Sudah Dihapus, Tapi Masih Dipertanyakan
--None--
Minggu, 19/12/2021, 10:48:30 WIB

SAAT momen pembagian raport anak pasti ada pertanyaan wajib yang sering kali diajukan wali murid kepada guru kelas. Pertanyaanya, yakni anak saya rangking berapa?

Tradisi itu terus berlangsung turun temurun. Maka dari itu hingga saat ini masih ada saja orang tua yang mempertanyaakan tentang rangking. Sistem pendidikan zaman dahulu yang menjadikan rangking sebagai tolak ukur kepintaraan anak.

Realitanya masih banyak orang tua yang belum bisa memahami jika kemampuan dan karakter tiap anak itu berbeda. Kadang orang tua masih menganggap anak yang memiliki prestasi akademik atau memiliki rangking tinggi akan dikatakan pintar. Dan sebaliknya anak yang tidak mendapatkan rangking akan dicap sebagai anak yang tidak pintar.

Perlu digaris bawahi tidak ada anak yang bisa pintar disegala bidang. Ada anak yang lebih pintar di bidang seni namun di bidang hitung-hitungan ia lemah atau sebaliknya. Setiap anak punya bakat dan bidangnya masing-masing. Rangking memang bisa menjadi motivasi belajar namun tidak banyak siswa yang menjadikannya sebagai motivasi.

Sebernarnya berdasarkan sistem raport k13 tidak boleh mencantumkan rangking atau boleh dibilang sudah ditiadakan. Namun masih saja ada orang tua yang meminta guru kelas untuk membuat sistem rangking. Dengan adanya sistem rangking secara tidak langsung mengajarkan anak untuk berkompetisi sejak usia dini.

Adanya sistem rangking juga akan membuat anak merasa tidak nyaman. Anak akan merasa tertekan dan stress karena ia akan merasa kalah bersaing dengan temannya. Mungkin inilah salah satu faktor penyebab yang membuat negeri ini susah maju.

Pada dasarnya belajar itu bukan untuk membandingkan satu siswa dengan siswa lain. Tapi lebih ke bagaimana siswa memahami materi dan ilmu. Sebaiknya orang tua lebih memahami apa yang menjadi hakikat tujuan belajar. Yakni siswa mampu mempelajari keterampilan dan pengetahuan tentang materi, sehingga bisa menerapkan konsep yang sama.

Dan sikap pribadinya dapat berkembang dan dapat digunakan dalam kehidupan. Itulah yang lebih penting daripada sekedar rangking. Pembelajaran itu tidak hanya ada pengetahuan saja tetapi ada aspek lain yang perlu diperhatikan. Menurut Benjamin S Bloom; pembelajaran itu memiliki tiga dimensi yakni kognitif, afektifm dan psikomotorik.

Rangking hanyalah angka dan data kuantitatif. Selain itu nilai rangking tidak selamanya bisa menunjukan kevalidan tingkat pencapaian tujuan belajar siswa siswi. Realitanya memang bukan hal yang mudah untuk membandingkan satu siswa dengan siswa lain yang mencakup seluruh aspek potensi, kemampuan, dan keterampilan anak. misalnya anak yang memiliki kemampuan tinggi pada pelajaran sains akan sulit dibandingkan dengan siswa yang memiliki kemampuan dibidang musik atau bahasa.

Sistem rangking memaksa anak untuk ‘sama’ disemua bidang. Analoginya seperti kita menyuruh gajah, monyet, buaya, kerbau, angsa untuk memanjat pohon. Siapa yang bisa memanjat pohon mendapat predikat paling pintar. Hal itulah yang membuat potensi, bakat, dan pola pikir tidak berkembang.

Selain itu anak akan berorientasi pada hasil saja tanpa memperhatikan proses. Jika seperti itu bisa saja mendorong anak berani untuk mencontek demi mendapatkan nilai yang bagus

Pada sistemn pendidikan saat ini sudah dengan tegas dan jelas menegaskan bahwa semua anak itu cerdas atau pintar. Tidak ada anak yang bodoh. Semunya tergantung si anak mau mengembangkan potensi atau tidak. Karena sejatinya Tuhan tidak menciptakan sebuah produk gagal. Semua anak cerdas di bidangnya masing-masing.

Bagi guru sebaiknya jika ada orang tua yang menanyakan rangking jangan berikan berupa angka. Katakan saja pada orang tua anak mereka pintar melukis dan menggambar atau pandai menari atau bisa juga anak bapak pandai bermain sepak bola. Lebih  baik tanamkan sejak dini nilai-nilai karakter pada anak. untuk membekalinya menghadapi kehidupan.

Sebagai orang tua sebaiknya Anda selalu mendukung potensi yang dimiliki anak tanpa menekankan si anak harus peringkat sekian. Agar anak mampu mengenali dirinya sendiri. Biarkan anak tumbuh dan berkembang sesuai keinginannya. Jadilah orang tua yang open mindset!