Mengusik Eksistensi Lagu Genjer-Genjer Berdasarkan Pengalaman Pribadi
--None--
Senin, 18/01/2021, 16:59:18 WIB

SALAH satu hal yang paling membuat saya bahagia di awal tahun 2021, adalah menemukan dan mendengarkan sepenggal lirik musik jawa yang sangat indah nan merdu, di salah satu beranda platform sosmed saya, sebut saja Tiktok.

Genjer-genjer nong kedokan pating keleler. Emak'e thole teko-teko mbubuti genjer” begitulah kiranya lirik yang saya dengar. Sontak dalam benak pikiran saya termenung dengan sendirinya, jikalau lagu ini di putar saat pagi hari ditemani secangkir teh manis lengkap dengan panorama sawah-sawah hijau akan terasa lebih nikmat.

Alunan instrumen harmonika dan aroma kental yang berbau-bau musik tempo dulu pada intro nya semakin membuat hasrat saya bergairah. “kapan lagi nemu lagu jadul bernuansa jawa yang melow gini tanpa di koplo” ujar lirih hati saya.

Sifat acuh tak acuh atau bodo amat (sebutan bahasa gaulnya) terkadang menjadi kepolosan yang terbawa ke alam sadar saya.  Berjam-jam saya scroll beranda sosmed, hampir isinya semua tentang lagu “Genjer genjer”.

Hal itu terjadi mungkin karena merupakan bagian dari gerak algoritma platform tersebut yang bekerja sendirinya, dengan menampilkan konten yang serupa dengan salah satu konten yang paling banyak interaksinya dengan pengguna.

Konten video yang paling sering berinteraksi dengan saya memang tentang genjer genjer itu. Alasannya karena berbagai akun sosmed pengguna lain yang menampikan video dengan backsound lagu genjer genjer selalu saya like, share dan terkadang di stalking. Hingga sampai pada satu video dengan musik genjer genjer yang menjadikan sifat bodo amat saya waras dan tidak kambuh.

Nah, dari situlah kerangka berpikir saya mulai aktif kembali menjadi radikal dan kritis, setelah hampir sekian jam terhipnotis oleh sifat bodo amat.

Lambat laun saya mulai mencoba menempuh jalan kritis untuk menganalisis sendiri musik yang begitu mempesona ini secara komprehensif dengan mencari sisi historis dan makna misteri yang tersemat di dalamnya.

#1 Memahami Isi Konten Secara Mandiri

Terkadang karakteristik netizen Indonesia dalam mencerna berbagai informasi media selalu saja menggunakan asumsi dasar seenaknya sendiri tanpa di selingi data dan bukti yang validitas, hingga membuang waktu emasnya untuk berpikir rasional. Meskipun demikian, masih banyak yang mengimplementasikannya dengan dalih menguji kemampuan otaknya.

Iseng-iseng saya aplikasikan cara ini dengan coba mencerna isi videonya yang di dalamnya terdapat tulisan “POV : Lu anak ustadz lagi dzikir tiba-tiba dengar lagu ini”. Setelah tulisan tersebut hilang, kemudian videonya berganti transisi orang yang tergeletak di lantai, membuat otak saya semakin hilang kendali. Akhirnya saya memutuskan untuk menggunakan cara yang kedua.

#2 Buka Kolom Komentar

Sudah menjadi hal lazim bagi kalangan netizen Indonesia jika menemukan suatu informasi yang masih belum dipahami maka langkah awal dan tentunya praktis adalah membuka kolom komentar, hingga muncul istilah “Mencari jawaban di kolom komentar adalah jalan ninjaku”. 

Cara ini saya coba lakukan dengan melihat beragam komentar terkait lagu genjer genjer tersebut. Beragam komentar di lontarkan netizen, seperti  “tanya ke kakekku tentang lagu ini, malah tiba-tiba di pentung pake sandal”, “kata mbahku, jangan putar lagu ini lagi” dan masih banyak komentar lainnya yang menurut refleksi saya justru malah berbau kocak dan multitafsir. Hal ini membuat saya tidak puas dan langsung mencari jalan lain.

#3 Googling

Jalan terjal saya terakhir adalah mau tidak mau harus sowan ke mbah Google dilandasi dengan ketidakpuasan dalam mengenal titik konkrit lagu genjer-genjer. Mbah Google kemudian memberi saya secercah cahaya pengetahuan bahwa lagu genjer-genjer adalah syair yang ditulis dalam bahasa Osing, bahasa Banyuwangi dan diciptakan oleh seniman asal Banyuwangi sebagai lagu penyemangat hingga pada tahun 1940-an dianggap sebagai lagu Partai Komunis Indonesia atau sekarang lebih dikenal dengan sebutan PKI, apa boleh buat bahwa lagu genjer-genjer merupakan “lagu pembunuhan” enam jenderal di kawasan Lubang Buaya, Jakarta pada masa itu, kejam bukan?

Tahun 1943 M. Arief menciptakan lagu tersebut sebagai bentuk linangan air mata dan darah rakyat Banyuwangi yang tengah di gonjang-ganjing oleh pasukan Jepang, pada akhirnya lagu tersebut populer setelah dinyanyikan oleh Bing Slamet dan Lilis Suryani pada tahun 1962 yang kemudian di manfaatkan sebagai siulan manis PKI hingga kini masih kerap dikait-kaitkan.

(Ahmad Fatih Syarofuzzaman adalah Mahasiswa Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tinggal di Pamekasan Madura, Jawa Timur. Pernah belajar di Pondok Pesantren Darul Falah Amtsilati, dan bercita-cita menjadi seorang intelektual muslim)