![]() |
|
|
...munculnya aliran-aliran baru dalam puisi Tegalan sangat dipahami, karena orang Tegal itu memiliki jiwa kreatif...
PanturaNews (Tegal) - Sepak terjang Komunitas Sastrawan Tegalan (KST) dalam penerbitan buku-buku sastra berbasis basa Tegalan tidak pernah reda. Setiap tahun tidak kurang dari tujuh buku baik berupa novel, cerita-cerita tegalan, maupun puisi tegalan terus bermunculan.
Penerbitan buku-buku Komunitas Sastrawan Tegalan kali ini bersamaan dengan lahirnya aliran baru senyampang jagad sastra nasional saat ini tengah krisis akan genre baru. Justru di Tegal pekerja seni KST tidak pernah kering dengan munculnya aliran baru.
Kini kurang dari dua bulan (Januari-Februari) KST telah menerbitkan 6 judul buku baru, sekaligus memproklamirkan dua jenis aliran baru yang dinamai Puisi Rolasan dan Kur Balada.
Enam buku aliran baru yang diterbitkan KST pada Januari 2023, meliputi antologi bersama berjudul “Toleransi Langit Bumi Tegal” (Tegalerin 2-4-2-4). Mendominasi pada buku tersebut para penulis dari segenap karyawan jajaran Kemenag yang tersebag di wilayah Kabupaten Tegal. Masih dalam bulan yang sama terbit tiga buku antologi Kur 267 masing-masing “Saka Jawa Nembus Negeri Sebrang” karya Lanang Setiawan, “Gincu Abang Ngalap Berkah” karya Eppy Budi Prie, dan “Rejeki Lelakon Urip” karya Abdul Khalim.
Pada Februari 2023 KST menerbitkan kembali antologi puisi Tegalan sekaligus melahirkan dua aliran baru, dinamai Puisi Rolasan dan Kur Balada. Menyambut kelahiran aliran baru itu, KST menerbitakan antologi bersama bertajuk “Rolasan Puisi Tegalan” dan antologi Kur Balada “Kitab Begawan” karya Lanang Setiawan.
Menurut Ketua KST, Dr. Maufur, Senin kaemarin, munculnya aliran-aliran baru dalam puisi Tegalan sangat dipahami, senyampang orang Tegal itu memiliki jiwa kreatif penuh inovatif.
“Sudah menjadi ujaran di masyarakat Tegal memiliki jiwa kreatif penuh inovatif. Sebagai salah satu kota di wilayah Jawa Tengah, Tegal banyak disebut sebagai “Kota Laka-laka”.
Laka-laka dalam pengertian tiada duanya. Sedangkan dalam obrolan budaya, “Tegal Ana-ana” atau “Ana-ana baé”. Pendek kata di kota Tegal ini serba ada,” katanya mengutip dari buku “Republik Tegalan Antologi Puisi” terbitan Balai Bahasa Jawa Tengah, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2018.
Ditambahkan, dengan munculnya berbagai aliran baru dalam puisi Tegalan, Maufur sangat memahami mereka yang tergabung dalam KST adalah para penyair kreatifitas dan produktivitasnya cukup tinggi.
“Wajar kalau kemudian mereka menelorkan aliran baru dalam puisi Tegalan, senyampang mereka adalah orang-orang kreatif dan selalu menjunjung tinggi derajat bahasa Tegal,” tegasnya.
Sementara Tirto Suwondo, peneliti dari Balai Bahasa DIY justru kagum dengan gerakan yang dilakukan para seniman yang tergabung dalam KST.
"Tanpa menafikan mereka yang mapan di tempat/ruang lain, sastrawan yang kini tetap mukim di Tegal agaknya telah membuat “ke-gila-an” tersendiri. Coba bayangkan. Kurang dari tiga tahun (2019–2021) mereka, yang rata-rata bergulat dalam dua-bahasa (Indonesia dan Jawa-Tegalan), berhasil memproklamasikan tiga model yang diklaim sebagai Genre Baru Puisi Tegalan.
