Sumpah Pemuda dan Nasionalisme di Masa Kini
--None--
Kamis, 28/10/2021, 22:24:07 WIB

HARI Sumpah Pemuda merupakan salah satu peringatan hari bersejarah bagi bangsa Indonesia. 73 tahun silam, tepatnya pada tanggal 28 Oktober 1928, para pemuda dari berbagai organisasi kedaerahan berkumpul dan mengadakan rapat yang menghasilkan sebuah ikrar.

Ikrar inilah yang menjadi awal mula berbagai kaum atau golongan bersatu untuk memerdekakan Indonesia. Ikrar tersebut yang kemudian dikenal sebagai Sumpah Pemuda. Dalam rangka memperingati hari  Sumpah Pemuda, perlu dipahami dulu makna dari Sumpah Pemuda.

Sumpah Pemuda menekankan pada rasa persatuan dan kesatuan sebagai bangsa Indonesia. Perbedaan seharusnya tidak menjadikan Indonesia terpecah belah.  Beragam perbedaan ras, suku, agama, budaya maupun bahasa di Indonesia telah dapat dipersatukan dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika.

Hans Kohn (1984: 11) berpendapat bahwa nationalism is a state of mind in which the supreme royalty of individual is felt to be due the nation state. Nasionalisme merupakan paham yang memandang bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Nasionalisme juga berarti semangat kebangsaan. Individu dengan rasa nasionalisme yang tinggi memiliki kesadaran akan berbangsa dan bernegara. Nasionalisme inilah yang dibutuhkan untuk menjaga persatuan dan kesatuan Indonesia.

Sebelum adanya Sumpah Pemuda, rakyat Indonesia masih belum bersatu dalam berjuang melawan para penjajah. Baru pada tahun 1908, muncul Boedi Oetomo yang didirikan Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Dr. Sutomo. Kelahiran Boedi Oetomo menyebabkan mulai munculnya kesadaran untuk bersatu melawan penjajah, sehingga berdirilah organisasi-organisasi pergerakan lainnya.

Kemudian pada tahun 1928, organisasi-organisasi pemuda berkumpul dan menyelenggarakan Kongres Pemuda Kedua. Kongres ini dilaksanakan tiga kali di tiga gedung yang berbeda pada tanggal 27 dan 28 Oktober 1928. Kongres Pemuda Kedua inilah yang kemudian menghasilkan Sumpah Pemuda.

Para pemuda yang berasal dari berbagai organisasi seperti Jong Java, Jong Sumatera, Jong Celebes dan organisasi lainnya bersatu dan akhirnya menghasilkan sebuah ikrar yang menyatukan keberagaman menjadi bertumpah darah satu yaitu tanah Indonesia, berbangsa satu yaitu bangsa Indonesia dan adanya bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia.

Adanya kesadaran untuk  menyatukan bangsa pulalah yang membuat para pemuda Indonesia dulu berkumpul dan menghasilkan ikrar yang disebut Sumpah Pemuda. Pada masa sekarang setelah kemerdekaan Indonesia, generasi selanjutnya tidak perlu lagi mengangkat senjata dan berperang melawan penjajah.

Namun, generasi selanjutnya masih perlu mempertahankan kemerdekaan dan juga persatuan sehingga Indonesia tidak akan terpecah belah nantinya. Oleh karena itu, penting adanya upaya untuk memperkuat rasa nasionalisme.

Nasionalisme pada masa kini tidak lagi menghadapi tantangan penjajahan seperti pada masa pra kemerdekaan atau pemberontakan  pasca kemerdekaan dan G 30/S PKI. Generasi muda sekarang hidup di era globalisasi dan perlu menghadapi tantangan globalisasi.

Globalisasi membawa banyak perubahan dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan yang begitu cepat serta semakin mudahnya seseorang dalam mengakses informasi dan berkomunikasi. Meskipun memiliki dampak positif tetapi juga membawa dampak negatif. Krisis moral terjadi saat globalisasi membawa pengaruh yang mengakibatkan mulai lunturnya nilai-nilai tradisional yang menjunjung moralitas.

Begitu pula krisis pada nilai-nilai nasionalisme. Begitu besar pengaruh globalisasi terhadap perubahan pola pikir generasi muda, hingga melahirkan generasi yang apatis atau tidak peduli akan nilai-nilai nasionalisme (Widiyono, 2019:14).

Tantangan dalam krisis nasionalisme ini membutuhkan  upaya dan peran berbagai pihak dalam menghadapinya. Semangat nasionalisme perlu ditanamkan pada generasi muda yang merupakan generasi penerus bangsa.

Pendidikan adalah salah satu sarana dalam menanamkan semangat nasionalisme ini. Melalui pendidikan, nasionalisme dapat ditumbuhkan sejak dini pada generasi muda sehingga tidak mudah tergerus arus globalisasi.

(Ratih Ayu Silviari adalah Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Peradaban Bumiayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Email: ratihayu755@gmail.com)