Mengkritisi Paradoks Pendidikan Indonesia
--None--
Senin, 01/05/2023, 18:46:07 WIB

Pengantar:

MENJELANG usia ke-78 negeri ini, hiruk pikuk dan dinamika peri kehidupan bangsa berjalan sangat luar biasa. Dikatakan luar biasa karena hampir semua aspek kehidupan bangsa dibangun dengan begitu cepat dan menghasilkan wujud, sebagian dapat dirasakan bersama dan sebagian menjadi PR bagi generasi berikutnya.

Aspek pendidikan salah satunya, menjadi aspek yang mengalami perubahan secara signifikan baik dalam konsep, pelaksanaan, maupun hasil yang diharapkan. Sungguh gerakan yang sangat luar biasa.

Kurikulum:

Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 dikatakan bahwa pendidikan adalah upaya sadar  dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara akif dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negaranya.

Dalam upaya mewujudkan manusia yang berkarakter sesuai harapan Kementerian Pendidikan telah menerapkan berbagai kurikulum, dan sejak negeri ini merdeka telah bergonta-ganti sekitar 12 kali. Indonesia telah banyak mengalami perubahan kurikulum, di antaranya kurikulum 1947, 1964, 1968, 1973, 1975, 1984, 1994, 1997, 2004, 2006, dan terakhir Kurikulum 2013 (Kurtilas).

Perubahan kurikulum sering dipengaruhi oleh faktor politik, dan tak jarang hanya sebagai kegiatan sebatas melaksanakan tugas bidang pendidikan yang telah diamanatkan kepada menteri yang baru, sehingga sering muncul “Ganti menteri ganti kurikulum” tanpa konsep yang jelas. Bongkar pasang kurikulum terkadang hanya menjadi simbol sebuah kekuasaan (rezim) dan lebih menekankan makna artifisial bukan makna substansial pendidikan.

Pada era sekarang ini, Kurikulum Merdeka (Kurikulum 2022) digunakan dalam mendidik anak negeri ini. Kurikulum ini belum bisa diberikan kritik secara komprhensif karena baru tahap uji coba.  Kurikulum ini diterapkan mulai dari TK-B, SD & SDLB kelas I dan IV, SMP & SMPLB kelas VII, SMA & SMALB dan SMK kelas X.

Mulai Tahun Ajaran 2022/2023 satuan pendidikan dapat memilih untuk mengimplementasikan kurikulum berdasarkan kesiapan masing-masing satuan pendidikan. Kurikulum ini memotivasi seluruh potensi dalam diri sekolah agar berkolaborasi memunculkan identitas dan karakteristik masing-masing satuan pendidikan, mirip dengan Kurikulum 2006 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau KTSP).

Sedangkan perbedaan antara kurikulum 2013 dengan kurikulum Merdeka antara lain bila  pembelajaran Kurikulum 2013 umumnya hanya fokus pada intrakurikuler atau tatap muka, maka Kurikulum Merdeka menggunakan paduan pembelajaran intrakurikuler (70-80% dari JP) dan kokurikuler (20-30% JP) melalui proyek penguatan Profil Pelajar Pancasila.

Karakteristik Pancasila pada kurikulum ini dieksplisitkan yang sebelumnya terdistribusi dalam silabus pembelajaran dan Standar Isi (Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar).

Das Sein-das solen:

Des, mari kita lihat fakta di lapangan, apakah gonta-ganti kurikulum membawa efek perubahan positif yang signifikan? Jawabannya: Tidak. Mengapa? Karena yang dibahas dalam setiap kali ganti menteri dan ganti kurikulum itu bukan substansi dasar pembangunan bidang pendidikan. Apakah substansi dasar pendidikan? Jawabnya: mentalitas manusia.

Pembangunan mentalitas hanya menjadi pemanis saja dalam setiap isi kurikulum, karena pada hakekatnya aspek mentalitas ini tidak tersentuh. Perubahan sikap, cara berpikir dan berpandang, serta budaya berpikir kritis dan demokratis tidak dijadikan muatan utama dalam pembelajaran, sehingga ukuran kesuksesan pembelajaran adalah angka-angka dan narasi semu yang menyesatkan, tidak menggambarkan perkembangan potensi diri siswa yang sesungguhnya.

