Selayang Pandang Sejarah Tulis Santri
--None--
Rabu, 22/01/2020, 21:52:59 WIB

PESANTREN adalah salah satu benteng umat Islam, bahkan mungkin tinggal satu-satunya di tengah gempuran peradaban Barat yang destruktif. Sebab di pesantren inilah berkumpul berbagai potensi umat, baik yang ahli bidang Al Qur’an, Al Hadits, kitab-kitab klasik hingga sains modern. Sebab pesantren-pesantren modern telah mengintegrasikan spirit keilmuwan klasik dengan sains modern.

Sebagaimana tertulis dalam sejarah bahwa peradaban Islam yang pernah berjaya ditopang oleh para generasi muslim yang mendalam bidang Al Qur’an bahkan hafal di usia dini, namun juga menguasai keilmuwan modern seperti matematika, sosiologi, psikologi, geografi, kosmologi, kedokteran dan sains lainnya. Bahkan para ilmuwan muslim itu telah juga mewariskan buku-buku berharga, meski kini tak lagi di tangan kaum muslimin.

Kontribusi para saintis muslim dalam menopang eksistensi kegemilangan peradaban Islam adalah fakta sejarah yang tak mungkin dielakkan. Banyak nama-nama saintis muslim yang berkontribusi di berbagai bidang keilmuwan pada abad pertengahan. Sebut saja di bidang matematika kita mengenal Al Khawarizmi, Abu Kamil Suja’, Al Khazin, Abu Al Banna, Abu Mansur Al Bagdadi, Al Khuyandi, Hajjaj bin Yusuf dan Al Kasaladi.

Di bidang Fisika kita mengenal Ibnu Al Haytsam, Quthb Al Din Al Syirazi, Al Farisi dan Prof. Dr Abdus Salam. Dalam bidang kimia ada Jabir bin Hayyan, Izzudin Al Jaldaki, dan Abul Qosim Al Majriti. Dalam bidang biologi ada Ad Damiri, Al Jahiz, Ibnu Wafid, Abu Khayr, dan Rasyidudin Al Syuwari. Dalam bidang kedokteran ada Ibn Sina, Zakariyya Ar Razi, Ibnu Masawayh, Ibnu Jazla, Al Halabi, Ibnu Hubal dan masih banyak lagi.

Dalam bidang astronomi kita mengenal Al Farghani, Al Battani, Ibnu Rusta Ibnu Irak, Abdul rahman As Sufi, Al Biruni dan tokoh ilmuwan muslim lainnya. Dalam bidang geografi kita mengenal Ibnu Majid, Al Idrisi, Abu Fida’, Al Balkhi, dan Yaqut al Hamawi. Dan dalam bidang sejarah kita mengenal Ibnu Khaldun, Ibnu Bathutah, Al Mas’udi, At Thabari, Al Maqrisi dan Ibnu Jubair.

Para saintis diatas adalah mereka yang telah melek literasi Islam yang fokus kepada tradisi membaca, menulis dan riset. Mereka adalah generasi ulil albab yang mempelopori kejayaan peradaban Islam. Selain kokoh di bidang aqidah, luas di bidang syariah, mereka juga adalah orang-orang yang senantiasa beribadah kepada Allah. Tradisi inilah yang justru kini mulai redup, terutama di pesantren-pesantren.

Ilmuwan diatas dilahirkan dari pesantren. Jika dilihat zaman sekarang, banya sekali seorang sensisitf terhadap kata pondok pesantren. Mengapa demikian? Mereka menganggap pesantren adalah gambaran dari penjara, dimana seorang yang sudah masuk tidak bisa keluar tanpa izin dari pemilik Pesantren. Selain dalam hal itu, logistik yang disajikan juga hany dengan seadanya saja. Orang-orang yang terbiasa dengan kemewahan pasti akan kurang terbiasa karena dalam pondok pesantren hidup sederhana adalah yang diajarkannya.