Pertama, Wangsi, yakni puisi hasil perpaduan antara wangsalan (cangkriman, parikan?) dan puisi; kedua, Kur 267, yakni kemasan puisi pendek berbahasa Tegalan (yang diserap dari model Haiku Jepang) yang “setiap larik/barisnya hanya 2 suku kata, 6 suku kata, dan 7 suku kata”; dan ketiga Puisi Tegalerin, yakni puisi hasil perpaduan jenis puisi dari dua negara yang berbeda (Puisi Jawa-Tegalan-Indonesia dan Soneta-Italia) yang terdiri 4 bait, 12 baris, dan berpola 2-4-2-4.
Sungguh itu tindakan yang berani dan “gila”, bahkan boleh dibilang “terlalu berani” atau “terlalu gila” sebagai ungkapan decak kagum," ujarnya saat menjadi narasumber pada acara peluncuran dua buku Puisi Tegalerin 2-4-2-4 di Kampus Universitas Bhamada, Kabupaten Tegal.
Ditambahkan lebih lanjut, dengan tegas Tirto mengatakan, klaim Genre Baru Puisi Tegalan oleh Lanang Setiawan dan kawan-kawan itu sah kehadirannya, sama sahnya ketika Serat Rijanto (R.B. Soelardi, 1920) diklaim sebagai genre baru novel Jawa modern, atau geguritan “Kowe Wis Lega?” (St. Iesmaniasita, 1954) yang diklaim sebagai genre baru puisi Jawa yang benar-benar modern dan terbebas dari tradisi.
"Atau, jika kita tengok perkembangan sastra Indonesia, hal yang sama tampak pada klaim tentang “kebaruan” Puisi Mbeling oleh Remy Silado mulai 1974 di Majalah Aktuil, kebaruan Teater Sampakan model Gandrik Yogyakarta yang memberi ruang penonton aktif dalam pentas, atau ketika Chairil Anwar, Iwan Simatupang, Danarto, Putu Wijaya, Linus Suryadi AG, dan Budi Darma yang diklaim sebagai sastrawan pembawa corak baru dalam sastra Indonesia. Analog dengan fakta itu jelas bahwa klaim lahirnya Genre Baru Puisi Tegalan menjadi sebuah keniscayaan," tuturnya.
Sementara itu kata Ahmad, salah satu anggota KST yang sehari-harinya menjabat Kepala SMA Negeri 1 Kramat, Kabupaten Tegal, aliran baru Kur Balada merupakan bentuk gabungan dari jenis Puisi Tegalan bernama Kur 267.

“Dinamai Kur Balada minimal memuat 4 karya Kur 267, jenis puisi pendek yang dirangkai menjadi narasi bercerita tentang perjalanan manusia, sebuah tragedi, unsur ketuhanan, estetika biografi, autobiografi, maupun nuansa alam, dan seterusnya,” katanya.
Ditambahkan, dia sendiri bermintat ingin menelorkan Kur Kinanthi. Terimpirasi dari salah satu tembang mocopat. Pola tuangnya persis tembang Kinanthi hanya pada Kur Kinanthi menggunakan disiplin basa Tegalan sama seperti menulis puisi Tegalan.
“Kalau tembang mocopat menggunakan bahasa Jawa wetanan. Kur Balada berdisiplin menggunakan basa Tegalan seperti halnya menulis Puisi Tegalan. Jadi genre puisi Kur 267 ini semakin berkembang ke mana-mana sebagai bentuk menghargai bahasa Tegal agar terus melejit dalam khazanah sastra Tegalan,” katanya yang lebih lanjut menyambut baik munculnya aliran baru bernama Kur Balada.
Senada dengan mereka, Nur Fitriani, anggota DPRD Kota Tegal, mengapresiasi apa yang dilakukan teman-teman penyair dari KST.
“Saya mengapresiasi apa yang dilakukan teman-teman penyair dari Komunitas Sastrawan Tegalan giat berkreasi dalam membumikan sastra Tegalan khususnya puisi. Karena dari yang saya dengar dan ikuti di media cetak maupun online, kreatifitas mereka terus bergerak dengan ide-ide baru.
Langsung maupun tidak langsung, mereka telah mengangkat marwah basa Tegal tidak lagi terpinggirkan,” ujar Nur Fitriani juga Ketua PAN Kota Tegal saat memberi testimoni dalam buku “Rolasan Puisi Tegalan”.