (SPPG) aktif di seluruh Indonesia.

Dampaknya di sisi ekonomi juga terasa. Menurut Sekretariat Negara, pelaksanaan MBG berhasil menciptakan 290 ribu lapangan kerja baru, terutama melalui keterlibatan UMKM dan dapur komunitas di daerah. Program ini juga diklaim akan membuka peluang hingga 1,5 juta tenaga kerja secara total.

Sayangnya, keberhasilan kuantitatif itu belum diimbangi dengan kualitas pengawasan yang memadai. Di tengah euforia keberhasilan angka, muncul tragedi yang mengguncang: ribuan anak justru mengalami keracunan setelah mengkonsumsi makanan dari program ini.

-Tragedi Keracunan Massal: Ketika Pengawasan Gagal

Data Badan Gizi Nasional (BGN) per 25 September 2025 menunjukkan angka yang mencengangkan: 5.914 kasus keracunan akibat makanan MBG. Laporan Kompas (22 September 2025) juga menegaskan bahwa jumlah korban bahkan bisa lebih dari 5.000 siswa, dengan kasus terbanyak di Jawa Barat.

Contohnya terjadi di SDN 3 Dukuh Sukoharjo, Jawa Tengah, pada Januari 2025. Sebanyak 40 siswa mengalami pusing dan muntah-muntah setelah menyantap menu MBG. Kasus ini hanyalah satu dari ratusan insiden serupa yang terjadi di berbagai provinsi.

Alih-alih menyehatkan, program yang dimaksudkan untuk memperbaiki gizi anak-anak justru menimbulkan ancaman terhadap hak dasar atas kesehatan dan keselamatan. Ironis, karena program ini dilahirkan untuk menjawab persoalan gizi buruk yang sudah lama menjadi perhatian nasional.

-Mengapa Program Baik Bisa Gagal?

Banyak analis menilai, kegagalan implementasi MBG bukan karena niat buruk, melainkan akibat sistem yang belum siap menghadapi skala program sebesar ini. Ada beberapa faktor utama yang membuat pelaksanaannya tersandung:

-1.Terlalu tergesa-gesa. Program dengan skala nasional seharusnya dirancang bertahap dengan sistem uji coba dan evaluasi. Namun MBG dipaksakan berjalan hanya dalam hitungan bulan, tanpa infrastruktur pengawasan yang memadai.

-2.Standar kebersihan dan keamanan rendah. Banyak dapur komunitas tidak memiliki protokol hygiene dan sanitasi sesuai standar. Ini membuka peluang kontaminasi makanan.

-3.Sumber daya manusia minim pelatihan. Banyak petugas dapur bukan ahli gizi atau tenaga pangan, melainkan relawan atau warga lokal yang mendapat pelatihan singkat.

-4.Pengawasan lemah. Ribuan titik distribusi makanan tersebar di seluruh Indonesia, namun sistem monitoring tidak mampu mengontrol kualitas produksi dan penyajian makanan secara real-time.

Hasilnya: rantai pasokan pangan rentan rusak, dan setiap kesalahan kecil di dapur bisa berubah menjadi bencana kesehatan di lapangan.

-Perspektif Warga Negara: Hak yang Terabaikan

Dalam konteks kewarganegaraan, kegagalan ini bukan sekadar soal administrasi. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, serta memperoleh lingkungan hidup yang sehat dan pelayanan kesehatan.”

Ketika ribuan anak jatuh sakit akibat program pemerintah, maka secara moral dan konstitusional, negara telah gagal melindungi hak dasar warganya.

Kebijakan publik seharusnya bukan hanya tentang target angka dan pencitraan politik, tetapi tentang jaminan keamanan dan tanggung jawab sosial.

-Luka yang Tak Terlihat: Trauma dan Hilangnya Kepercayaan

Kasus keracunan massal ini tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik anak-anak, tetapi juga pada psikologis dan kepercayaan masyarakat.

Banyak siswa menjadi takut makan di sekolah. Orang tua pun mulai ragu terhadap program pemerintah yang seharusnya menyehatkan anak-anak mereka.

Lebih jauh, kegagalan ini berpotensi menggerus legitimasi politik pemerintahan Prabowo–Gibran. Jika program prioritas nasional saja tidak bisa dijalankan dengan aman, bagaimana masyarakat bisa yakin pada janji-janji kebijakan lainnya?

-Perbaikan yang Mendesak: Dari Kuantitas ke Kualitas

Untuk mengembalikan kepercayaan publik dan memastikan tujuan mulia MBG tercapai, pemerintah perlu mengambil langkah konkret:

-Evaluasi total program. Hentikan sementara ekspansi MBG untuk melakukan audit menyeluruh terhadap sistem dapur komunitas dan rantai distribusi.

-Standarisasi ketat. Terapkan standar HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Points) pada seluruh dapur komunitas agar keamanan pangan terjamin.

-Pelatihan tenaga kerja. Pastikan setiap petugas dapur mendapat pelatihan khusus tentang gizi, sanitasi, dan keamanan pangan.

-Transparansi data. Publikasikan laporan keracunan secara rutin dan terbuka agar masyarakat tahu langkah apa yang telah diambil pemerintah.

-Kolaborasi lintas sektor. Gandeng universitas, lembaga riset, dan sektor swasta untuk memperkuat sistem manajemen makanan sehat dan aman.

-Penutup: Belajar dari Kegagalan

Program Makan Bergizi Gratis adalah ide besar dengan tujuan mulia. Namun, pelaksanaan yang terburu-buru tanpa sistem pengawasan yang matang justru mengubahnya menjadi ancaman bagi mereka yang seharusnya dilindungi.

Kita sebagai warga negara berhak dan wajib mengawasi jalannya kebijakan publik. Kritik bukan berarti menolak, tetapi bagian dari partisipasi demokratis agar kebijakan pemerintah benar-benar berpihak pada rakyat.

Tragedi keracunan MBG harus menjadi titik balik perbaikan sistem sosial Indonesia. Anak-anak bangsa tidak hanya butuh makanan bergizi -mereka juga butuh jaminan bahwa makanan itu aman untuk dikonsumsi.