Selain para ilmuwan pesantren juga melahirkan penulis-penukis hebat. Karya dan doa adalah sebuah keselarasan yang menjadikan kekuatan. Pantas saja jika banyak seorang santri yang suka menulis dan mengahsilkan sebuah karya, karena memang karya adalah bentuk-bentuk dari doa. Sebuah karya tentu dapat bermanfaat bagi pembacanya. Selain itu juga ketika nyawa sudah tiada dan menciptakan sebuah karya, nama akan selamaya hidup dan didalam liang lahatpun kita masih bermanfaat untuk  manusia yang masih hidup.

Kiai Bisri memang menulis salah satu niatnya untuk mencari penghidupan, tapi untuk tetap agar bisa menjaga keikhlasan hati (menyebarkan ilmu) kiai Bisri biasanya menjual putus karyanya. Maka biasanya setelah menyelesaikan sebuah tulisan kiai Bisri akan mengirimnya ke penerbit atau percetakan dan menjualnya secara putus sejumlah berapa rupiah, tanpa royalti. Mungkin kalau niatannya hanya untuk mencari penghidupan, kontrak penerbitan dengan system royalty atau setidaknya semi royalti akan jauh lebih menguntungkan.

Faktanya banyak karya kiai Bisri yang tak tidak hanya cetak utang tiga atau empat kali tapi bahkan belasan atau berpuluh-puluh kali seperti tafsir Al-Ibriz. Bayangkan misalnya untuk satu karya ini saja misalnya, dicetak sejak tahun 1960an oleh sebuah penerbit di Kudus, Jawa Tengah. Dan hingga sekarang kitab ini masih terus dicetak dan terus laku, dan entah berapa banyak keuntungan yang diperoleh oleh penerbitnya. Padahal penerbit itu hanya bermodal

membeli secara putus sekali saja. Makanya Islah Gusmian, seorang peneliti senior yang banyak melakukan studi tentang tafsir di nusantara yang juga mengaku banyak belajar menulis dan terinspirasi oleh kiai Bisri dalam sebuah kesempatan berseloroh, "sek nyugehke penerbit itu ya tafsir Al-Ibriz" (tafsir Al-Ibriz lah yang banyak memberikan keuntungan bagi penerbit itu).

Kiai Bisri menulis sejak beliau masih belajar di pondok pesantren Kasingan, Rembang asuhan kiai Kholil Harun yang kelak menjadi mertuanya. Awalnya sekedarnya menerjemahkan atau menyadur kitab-kitab yang diajarkan di pondok tersebut. Untuk kepentingan santri-santri yang begitu mahir atau bahkan masih kesulitan belajar bahasa Arab.

Dari hasil menerjemah itu Bisri kecil mendapatkan imbalan dari teman-temannya yang membutuhkan hasil kerjanya. Sejak kecil (sejak usia 8 tahun) kiai Bisri adalah seorang yatim, makanya sambil mondok dia berusaha mencari pemasukan. Kecerdasannya dalam menyerap ilmu yang diajarkan gurunya seringkali ia tuangkan menjadi sebuah tulisan. Dan akhirnya kebiasaan menerjemah dan menyadur itu ditekuninya hingga akhirnya menjadi penulis. Menjadi penulis pun kelak menjadi jalan hidupnya. Melalui tulisan pulalah kiai Bisri kelak menyebarkan pengetahuan dan  mendakwahkan Islam.

Ketika sudah berkeluarga Bisri pun tak jarang mengandalkan hasil tulisannya untuk mencari maisyah. Bahkan dalam sebuah periode hidupnya yang mungkin paling susah, ketika itu kiai Bisri bersama keluarga terpaksa mengungsi di daerah Sarang (sebuah kecamatan dari kabupaten Rembang) untuk menghindari kekejaman tentara Jepang yang ketika itu mulai memasuki kota Rembang.

Untuk menghidupi keluarganya di samping berjualan jamu Ma'jun kiai Bisri juga sering menggubah syair-syair yang kemudian diedarkan sendiri dan dijual kepada masyarakat di sepanjang pesisir pantai Sarang.Syair-syair yang digubah oleh kiai Bisri tersebut kemudian banyak dilantunkan di musolla-musolla oleh masyarakat setempat menjelang shalat Jama'ah. Ketika itu kiai Bisri baru memiliki dua orang putera, Kholil Bisri dan Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus).  Sekitar dua tahun kiai Bisri bersama keluarga hidup di pengungsian.