Hal seperti tersebut di atas diperparah lagi dengan tidak sinkronnya cara berpandang masyarakat dan penyelenggara pendidikan. Masyarakat berpandangan bahwa tugas dan tanggungjawab pendidikan terletak pada sekolah-sekolah formal saja, sedangkan lembaga-lembaga pendidikan non formal (masyarakat) dan informal (keluarga) tidak terlibat di dalamnya.

Walhasil, apa yang dibelajarkan di sekolah seolah hancur oleh kejadian-kejadian dalam masyarakat, oleh ketidakpedulian masyarakat dan pemerintah. Sebagai contoh dalam pembelajaran kedisiplinan, ketika bapak dan ibu guru bersusah payah mendidik siswa agar disiplin masuk pagi pukul 07.00, maka siswa pun tunduk dan menjadi budaya disiplin di sekolah.

Namun apa daya, ketika siswa pulang dan menemui lampu merah di mana ada (banyak) pengendara main serobot dan tidak menghormati lampu lalu lintas, maka buyarlah seluruh pembelajaran kedisplinan di sekolah.

Begitu juga pelajaran tidak merokok agar siswa merokok di sekolah, maka di luar sekolah siswa akan menemui kejadian yang sama yang berbeda, yaitu merokok boleh koq kalo di luar sekolah tanpa peduli merokok merugikan orang lain yang berhak menghirup udara bersih.

Dan yang lebih parah lagi, contoh penanganan kasus korupsi yang tebang pilih di mana para koruptor dapat berbuat semaunya asal membayar tinggi para penegak hukum (hakim, polisi, dan jaksa) sehingga hukumannya menjadi lebih ringan, atau bahkan dibebaskan dengan menggunakan pasal-pasal karet.

Belum lagi masalah penggunaan HP yang telah menjadi budaya baru siswa sekarang, tidak ada regulasi yang tegas. Padahal efek negative penggunaan media komunikasi HP sangat luar biasa daya rusaknya. Siswa dapat menggunakan HP tanpa kontrol, baik kontrol waktu maupun kontrol konten.

Anak-anak yang telah kecanduan HP mampu memegang alat ini seharian, dan tidak ada upaya pemerintah untuk membuat regulasi masalah ini, meskipun korban kecanduan HP dan rusaknya moral akibat mengakses konten pornografi, radikalisme, intoleran, sadisme berjatuhan di mana-mana.

Contoh-contoh memprihatinkan di atas kini sedang terjadi, imbas dari pola pendidikan yang tidak sinergis dan tidak komprehensif, pada satu sisi membangun, namun pada sisi yang lain merobohkan. Dan hal ini terjadi terus-menerus, menjadikan pendidikan tidak memberikan efek positif yang mendasar bagi siswa, mereka menghadapi dua pendidikan yang saling bertolak belakang.

Artinya, antara apa yang dilihat oleh siswa (das sein)  dan apa yang seharusnya terjadi (das sollen) tidaklah nyambung. Beda nilai-nilai di sekolah, beda pula di rumah, nilai-nilai pendidikan berlawanan dengan yang diharapkan atau paradoks.

Penutup:

Pendidikan sesungguhnya adalah proses memanusiakan manusia. Proses ini harus terukur dan memberikan efek perubahan mental yang signifikan. Bila pembangunan bidang pendidkan tidak ada perubahan yang positif, maka patut diduga ada yang tidak beres dengan seluruh pemangku kebijakan baik itu pemerintah, masyarakat, guru, sekolah, maupun orang tua.

Mari berintropeksi, supaya hasil pembangunan pendidikan tidak berlawanan dengan tujuannya. Jangan sampai kita terjebak seperti dikatakan Didi Kempot almarhum, “tak tandur pari jebul tukule malah suket teki”. Matur nuwun.