Di Granada, Peninggalan Sejarah Islam Tetap Dirawat
--None--
Jumat, 01/11/2019, 09:25:03 WIB

Penulis berada di bawah salah satu menara masjid di Granada yang sekarang beralih fungsi menjadi gereja.

Perjalanan yang dilakukan oleh rombongan Study Banding toleransi kehidupan sosial dan wawasan kebangsaan yang berjumlah 20 orang, masing-masing mewakili dari berbagai disiplin ilmu dan berbagai daerah di Indonesia, ketika berada di kota Granada, Spanyol, sangat membutuhkan tenaga super hebat.

Bus yang ditumpangi rombongan pada Kamis 31 Oktober 2019, ternyata hanya sampai di jalan besar, di seputar kota tua daerah Granada yaitu kota kecil di bagian selatan Spanyol ini. Dengan jalan kaki, rombongan dipandu menelusuri lorong-lorong kota yang sangat tertata rapih. Banyak wisatawan berdatangan dari berbagai negara lainnya, untuk mengunjungi tempat-tempat bersejarah. 

Penulis berhenti di bangunan menara yang menyerupai menara Kudus, dengan tumpukan batu merah sampai menjulang tinggi. Namun sayangnya, menara yang di Indonesia identik dengan Masjid itu, di kota Granada berubah fungsi menjadi gereja.

Kepada penulis, Gus Najeh, Sekjen Ikatan Alumni Syria, mengatakan memang perkembangan agama Islam di Spanyol mengalami kemunduran, bahkan kehancuran.  Setelah beberapa kali kekuasaan Islam dijajah oleh Napoleon, sisa-sisa bangunan yang nampak hancur bahkan terpendam tanah, masih nampak jelas, dan dijadikan museum di dataran tinggi di kota Granada.

Gus Najeh mengomentari, jika Islam di Indonesia penyebarannya tidak menggunakan pendekatan kearifan lokal, maka di khwatirkan nasibnya akan seperti Spanyol. Beruntung perkembangan Islam di negara Maroko yang sampai saat ini dengan pendekatan kearifan lokal, sehingga tidak punah sebagaimana perkembangan Islam di Spanyol.

Seperti diketahui, Spanyol sempat dikuaisai muslim selama 800 tahun dari tahun 711 sampai tahun 1492. Namun meski sekarang dikuasai oleh Nasrani, tapi kerukunan umat beragama tetap terjalin. Peninggalan Islam yang sempat berjaya, tidak dihancurkan  justru dialih fungsikan seperti bekas masjid menjadi gereja.

Jika di Indonesia penyebaran agama Islam tidak dengan pendekatan kearifan lokal,  maka nasibnya bisa seperti Spanyol. Yang awalnya agama Islam berjaya, justru tinggal sepuluh persen umat yang beragama Islam.

Sedangkan dosen pasca sarjana di beberapa Universitas  Surakarta, Dr. Amir Machmud yang juga berada dalam rombongan, menyampaikan bahwa perjalanan para duta Wawasan Kebangsaan, adalah upaya untuk pencegahan paham radikal.

Dengan membedah Buku Fenomena Gerakan Jihad yang sempat laris, sejarah peradaban Islam, Dr. Amir Machmud menjelaskan kalangan akademisi yang sering mengadakan bedah buku, harus bekerja sama dengan semua elemen.

Banyak tempat bersejarah yang ada di Granada. Seperti bangunan yang awalnya adalah sebuah sekolah muslim. Bangunan ini pertama kali dibangun pada tahun 1349 oleh penguasa Granada pada saat itu, yaitu Yusuf I Sultan.

Tujuan dari bangunan ini adalah sebuah tempat pembelajaran mengenai beragam jenis keilmuan. Pengajar yang bertanggung jawab atas kurikulum yang diberikan sendiri juga sebagian besar adalah muslim. Namun, ketika granada jatuh ke tangan pasukan Katolik, maka gedung yang satu ini mengalami banyak sekali perubahan fungsi. Kini bangunan bersejarah ini menjadi salah satu bagian dari University of Granada.

(Tambari Gustam adalah tokoh masyarakat nelayan, seniman dan budayawan. Tinggal di Muarareja, Kota Tegal, Jawa Tengah. Saat ini menjadi peserta study banding toleransi kehidupan sosial dan wawasan kebangsaan ke Maroko dan Spanyol)