Kurang lebih setengah abad setelah Bung Karno, muncul seorang anak muda yang juga rajin menulis dan menawarkan gagasan dan pemikirannya mengenai bangsa, agama, politik, kebudayaan dan lain-lain. Yang menarik, anak muda ini juga pembaca tulisan-tulisan Bung Karno. Dia adalah Abdurrahman Wahid atau terkenal dengan nama Gus Dur. Sama seperti Bung Karno, Gus Dur mulai dikenal sebagai penulis pada usia pertengahan 20an di tahun 1970an.

Tulisan-tulisannya dimuat di media terkemuka seperti Majalah Tempo dan Koran Kompas, serta jurnal paling keren zaman itu, jurnal Prisma. Tulisan-tulisan Gus Dur juga sudah dikumpulkan dan dijadikan buku misal Tuhan Tak Perlu Dibela yang merupakan kumpulan esainya di majalah Tempo, Islamku, Islam Anda, Islam Kita dan Islam Kosmopolitan, yang merupakan tulisan-tulisan di jurnal Prisma dan makalah-makalah seminar.

Jelas sekali dari tulisan-tulisannya, Gus Dur adalah seorang pembaca buku yang kuat. Bacaannya sangat luas dan beragam, termasuk karya-karya sastra. Sekali lagi kita diajarkan bahwa hampir mustahil menjadi menulis tanpa membaca. Bacaan adalah bahan utama untuk menulis. Memang ada orang membaca tanpa menulis, tapi tidak mungkin menulis tanpa membaca sama sekali.

Gus Dur adalah seorang penulis cepat. Goenawan Mohamad, mantan Pemimpin Redaksi majalah Tempo pernah bercerita suatu kali bahwa Gus Dur datang ke kantor Tempo. Ia masuk ke ruangan redaksi dan duduk di depan mesin ketik. Dua jam kemudian telah jadi satu tulisan. Mengapa ia bisa begitu cepat menulis? Salah satunya adalah karena dia punya investasi bacaan, yang dengan rajin ia kumpulkan, selain tentu kemampuan menganalisis dan melakukan refleksi.

Kedua, Gus Dur bukan hanya membaca buku-buku berbahasa Indonesia. Ia juga membaca buku-buku dalam bahasa Inggris dan Arab. Hal ini tampak dari referensi-referensi dalam banyak tulisannya. Akses bacaan asingnya sangat cepat dan luas. Ketika kalangan intelektual di Indonesia belum mendengar nama si penulis asing, ia sudah membacanya dan mengutipnya dalam tulisan. Nama Hassan Hanafi, cendikiawan Mesir dan Chaim Potok, pengarang novel My Name is Ascher Lev sebagai contoh, disebut dan diperkenalkan Gus Dur pertama kali dalam publik intelektual Indonesia.

Para penulis diatas merupakan sebuah sejarah bagaiaman literasi sangat diperlukan bagi seorang santri. Perwajahan literasi yang semakin mengalami kemunduran didunia santri hars terjaga kembali. para ulama kita banyak yang namanya besar karena dengan menulis. Imam Syafi’i mengemukakan “ jika kau bukan anak raja dan bukan anak ulama maka menulislah”.

Statement yang dibuat oleh imam syafi’i merupakan sebuah dorongan untuk seorang yang mendambakan kesederhanaan sehingga mampu melambungkan dirinya dengan cara menulis. Bahkan sosok kia Bisri dan Gus Dur merupakan sosok yang patut diteladani dalam segi apapun.

Sejarah mencatat bahwa seorang santri meskipun tetap fokus memgaji tapi mereka mampu memberikan kontribusi terhadap negeri. Literasi sebagai perwujudan bahwa hadirnya bukan hanya menjanjikan uang saja, namun memberikan sebuah masa depan serta kehiudpan yang sangat mapan. Selain dari pada itu, literasi santri sangat membantu para santri untuk tetap berkarya. Melambungkan nama dengan memberikan kemanfaatan untuk agama, bangsa dan negara.

(Eti Nurul Hikmah adalah Mahasiswi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Peradaban Bumiayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah)