![]() |
![]() |
|
PanturaNews (Brebes) – Suara kayu terbakar dan sorak tuntutan terdengar memecah dinginnya malam di lereng Gunung Slamet. Di ruas jalan provinsi penghubung Sirampog dan Bumijawa, tepat di Dukuh Rembang, Desa Batursari, puluhan sopir truk duduk bersila di atas aspal yang dingin, Jumat malam (20/6/2025).
Mereka memblokade jalur logistik utama menuju pasar-pasar besar di Jawa Tengah. Api unggun menyala, menandai perlawanan yang telah lama dipendam.
Ini bukan sekadar aksi mogok. Ini adalah ledakan frustrasi dari para sopir truk yang selama ini menjadi tulang punggung distribusi hasil pertanian dari perbukitan Brebes selatan.
Mereka menolak keras penerapan Undang-Undang Over Dimension Over Loading (ODOL) yang mulai diberlakukan ketat tahun ini.
“Kalau aturan ini jalan terus, truk kami nggak bisa kerja. Kami tinggal tunggu waktu sebelum bangkrut,” ujar seorang sopir yang meminta namanya tak ditulis. Wajahnya tampak murung, tangan mengelus setir truk tua yang ia sebut "rumah kedua".
Efisiensi yang Dianggap Ilegal
Penerapan UU ODOL bertujuan menertibkan truk-truk bermuatan berlebih demi keselamatan jalan. Namun, di pegunungan seperti Brebes selatan, kenyataan jauh lebih rumit. Petani dan sopir angkutan bergantung pada truk-truk besar demi menghemat biaya distribusi hasil tani dari wilayah yang sulit dijangkau.
“Sekali angkut, bisa 5 ton sayur. Kalau harus pakai truk kecil sesuai aturan, ongkos bisa tiga kali lipat. Siapa yang mau tanggung?” keluh Karsidi, sopir rute Sirampog–Tegal, yang mengaku sudah 15 tahun hidup dari roda dan rem.
Masalahnya, banyak dari truk itu dimodifikasi agar mampu mengangkut lebih. Mereka menabrak batas dimensi dan kapasitas angkut, menjadikan mereka sasaran razia aparat. Para sopir menyebut aturan ODOL tidak mempertimbangkan kondisi geografis dan sosial mereka.
Malam Panjang Penuh Asap
Hingga pukul 22.00 WIB, aksi di Sirampog belum juga surut. Api unggun tetap menyala, sebagian sopir berjaga dengan matras seadanya.
Mereka menahan semua truk bermuatan sayuran dari luar daerah agar tidak melintas. Di jalur Kretek–Kaligua, Kecamatan Paguyangan, aksi serupa terjadi. Di sana, sweeping dilakukan terhadap kendaraan yang nekat melintas.
“Kami mogok total. Ini bentuk solidaritas. Kami tidak akan biarkan peraturan yang tidak adil mematikan rezeki kami,” kata salah seorang koordinator aksi yang enggan disebutkan namanya.
Mendesak Evaluasi: Keadilan bagi Lereng Gunung
Para sopir berharap pemerintah pusat, khususnya Kementerian Perhubungan dan Kementerian Pertanian, mengevaluasi pelaksanaan UU ODOL, terutama di daerah pegunungan yang tidak memiliki alternatif distribusi efisien selain truk bermuatan besar.
“Kami bukan kriminal, kami hanya butuh keadilan,” tegas seorang sopir sambil memandangi langit malam yang diselimuti asap.
Investigasi Tim PanturaNews menemukan bahwa tidak ada skema kompensasi atau bantuan adaptasi bagi para pengusaha angkutan kecil di wilayah ini. Tidak ada jalur distribusi alternatif, tak ada subsidi, bahkan minim dialog antara pemerintah daerah dan pusat. UU ODOL, bagi mereka, terasa seperti vonis mati.