![]() |
![]() |
|
PERNAHKAH kita menolong orang lain karena rasa empati yang kita miliki? Kapan sekiranya kita merasa berempati kepada orang lain? Apakah selama ini kita sudah cukup berempati?
Berbicara mengenai empati, sejatinya semua orang memiliki empati dalam dirinya, namun tingkat empati masing-masing orang berbeda. Empati berkaitan erat dengan kepedulian terhadap orang lain. Empati menempatkan seseorang di dalam hubungan sosial dengan orang lain. Sebenarnya apa si empati itu?
Empati ialah bentuk respon sikap (afektif) maupun pemikiran (kognitif) yang kompleks terhadap distres emosional orang lain. Dengan kata lain, empati adalah kemampuan untuk ikut merasakan keadaan dari segi emosional orang lain dan ingin mencoba ikut menyelesaikan masalah yang dihadapi orang lain (Wikipedia).
Saat seseorang menunjukkan empatinya ia akan terlibat baik secara emosional maupun fisik dalam masalah yang dihadapi orang yang diberinya empati. Biasanya hal-hal yang membuat seseorang berempati adalah hal yang berlawanan dengan kondisi ideal yang diharapkan. Misalnya kemiskinan yang melanda sebagaian orang. Orang-orang yang kaya atau lebih berada bisa memiliki empati terhadap orang-orang miskin atau yang berkekurangan. Idealnya demikian.
Namun, pada kenyataannya tak sedikit atau bahkan banyak orang yang mengesampingkan rasa empatinya demi kepentingan diri sendiri. Egoisme berperan dalam pertarungan melawan empati. Mengapa demikian? Manusia diciptakan dengan ego untuk memikirkan kepentingan diri sendiri.
Sebetulnya, memiliki ego itu bukanlah kesalahan tetapi sebuah kodrat manusia. Akan tetapi, manusia memiliki tugas untuk bisa bijak dalam mengelola ego yang dimiliki. Karena ketidakbijaksanaan seseorang dalam mengelola ego dapat menghancurkan orang itu sendiri.
Berempati itu penting, bukan hanya untuk orang lain yang kita berikan empati tetapi juga untuk diri sendiri. Perduli terhadap orang lain itu sama pentingnya dengan peduli dengan diri sendiri. Pembahasan ini mungkin akan rentan dalam segi pemahaman.
Sebab, antara menyayangi diri sendiri dengan egois akan sedikit sulit untuk dibedakan. Sehingga problematika tersebut akan menentukan sikap empati seseorang. Baru-baru ini, banyak orang menggaungkan pernyataan bahwa orang itu harus bisa menyayangi diri sendiri.
Memang betul demikian. Sebuah keharusan bahkan kewajiban bagai seorang manusia untuk menyayangi diri sendiri. Namun, ada sebuah garis tipis yang perlu diperhatian dengan seksama antara menyayangi diri sendiri dengan egoisme.
Bagaimana si bedanya antara menyayangi diri sendiri dengan egoisme? Menyayangi diri sendiri adalah bentuk perhatian diri terhadap kebutuhan diri sendiri baik jasmani maupun rohani sehingga membuat diri tetap sehat dan sejahtera jiwa dan raga, dengan cara yang dibenarkan oleh hati nurani dan keyakinan yang dianut atau agama, serta aturan masyarakat tempat kita tinggal atau yang kita ikuti.
Poin penting dari pengertian tersebut terletak pada cara yang digunakan untuk menyayangi diri sendiri yaitu yang dibenarkan oleh hati nurani dan keyakinan yang dianut atau agama serta aturan masyarakat tempat kita tinggal atau yang kita ikuti. Di sinilah letak perbedaannya dengan egoisme.
Egoisme tidak mengenal cara benar atau pun salah. Egoisme menempatkan diri sendiri di prioritas tertinggi tanpa adanya batasan. Egoisme bisa menghalalkan segala cara termasuk cara-cara yang mungkin merugikan orang lain. Egoisme tidak mengenal empati.
Padahal manusia sebagai makhluk sosial harus bantu membantu dan peduli dengan sesama. Sesungguhnya kebaikan atau perhatian yang kita berikan kepada orang lain kelak akan kembali pada diri kita sendiri. Berempati terhadap orang lain itu penting. Manfaat berempati diantaranya yaitu menyehatkan hati nurani.
Pada prinsipnya hati nurani kita diciptakan untuk menebarkan kebaikan. Suatu perbuatan yang dilakukan berdasarkan hati nurani akan menyehatkan hati kita. Hati yang sehat dapat menciptakan kebahagiaan. Maka dari itu, berempati menjadi sebuah kebutuhan demi diri sendiri pada akhirnya.
Lalu, manfaat lain dari berempati adalah meringankan beban orang lain. Ketika kita berempati artinya kita memahami masalah orang yang kita beri empati. Kehadiran empati kita sedikit banyak berpengaruh terhadap orang yang kita beri empati.
Jika kita tidak bisa memberikan solusi, setidaknya dengan kita yang mengerti masalah orang tersebut, bisa membuat orang itu tidak merasa sendirian. Kemudian, manfaat lainnya, berempati dapat menumbuhkan jiwa sosial. Saat jiwa sosial kita terpelihara dengan baik, etika akan mengikuti, etika lalu mampu menciptakan kepribadian yang baik dan sehat.
Ingatlah bahwa ketika kita berempati kepada orang lain, suatu ketika orang lain juga akan berempati kepada kita. Bukan perihal siapa yang di atas dan siapa yang dibawah, empati adalah perihal uluran tangan saat dibutuhkan. Keadaan sulit tidak selalu sesuatu yang dinilai rendah.
Jangan pernah menilai bahwa saat kita bisa berempati berarti kita sedang berada di atas, dan orang yang kita beri empati sedang berada di bawah. Keadaan hanya tengah membutuhkan kerja sama. Kelak ketika berbalik maka tidak akan ada ketidaknyamanan menerima maupun memberi empati kepada orang lain.
Tunjukkanlah empati kita pada orang yang membutuhkan. Berikan dalam bentuk yang kita punya atau mampu berikan. Sesungguhnya sekecil apapun bentuk empati, bermanfaat bagi penerima empati. Indahnya hidup saling peduli bisa kita wujudkan bersama.
Pada kondisi seperti saat ini, empati sangat diperlukan. Setelah datangnya pandemi yang berdampak kepada semua orang tanpa terkecuali, menimbulkan banyak kesulitan. Terutama bagi masyarakat menengah ke bawah. Sehingga lebih banyak orang membutuhkan uluran tangan.
Maka dari itu bagi kita yang mampu membantu, jangan tunggu nanti saat harta atau apa pun milik kita lebih. Selama itu masih cukup untuk dibagikan, maka lakukanlah. Jangan pernah turuti egoisme. Ia hanya akan merugikan kita. Lihatlah kabar berita orang-orang yang hanya memikirkan egoisme, misalnya para penimbun masker atau bahan pokok yang kemudian menyulitkan orang lain.
Saat ketahuan, bukankah mereka merugi karena barang-barangnya di sita dan ia pun mendapatkan sanksi etika dari masyarakat. Jangan pernah berbahagia di atas penderitaan orang lain.
Sesungguhnya kebahagiaan yang demikian bukanlah bahagia tapi rasa lapar yang tidak ada habisnya. Cukupkanlah ketika kita bisa berbahagia bersama meski dengan sedikit hal yang bisa dinikmati.