![]() |
|
|
Penulis kira pelemahan terhadap gerakan masyarakat sipil dan individu-individu yang kritis terhadap kebijakan pemerintah atau lingkungan sekitar adalah sebatas perasaan personal saja, tetapi ketika penulis perlahan mencoba mendalami tentang fenomena serupa, ternyata pelemahan terhadap gerakan dan sikap kritis nyata adanya.
Berangkat dari kejadian politisasi kampus di Universitas Peradaban pada tahun 2016, penulis menyaksikan sendiri betapa egoisnya pihak kampus atas sikap kritis yang dinyatakan secara tegas oleh beberapa mahasiswanya. Dengan jelas, pihak kampus secara terbuka meminta kepada mahasiswa yang menolak politisasi kampus untuk dihentikan.
Sebetulnya, penolakan atas politisasi kampus di Universitas Peradaban bukan tidak beralasan. Pasalnya, sebelum kedatangan mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) simbol partai politik seperti bendera masuk ke sekitar wilayah kampus. Terpasang dengan jelas di beberapa titik ruas jalan menuju kampus banyak bendera partai politik berkibar, hal ini lah yang memicu sebagian mahasiswa menolak kampus dijadikan ajang untuk dipolitisasi.
Penulis menyaksikan betul bagaimana upaya pihak kampus menghentikan sikap kritis yang ditunjukan, sebelum kedatangan SBY terjadi perdebatan panas antara mahasiswa dan pihak kampus. Sampai pada kesimpulan mahasiswa tetap akan menolak setiap kegiatan yang mengarah pada politisasi kampus dengan mengadakan aksi penolakan.
Tidak hanya dari pihak kampus, upaya pelemahan terhadap gerakan dan sikap kritis mahasiswa pun dilakukan oleh aparat pemerintah. Sesuatu yang diluar nalar, bagaimana aparat pemerintah menjemput paksa para mahasiswa di rumahnya masing-masing untuk kemudian ditekan untuk menghentikan penolakan.
Ada salah satu mahasiswa yang didatangi aparat lalu membawa bapaknya dengan mobil polisi ke kampus, hal ini tentu ditujukan untuk melemahkan gerakan dengan tekanan yang mulai ditujukan kepada pihak keluarga mahasiswa yang menolak politisasi kampus.
Dari peristiwa diatas, penulis semakin yakin bahwa upaya pelemahan terhadap sikap kritis nyata adanya. Hal ini juga diperkuat oleh catatan harian HAM Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) tahun 2020 yang berkaitan dengan hak atas kebebasan berekspresi, kontras menemukan bahwa sepanjang desember 2019 – November 2020 telah terjadi 300 peristiwa pelanggaran, pembatasan, ataupun serangan terhadap hak atas kebebasan berekspresi.
Menurut KontraS fenomena pelanggaran terhadap hak atas kebebasan berekspresi selama satu tahun terakhir tidak hanya terjadi di ruang-ruang fisik, namun juga di ruang digital melalui berbagai kasus peretasan, intimidasi, doxing, sampai penyiksaan di ruang siber terhadap individu maupun kelompok yang menyampaikan kritik, mengadakan diskusi, atau mempublikasikan berita yang memprotes dan mengkritisi kebijakan pemerintah.
Menurut catatan KontraS, dari Desember 2019 sampai November 2020 terdapat setidaknya 17 kasus pembungkaman siber terhadap baik individu, lembaga situs media, maupun forum diskusi. Enam dari tujuh belas kasus tersebut disertai ancaman, teror, intimidasi dan penangkapan terhadap korban.
Selain itu, terdapat sedikitnya 3 kasus doxing (penyebarluasan informasi pribadi dengan tujuan menyerang individu yang informasinya disebarkan) yang umumnya dialami oleh jurnalis. Maraknya serangan siber ini dipersepsikan oleh masyarakat sebagai upaya untuk memberikan rasa takut, serta intimidasi untuk tidak mengkritisi kinerja dan kebijakan pemerintah.
Baru-baru ini, di lingkungan Universitas Peradaban juga terjadi pembubaran diskusi yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Al Ghazali Bumiayu. Puluhan mahasiswa yang tergabung sebagai peserta diskusi terpaksa membubarkan diri.
Pembubaran diskusi terkait Menyoal Kontroversi Tes Wawasan Kebangsaan KPK yang terjadi di halaman parkir Universitas Peradaban Bumiayu pada hari Minggu 20 Juni 2021, telah mencoreng kebebasan berserikat dan berkumpul. Seperti dijamin oleh UUD 1945 Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 18 ayat (1) UU No.20 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak Sipil dan Politik, dan bertentangan dengan UU Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Pembubaran diskusi juga bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) UU No.20 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak Sipil dan Politik. Pasal 18, berbunyi: “Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, bernurani dan beragama.”
Peristiwa yang terjadi di lingkungan Universitas Peradaban Bumiayu seperti dijalskan diatas, menjadi peringatan tersendiri atas diberangusnya kebebasan mahasiswa untuk berserikat dan berkumpul. Sebab, menurut Pasal 1 angka 6 UU HAM, pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang.
Padahal UU Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Pasal 8 (1), menegaskan “Dalam penyelenggaraan Pendidikan dan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan.”
Dalam menerapkan kebebasan akademik tersebut, pimpinan perguruan tinggi wajib melindungi dan memfasilitasinya. Sebab hal ini sesuai dengan Pasal 8 ayat (3) UU Dikti berbunyi:
“Pelaksanaan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan di Perguruan Tinggi merupakan tanggung jawab pribadi Sivitas Akademika, yang wajib dilindungi dan difasilitasi oleh pimpinan Perguruan Tinggi.”
(Hana Raihanah Mumtazah adalah Mahasiswa Universitas Peradaban Bumiayu Kabupaten Brebes, Jawa Tengah)