![]() |
![]() |
|
PanturaNews - Unjuk rasa adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan aspirasi. Namun ketika kekecewaan berubah menjadi tindakan anarkis, pesan yang ingin disampaikan sering kali hilang.
Kasus pembakaran dan perusakan gedung pemerintahan DPRD dalam aksi demo bukanlah kemenangan rakyat, melainkan kerugian bersama.
Fasilitas Publik yang Hancur, Uang Rakyat yang Terbuang
Gedung DPRD maupun kantor pemerintahan dibangun menggunakan anggaran negara, yang bersumber dari pajak masyarakat. Ketika fasilitas itu dibakar atau dirusak, biaya perbaikan kembali akan diambil dari uang rakyat. Pada akhirnya, masyarakat sendirilah yang menanggung kerugian.
Pelayanan Publik Terganggu
Kantor pemerintahan bukan hanya sekadar bangunan, melainkan pusat layanan untuk warga. Ketika rusak akibat aksi anarkis, pelayanan seperti administrasi kependudukan, perizinan usaha, hingga rapat pembahasan kebijakan terhambat. Ribuan warga bisa terdampak hanya karena amarah segelintir orang.
Citra Daerah Tercoreng
Kerusuhan yang berujung perusakan menimbulkan citra negatif bagi daerah. Investor enggan menanamkan modal, wisatawan ragu berkunjung, dan akhirnya roda perekonomian lokal terhambat.
Aspirasi Terkubur di Balik Api
Ironisnya, tujuan utama demonstrasi untuk menyuarakan aspirasi justru tenggelam. Media dan publik lebih menyoroti kerusuhan daripada isi tuntutan. Alih-alih didengar, suara massa anarkis justru ditinggalkan.
Jalan Damai Lebih Mulia
Mengkritisi kebijakan pemerintah sah dan dijamin undang-undang. Namun, kritik akan lebih kuat jika disampaikan dengan damai, terorganisir, dan melalui dialog terbuka. Sejarah membuktikan, perubahan besar lahir dari gerakan damai, bukan dari kobaran api atau pecahan kaca.
Maka, siapa yang sebenarnya dirugikan? Bukan hanya pemerintah, tetapi seluruh masyarakat. Karena itu, setiap elemen bangsa harus belajar, bahwa aspirasi bisa disuarakan tanpa harus mengorbankan fasilitas publik, citra daerah, dan kepentingan orang banyak.