![]() |
![]() |
|
KURIKULUM Merdeka yang diluncurkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi merupakan inovasi pendidikan yang bertujuan mendorong pembelajaran yang lebih fleksibel, berpusat pada murid, serta relevan dengan kebutuhan zaman.
Menurut Nadiem Makarim (2022), Kurikulum Merdeka hadir untuk menjawab tantangan dunia pendidikan yang terlalu birokrasi dan seragam. Ia menegaskan bahwa kurikulum ini memberikan kebebasan bagi guru dan sekolah untuk menyesuaikan proses belajar dengan kebutuhan siswa.
Salah satu ciri utama Kurikulum Merdeka adalah adanya Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila, yang bertujuan mengembangkan karakter dan kompetensi siswa melalui pembelajaran lintas disiplin.
Muhadjir Effendy (2021) menyatakan bahwa pendekatan ini penting untuk membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki nilai-nilai kebangsaan, gotong royong, dan kemandirian. Menurutnya, pembentukan karakter harus menjadi inti dari pendidikan masa kini.
Namun, implementasi kurikulum ini juga menghadirkan tantangan signifikan, terutama dalam hal kesiapan tenaga pendidik. Dr. Muhammad Ramli (2022), pakar kurikulum dari Universitas Negeri Jakarta, mengungkapkan bahwa banyak guru masih kesulitan memahami konsep pembelajaran diferensiasi dan proyek lintas tema.
Ia menambahkan bahwa transformasi kurikulum memerlukan pelatihan intensif dan pendampingan yang berkelanjutan agar tidak terjadi kesenjangan pemahaman dilapangan.
Menurut saya, pelatihan guru yang hanya bersifat teoritis tidak akan cukup. Guru perlu dibekali dengan pengalaman langsung melalui micro-teaching, praktik di kelas nyata, serta bimbingan rekan sejawat. Dengan demikian, guru lebih bisa percaya diri dan efektif dalam menerapkan Kurikulum Merdeka di sekolah mereka.
Di samping kesiapan guru, aspek keterlibatan orang tua dan masyarakat juga menjadi faktor penting dalam suksesnya Kurikulum Merdeka. Dr. Anita Lie (2022) dari Universitas Katolik Mendala menyebutkan bahwa kurikulum ini menuntut kolaborasi aktif antara rumah dan sekolah. Sayangnya, tidak semua komunitas memiliki literasi pendidikan atau waktu yang cukup untuk terlibat secara aktif dalam proses belajar anak-anak mereka.
Saya berpendapat bahwa keterlibatan masyarakat tidak akan maksimal tanpa dukungan infrastruktur yang memadai. Banyak sekolah, terutama didaerah tertinggal, belum memiliki akses teknologi atau sarana belajar yang menunjang pembelajaran kontekstual dan projek lintas disiplin. Hal ini membuat Kurikulum Merdeka sulit diterapkan secara merata dan justru bisa memperlebar kesenjangan pendidikan nasional.
Beberapa pihak juga mengkritisi bahwa penerapan kurikulum merdeka cenderung terburu-buru tanpa evaluasi mendalam. Profesor Suyanto (2022) dari Universitas Negeri Yogyakarta berpendapat bahwa inovasi dalam pendidikan harus dilakukan secara bertahap dan berdasarkan data empiris. Ia menekankan pentingnya pilot project dan uji coba yang menyeluruh agar implementasi tidak membingungkan para pelaksana di lapangan.
Sebagai penutup, Kurikulum Merdeka membawa semangat baru dalam dunia pendidikan Indonesia. Namun, seperti disampaikan oleh Dr. Arief Rachman (2022), perubahan kurikulum bukan hanya soal desain kebijakan , tetapi juga kesiapan semua elemen pendidikan: guru, orang tua, dan sistem pendukung.
Saya berpendapat bahwa Kurikulum Merdeka hanya akan berhasil jika diiringi dengan implementasi yang matang, pelatihan yang aplikatif, dan dukungan menyeluruh dari berbagai pihak. Jika tidak, kurikulum ini bisa menjadi beban baru alih-alih solusi pendidikan.